Prolog

870 114 9
                                    

"Semoga nanti bisa nyusul ke Jogja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Semoga nanti bisa nyusul ke Jogja. Tungguin aja, oke?"



Yogyakarta, 2018.


Ada banyak hal yang Khansa rasakan setelah kepindahannya dari ibukota ke Yogyakarta. Salah satunya ialah kurangnya komunikasi dengan Jaka di Jakarta. Walau sesekali sering mengobrol lewat percakapan telepon, namun semakin lama, intensitas komunikasi mereka kian berkurang.

Banyak hal wajar yang harus Khansa maklumi, mengingat jarak mereka memang tidak main-main jauhnya. Khansa juga tahu, mereka sama-sama ada di bangku kelas akhir―yang mana dirinya dan Jaka harus disibuki dengan rutinitas lain untuk menghadapi berbagai ujian di tahun berikutnya.

Beruntung, di malam yang dingin ini―ditemani guyuran hujan deras yang mengguyur kota Yogyakarta, Khansa berhasil menghubungi Jaka, setelah berminggu-minggu mereka tidak berkomunikasi. Ada sebersit rasa lega, tatkala Jaka menyapanya dari seberang sambungan. Sungguh, Khansa merindukan laki-laki itu.

"Jaka! Kangen!" Pekikan Khansa terdengar nyaring. Namun, Jaka bisa memakluminya. Gadis itu memang terlihat lucu ketika hatinya sedang berbunga. Yah, contohnya seperti sekarang ini. "Jaka ke mana aja, sih? Kenapa sulit dihubungin kemarin-kemarin? Kamu nggak tahu aku kangen banget, hng?"

Ampun. Jaka―jujur―gemas sekali. Padahal, sudah seringkali ia mendengar Khansa yang manja begini lewat obrolan telepon. Tapi malam ini―lagi-lagi―Khansa berhasil membuat Jaka tidak bisa menahan degup jantungnya yang berjalan cepat. Andai saja mereka dekat, mungkin, Jaka sudah menarik gadis itu ke dalam pelukan hangatnya yang erat.

"Khansa, dikira Jaka juga nggak kangen sama kamu―uhuk!" ucapan Jaka terhenti sejenak karena batuk. Berdeham sebentar, ia kembali melanjutkan pembicaraan, "aduh, maaf, cuacanya lagi dingin. Jadi aku batuk-batuk. Kamu sama keluarga sehat, Sa? Ah, kangen banget sama kamu."

Mimik wajah Khansa berubah seketika. Sedikit khawatir, entah kenapa takut Jaka kenapa-kenapa. "Jaka? Jaka sakit apa? Kok kamu nggak bilang ke aku kemarin-kemarin kalau kamu sakit?" tuturnya, tentu saja dengan nada cemas. "Kamu nggak apa-apa, Jaka? Udah minum obat? Aku di sini baik-baik aja sama keluarga. Kenapa kamu malah sakit?"

Jaka―yang gemas mendengar kekhawatiran Khansa―justru tertawa kecil. "Khansa, kamu lucu banget kalau lagi khawatir gitu," godanya, diselingi batuk sesekali. Ia menarik napas pendek. "Aku nggak apa-apa, Khansa. Baik-baik aja. Mungkin karena kemarin aku sering minum dingin, jadi batuk gini. Nggak apa-apa, kok. Aku udah minum obat juga. Kamu nggak usah khawatir, ya? Pasti Jaka sembuh."

Khansa terbaring di kasurnya, menatap langit-langit kamar, seraya memeluk guling kecil. "Jangan sakit. Aku khawatir, Jaka," tuturnya dengan nada pelan. Entah kenapa ia takut sekali melihat Jaka yang sudah hidup sendiri, tanpa ditemani dirinya. "Kalau bisa, nggak usah kerja part time dulu. Pulang sekolah langsung istirahat aja, ya? Nanti sakitnya makin parah."

"Iya, Khansa Arumi. Aku janji aku bakal baik-baik aja. Nggak usah sedih sama khawatir gitu, oke?" Jaka berusaha menenangkan suasana hati Khansa yang cemas. Dengan jarak berjauhan seperti ini, Jaka tahu betul kesulitan yang akan dialaminya selama berhubungan dengan Khansa. "Kamu tuh yang jaga diri baik-baik. Jangan bandel, belajar yang bener, Sa. Biar masuk perguruan tinggi negeri."

"Kalau masuk perguruan tinggi negeri, Jaka jadi milik Khansa. Boleh, ya?" Khansa bertanya dengan polosnya, yang langsung mengundang gelak tawa Jaka di seberang telepon.

"Ya ampun, Khansa, kamu kan udah jadi punyaku."

Khansa mengernyit, lalu cemberut. "Sejak kapan? Kamu nembak aku aja nggak pernah," timpalnya lantas membuat Jaka terdiam sesaat, kemudian menarik napas panjang. "Ya udah. Intinya, aku cuman pengen ketemu kamu. Kamu kapan ke sini?"

"Nggak tahu deh, Sa. Kalau untuk liburan sekarang kayaknya nggak mungkin. Kita juga sebentar lagi mau ujian, kan?" balas Jaka sekenanya, memberi jeda sesaat, "Inget nggak, aku juga pernah pengen ngajak kamu ke Bromo? Hmm, kayaknya terlalu banyak tujuan kita, ya? Tapi nggak apa-apa, deh. Yang utama, semoga nanti bisa nyusul ke Jogja. Tungguin aja, oke?"

Khansa diam-diam meneteskan air mata. Ternyata, selemah inilah dirinya ketika merindukan seseorang yang jauh di sana. Dan Jaka adalah makhluk yang berhasil meruntuhkan ketegaran hatinya. Sungguh, kalau boleh Khansa jujur, menurutnya jarak adalah bagian terjahat dari suatu hubungan.

"Khansa? Kok diem?" Lamunan Khansa buyar ketika Jaka memanggilnya dari seberang panggilan.

"Eh ... iya, nggak apa-apa." Khansa mengusap air matanya yang terus mengucur tanpa henti. Tidak, Jaka tidak boleh tahu jika ia sedang menangis. Ia tersenyum, kembali bersuara, "Jaka, istirahat ya sekarang? Udah malem, kamu juga lagi sakit. Besok kan hari libur, kamu nggak usah ke mana-mana. Jaga kesehatan, jangan sampai bikin aku khawatir lagi, Jak."

"Iya. Khansa juga, ya? Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat telepon aku. Jangan nakal, yang rajin belajarnya. Semoga kita bisa masuk perguruan tinggi negeri nanti."

"Aamiin," Khansa hanya mengaminkan semua harapan. Barangkali terkabul―yah, semoga aja. "Jaka, selamat tidur. Aku ... aku sayang sama kamu."

Diam-diam, Jaka juga tersenyum di seberang sambungan. "Selamat tidur, Khansa. Aku juga sayang kamu. I miss you, a lot."

Tanpa kalimat balasan dari Khansa, sambungan telepon sudah terputus terlebih dahulu. Gadis itu menarik napas panjang, kembali mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir. Tidak pernah ia sangka bahwa merindukan seseorang bisa seberat ini. Tapi, Khansa rasa, ini adalah hal yang manusiawi. Khansa tidak mungkin jadi makhluk satu-satunya yang menangisi seseorang dikala rindu tengah melanda.

Sekali lagi, Khansa tegaskan, jarak memang adalah bagian terjahat dari suatu hubungan. Lantas, di manakah tujuan terakhir hubungan ini nantinya? Jaka bisa jadi bukan pelabuhan terakhirnya. Siapa yang tahu, tentu hanya Tuhan. Khansa hanya bisa memanjatkan doa. Semoga hubungan jarak jauh ini tidak berakhir menyedihkan. Sesederhana itu.

Namun, Khansa tidak pernah menyangka jika obrolan barusan menjadi percakapan terakhir antara dirinya dengan Jaka―sebelum akhirnya laki-laki itu menghilang tanpa kabar, pergi entah ke mana.

―❁―



author's note:

Aku tau kalian menanti ini! :(
WKWKWKWK maaf ya digantung dulu. Habisnya, kemarin aku mau revisi sekuelnya. Semoga suka deh sama yang ini. Awwie! Enjoy it. Tinggalkan jejak ayo, biar aku lanjutin! Hehehe. Terima kasih banyak udah nunggu.

Destination S.2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang