ENTAH APA YANG MERASUKIMU, PAPA ....

9 0 0
                                    


"Paman-paman dan bibi-bibimu ndak ada yang punya sawah. Semua sudah dijual almarhum Mbah Kakung buat biaya kuliah bapakmu. Setelah dia jadi insinyur, sisa sawah yang tak seberapa dijual lagi buat nikah dan buat sangu ke ibu kota. Sementara kami, adik-adiknya, cuma mentok sampai SMA." Jawaban panjang Paman Nasir, saat aku bilang ingin jalan-jalan ke sawah.

"Bapakmu janji akan mengembalikan semua sawah itu setelah sukses. Janji akan membiayai kami sampai kuliah, juga berjanji akan memberi modal usaha." Paman Syukri menambahkan.

"Dulu, dia juga berjanji akan memboyong Mbah Kakung dan Mbah Putri untuk tinggal di rumah mewahnya." Bibi Zaenab menimpali.

"Kang Jaenuddin, bapakmu itu, malah berkoar-koar akan merekrut para tetangga sebagai karyawan. Dia sesumbar kalau salah satu tujuannya memulai usaha di ibu kota adalah untuk membuka lapangan kerja buat orang-orang di sini." Imbuh Bibi Laila.

"Jadi, maksud Paman dan Bibi, Papa sudah ingkar janji?" Aku memberanikan diri bertanya.

"Ya, ingkar janji dan menjadi biang keladi!" suara Paman Nasir tinggi.

"Biang keladi, Paman?" Keningku berkerut.

"Benar, Raka. Bapakmulah biang dari susahnya hidup keluarga kami. Di sini, kami terlilit utang yang dipakai buat biaya pengobatan almarhum Mbah Kakung dan almarhumah Mbah Putri. Kami sudah sering mengabari lewat telepon dan surat. Aku sama Paman Nasir-mu pernah beberapa kali datang ke kantornya, tapi bapakmu sama sekali ndak peduli." Paman Syukri menjelaskan.

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Liburanku kali ini jauh dari bayangan menyenangkan.

***

"Pa, ceritakan sama Raka, kehidupan Papa di desa sebelum jadi pengusaha!" Todongku di pintu gerbang sambil merentangkan tangan.

Mang Ade, sopir pribadi Papa, mendadak mengerem.

Aku lalu mendekat.

"Kelakuan kamu naik kereta api ekonomi dan pakai ojol dari stasiun itu, sama persis dengan kebiasaan papa kalau lagi survei ke daerah-daerah." Ujar Papa setelah membuka kaca mobil di jok belakang.

"Jawab pertanyaan Raka, Pa!" Aku berteriak.

"Papa terburu-buru. Hari ini akan ada pertemuan penting sama rekan bisnis dari Cina." Sahut Papa.

"Moto Papa hanya kerja, kerja, dan kerja! Nggak peduli sama yang lain."

"Kalau mau hidup sejahtera dan ekonomi lancar, ya kerja, kerja, dan kerja!"

"Meski dengan cara menjarah?"

"Kamu ini ngomong apa, kok ada-ada saja. Hahaha." Papa geleng-geleng kepala.

"Maksud Raka..."

"Besok saja akan papa ceritakan sambil makan malam." Papa memotong, lalu menutup kaca jendela.

Mang Ade pun menjalankan mobil tanpa diperintah. Aku hanya bisa mendesah sebelum melangkah masuk ke rumah.

***

Kutagih janji Papa malam itu di meja makan, setelah mengulur cerita yang kudapat dari desa. Sementara Kak Anda dan Kak Andin tampak cuek.

Papa meneguk minuman sejenak.

"Papa sudah mengganti semua sawah Mbah Kakungmu dengan sejumlah uang. Tentang biaya rumah sakit, pengobatan, juga perawatan Mbah Kakung dan Mbah Putri, 100 % dari kantong papa. Begitu juga orang-orang kampung sana sudah berkali-kali papa tawarkan pekerjaan, tapi ndak ada yang mau karena hanya jadi karyawan rendahan. Lah, mereka rata-rata lulusan SMA atau SMP, masak mau minta jabatan tinggi?" Terang Papa.

ENTAH APA YANG MERASUKIMU, PAPA ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang