04.

17 4 0
                                    

"Stt ... "

Bening tersadar saat sebuah tangan menepuk bahunya pelan. Matanya membulat setelah melihat siapa yang berdiri di sampingnya. Tangannya reflek memukul tangan si pelaku kemudian mengelus dadanya pelan.

"Kaget, ya?"

"Kaget lah, lagian ngapain di sini? Sejak kapan masuk kelas aku?" Bening menyipitkan matanya dengan telunjuk yang mengacung di depan muka si pelaku.

"Waduh santai, Neng." cowok itu terkekeh pelan kemudian duduk di depan Bening.

"Kenapa nggak ikut panasan?" cowok itu menopang kepalanya menghadap gadis imut itu.

"Upacara, Ga, bukan panasan." Bening membenarkan.

"Sama aja, intinya panasan di lapangan." ucapnya. "Heh jawab kenapa nggak ikut?" lanjutnya.

"Lah Gama ngapain nggak ikut? Ngumpet ya di sini?" Bening memicingkan mata.

"Coba kakinya mana yang sakit?" Gama berdiri kemudian menunduk menatap Bening yang menatapnya bingung.

Paham Bening belum mengerti maksudnya, Gama jongkok di samping gadis itu kemudian menarik sebelah kaki gadis itu yang keluar dari meja. Perlakuan tiba-tiba yang menghadirkan pekikan gadis itu.

"Gama, apa-apaan!"

"Kakinya sakit, kan?" Gama mendongak mengamati ekspresi gadis itu yang sulit di tebak.

"Kata siapa? Gosip dari mana?" Bening mengalihkan tatapannya ke arah pintu kelas yang tertutup.

"Halah ngeles aja. Dasar cewek."

Gama mengabaikan Bening yang mengomel karena memegang kakinya tanpa ijin. Tangannya bergerak melepas sepatu serta kaos kaki yang dikenakan gadis imut itu. Matanya menajam saat dilihatnya pergelangan kaki Bening membengkak.

"Kenapa masih pake sepatu? Nggak liat kaki lo gimana? Yang ada nggak sembuh-sembuh baru tau rasa lo." Gama berucap dengan matanya yang mengamati luka lebam itu.

"Sok tau, Gama. Udah sembuh ini nggak sakit juga." elaknya.

Mendengar itu, Gama sengaja menekan bagian yang lebam. Bening meringis menahan sakit yang dirasa. Gama menatap Bening datar, "Gini nggak sakit?"

"Ya sakit lah, ditekan gitu gimana nggak sakit coba?" protes gadis itu. Gama menarik ujung bibirnya, "Tadi katanya nggak sakit, katanya udah sembuh, gimana sih labil banget."

"Ya ... Ya nggak gitu juga." Bening menggaruk pipi putihnya.

"Nanti ke tukang pijit aja, ya? Gue anter, deh, gratis pokonya." Gama berdiri kemudian melangkah ke arah pintu. Upacara sudah selesai, terlihat dari suara orang-orang yang melintas di depan kelas gadis itu. Sebelum para 'macan' gadis itu kembali, ia sudah harus keluar dari kelas, bisa-bisa nanti jadi tontonan karena acara tonjok-tonjokan.

"Gue balik. Nanti alesan aja ke buntut-buntut lo itu. Harus berhasil nggak mau tau." ucap Gama sambil membuka pintu dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban Bening.

"Kok maksa?" Bening menatap pintu kelasnya yang kembali tertutup.

***

Bening berjalan tertatih menuju toilet yang terletak di belakang sekolah. Ketiga sahabatnya menunggu di parkiran. Tadi mereka memaksa untuk mengantar, tapi setelah memasang muka memelasnya akhirnya Bening dilepas sendiri.

Saat selesai dengan urusannya, Bening berjalan pelan sambil menunduk. Tubuhnya menabrak dinding sedikit keras setelah bahunya didorong dengan keras oleh seorang siswi yang sepantaran dengannya.

"Kenapa asal dorong?" Bening mengerutkan alisnya.

"Gue heran, deh. Apa si yang mereka liat dari lo?" ucap orang di depannya.

"Ya kamu liatnya aku gimana?" jawab Bening tenang.

"Nggak usah sok jawab omongan gue. Gue tau lo nggak seberani keliatannya, mentang-mentang ada mereka yang jagain, lo ngerasa aman dari gue?" ucapnya sambil menarik sebelah bibirnya. Bening jujur merasa takut apalagi sekolah sudah sepi.

"Gue pastiin hidup lo nggak bakalan tenang. Liat aja akibat ngambil sesuatu yang harusnya jadi milik gue." telunjuk gadis itu menyentuh ujung hidung Bening.

"Apa yang udah aku ambil? Aku nggak pernah rebut apapun dari kamu." Bening sedikit bergetar mengucapkan kalimat itu. Dilihatnya kilatan amarah di mata gadis cantik yang ada di hadapannya.

Gadis itu tersenyum sinis kemudian berlalu meninggalkan Bening yang langsung terduduk mengabaikan sakit di kakinya. Semua ucapan yang ia dengar tadi benar-benar mempengaruhi pikirannya. Apapun yang ia lakukan benar-benar tanpa niat menyakiti siapapun. Semua ia jalani apa adanya, mengikuti alur takdir yang akan membawanya ke kejadian tak terduga. Seperti sekarang, berada di sekolah dan mengenal ketiga sahabatnya merupakan salah satu hal yang tak pernah ia sangka.

Kepalanya diusap pelan membuat tangisannya berhenti. Pandangannya naik menatap Gama yang berdiri di hadapannya dengan senyum menawan. Gama menarik tangannya, mau tak mau langkahnya mengikuti kemana Gama membawanya dalam kebisuan.

Di tatapnya punggung tegap yang membuatnya lupa akan rasa sakitnya. Melupakan sejenak masalah yang begitu mengusiknya. Merasakan kejadian yang seperti tak asing di hidupnya. Bening merasa seperti pernah berada di situsi sekarang. Berjalan dengan tangan yang digenggam lembut setelah ia menangis. Alisnya berkerut memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal.

"Gama."

Langkah Gama berhenti seketika. Ditatapnya mata sembab yang  berhasil memikatnya sekarang tengah menyorotkan kerinduan. Gama mengangkat alisnya bingung.

"Aku mau diculik, ya? "

Ucapan polos yang langsung membuat bibir Gama tertarik ke atas. Tak habis pikir dengan isi otak gadis imut itu.

"Iya, mau gue culik, nanti sekalian dijual ke om-om. " ucap Gama ngelantur kemudian melanjutkan langkahnya.

"Ihh Gama jahat. "

"Yakali, Kar. "

"Ini mau kemana coba? Itu temen aku nungguin di parkiran, Gam. "

"Ke KUA mau? " Gama mengedipkan sebelah matanya membuat Bening pura-pura muntah.

"Haluuu. " Gama tertawa lepas merasa berhasil mengembalikan mood gadis itu.

"Heh! Adik gue mau lo bawa kemana? "

Keduanya menghentikan langkah saat Rega tiba-tiba menghadang jalan. Gama seketika tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya.

Gagal lagi sial.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang