Bagian 4 - Sayap Yang Patah

1.2K 108 11
                                    

People keep telling me that lifes goes on. But, to me, that's the saddest part.

🌻🌻🌻🌻

Hari ini langit masih nampak mendung, matahari malu-malu di balik awan yang menghitam. Sama seperti hati Mai yang di selimuti awan hitam, bagai petir di siang bolong, kabar yang membuatnya terguncang bulan lalu meruntuhkan dunianya.

Kini sebulan sudah semua berlalu. Namun ikhlas tak semudah apa yang diucapkan, perlu ketetapan hati yang besar untuk menerima hal itu, tentu takkan pernah ada yang ingin kehilangan orang terkasih, tapi, sekali lagi tak ada yang dapat melawan ketentuannya.

"Shhh..." Mai mengusap perutnya terasa nyeri tendangan si buah hati menyapanya pagi ini.  "Kenapa sayang?" Mai memandang perutnya yang semakin buncit seiring perkembangan janin di rahimnya.

"Mama nggak apa-apa sayang." ucapnya lagi namun nada sendu terdengar dari kata-katanya.

Melihat Mai masih dalam keadaan terpuruk dan berduka tak membuat Hardi diam begitu saja, berbagai cara ia lakukan untuk mengembalikan senyum istri tercintanya. Namun, masih saja mendung itu menggelayuti.

Dua minggu berada di Bandung, Hardi membantu Mai membereskan apa yang perlu dan membantu Ellea mengurus berkas kepindahannya ke Jakarta dan mulai berkuliah sebentar lagi adalah satu-satunya cara agar Mai menyibukkan dirinya. Tapi, begitu kembali ke Jakarta, Mai kembali murung.

"Sayang?" panggil Hardi membuyarkan lamunan Mai di teras kamarnya lalu Mai mengusap wajahnya perlahan.

"I know you're not okay." kata Hardi sambil mengusap punggung Mai dari belakang, ia masih berdiri sambil memegang kedua bahu istrinya. "You still having me here," lanjutnya lalu memeluk Mai dari belakang sambil mengusap-usap perut buncit Mai.

"We still together with our baby here."

Mata Mai mengembun lagi, bulir bening kembali meluncur bebas di kedua pipinya membuat anak sungai di sana.

Saat itu, sepulangnya Mai dari Bandung dengan mata sembab, wajah memerah tak karuan sempat membuat Ibu Hamidah sebal dengan menantunya. Kata-kata tak enak kembali terucap begitu saja namun Mai seolah tak peduli, ia memilih tak membalas apapun. Menjawab dan membela diri pun tidak, ia hanya tak ingin berdosa dan akhirnya lebih memilih masuk dan mengurung diri di kamar.

"Sudah sebulan kamu seperti ini, Mai. Ingat ada yang butuh kamu. Aku dan bayi kita, be strong. I know you can," kata Hardi menguatkan Mai kembali.

Mai mengangguk meski wajahnya belum secerah biasanya. Kantung mata masih setia menemaninya hingga terlihat seperti orang tidak tidur berhari-hari.

"Hari ini kamu kembali praktik kan? Pasien butuh dokternya sayang." ujar Hardi.

"Iya mas. Bisa antar aku kan?"

Hardi tersenyum. "Apapun untuk istriku." lalu sebuah kecupan mandarat di kening Mai.

"Aku siap-siap dulu kalau begitu." sahut Mai lalu masuk ke kamar lagi dan Hardi menunggunya di ruang tengah.

Memoleskan riasan tipis di wajahnya agar tidak terlalu terlihat pucat, Mai memperhatikan dirinya di cermin.

"Ikhlas Mai, ikhlas." katanya sendiri sambil memandagi diri lalu di rasa ia sudah siap kemudian menghapiri Hardi di ruang tengah sedang meminum tehnya.

"Mbok ya disiapin tehnya suami, sarapannya suami. Jangan ngurung diri aja di kamar. Malah si mbok yang nyiapin makanan untuk bojomu, piye to Mai.. Mai..." suara Ibu mertuanya membuat langkah kaki Mai berhenti di dekat sofa tak jadi menghampiri Hardi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LOCATION UNKNOWN (Mai and Hardi Beggining Story) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang