Nugraha,
Tiada kata perpisahan yang akan kutulis, melainkan nasihat dan bimbinganmu dalam kertasku kali ini.
Untuk yang pertama dan untuk yang terakhir. Kuucapkan salam cinta pada penantianku, yang tengah bersedih di gerbang perpisahan.
Kutitipkan sajak ini pada harap yang akan segera berakhir.
Biarlah tintaku tak menghasilkan cerita indah.
Cukup kenang aksaraku dalam seribu bait puisi yang diselimuti gundah juga anugerah.Jejakku kini tak berbekas, namun kau tunjukkan jalan baru untuk kakiku melangkah.
Dan menjadi luka lama ketika sepenggal peringatan terlintas.
Sandalku tak mampu berjalan berdampingan dengan sepatumu.Esok, ketika fajar mempersilahkan setiap mata untuk terbangun, di sanalah api unggunku selama ini kan padam.
Sesaat hidupku redup.
Hingga surya tepat di atas bumi, barulah kubiarkan redup itu sirna.
Berganti dengan api baru, yang tidak akan padam oleh usia, melainkan menanti sampai ke bumi cinta.Nugrahaku,
Bahagiakan aku dengan ketiadaanmu.
Hidupkan aku dengan cinta terakhirmu.
Kuatkan aku dengan keikhlasanmu.
Terakhir, kepadamu Anugerah Sang Cinta.
Kali ini aku menulis cerita indah sederhana.
Tentang,NUGRAHA DI KAKI SENJA.
°°°
Gawai milik Haura berdering untuk kesekian kalinya. Dan untuk kesekian kali juga ia tidak mengangkatnya. Gadis itu sudah tahu siapa yang nekat menelponnya tengah malam seperti ini. Ia ingin sekali mengangkat telepon, namun setiap kali ingat rasanya seperti ada yang menyayat.Mungkin untuk terakhir kali, akhirnya Haura mengangkat handphone nya setelah memikirkan matang matang apa yang hendak disampaikannya.
"Assalaamu'alaikum," ucapnya.
"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah akhirnya kamu angkat. Aku tau kamu belum tidur, tapi kenapa diam aja?" jawab seseorang di seberang sana.
Haura ingin sekali menangis, tapi ia tidak mungkin menumpahkan semua isi hatinya pada laki laki yang sebentar lagi akan ia lupakan.
"Ahmad, aku pengen mulai sekarang kamu gak perlu hubungi aku lagi."
"Kenapa tiba tiba ngomong gitu? Kamu ngelindur?" tanya Ahmad yang keheranan.
"Aku sudah dikhitbah lelaki lain."
Hening beberapa detik setelah kalimat itu terlontar dari mulut Haura. Haura menggigit bibir, sedangkan suara Ahmad tidak terdengar lagi.
"Ahmad?"
"Kenapa gak bilang dari awal? Aku kan sahabat kamu, tapi kamu malah nyuruh aku ngejauh. Alhamdulillah kalau memang ada lelaki yang ajak kamu untuk serius."
Setetes air mata Haura mengalir begitu saja. Hatinya mencelos mendengarkan jawaban Ahmad.
'Kenapa Ahmad gak kaget? Apa mungkin benar kata orang orang, dia bakal nikah sama Dila? Ya Allah kuatkan aku,' batinnya.
"Kamu seneng?" tanya Haura.
Terdengar suara Ahmad tertawa.
"Aneh aneh aja, siapa sih yang gak seneng sahabatnya mau nikah?"
Lagi lagi Haura menggigit bibir, tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir.
"Ahmad, kamu mau nikah sama Dila?"
"Kalau dia memang jodohku, kenapa enggak?"
Ah, sempurna kesedihan ini menurut Haura. Padahal hatinya berharap agar Ahmad mencegah ia melanjutkan hubungan yang lebih serius dengan lelaki lain.
Lebih dari delapan tahun bersahabat, dan Ahmad bukan sosok sahabat lagi menurut Haura. Lelaki itu ia harapkan yang menjadi imamnya kelak. Namun apa daya? Ada lelaki lain yang mengkhitbahnya lebih dulu. Dan di saat yang sama, seseorang yang pernah sangat menyukai Ahmad, Dila, kembali datang.
Terlebih lagi jawaban Ahmad benar benar meruntuhkan harapan terakhirnya. Haura yakin, mungkin sekarang memang waktu untuk berhenti berharap, melainkan menerima apa yang sudah Allah takdirkan untuknya.
"Haura," panggil Ahmad lembut.
"Bahagialah dengan laki laki yang sudah menjadi jalan kamu. Jika dia baik, jangan dilepaskan, apalagi ditinggalkan. Benar kata kamu, sampai di sini saja persahabatan kita. Ada hati yang harus kamu jaga, dan tujuan aku udah tercapai, memastikan kamu bahagia. Semoga Allah kirimkan imam yang baik. Tetap jaga solat dan puasa sunnahmu. Jangan terbiasa begadang, karena gak akan ada aku yang nemenin telfon sampai tidur. Maaf tadi aku mengganggu. Selamat ya, aku tunggu undanganmu."
Haura tersenyum ketir, diusapnya air mata di pipi.
"Perihal kamu sama Dila, gimana?"
"Urusan itu, biarlah Allah yang atur. Udah, sana tidur, jangan banyak pikiran. Aku pamit. Assalaamu'alaikum."
Tut. Panggilan diakhiri.
"Wa'alaikumussalam."
Panggilan itu mengakhiri segalanya. Haura terduduk di kasur, masih dengan handphone di tangannya. Ia menangis dalam diam. Harapan telah berakhir bersama perginya Ahmad.
Di sisi lain, ia harus membuka hati untuk orang lain. Berhenti memikirkan masa lalu. Dan wujudkanlah harapan dari Ahmad tadi.
'Ya Allah, berat sekali untuk melepaskan. Kuatkan aku menerima jalan-Mu. Jika ini yang terbaik, aku ikhlas,' lirihnya dengan berderai air mata.
Merasa dirinya masih belum tenang, Haura kemudian memilih untuk melaksanakan solat hajat. Begitu khusyunya ia dalam setiap rakaa't. Dan di sujud terakhirnya, ia sedikit merasa tenang.
Selesai salam, Haura mengangkat kedua tangannya. Matanya tertutup dengan air mata yang kembali menetes bahkan sampai mukena yang dikenakannya ikut basah. Bibirnya pun bergetar tiap kali beristighfar dan memanjatkan doa.
'Ya Allah, Engkaulah yang membolak balikkan hati manusia. Engkau yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Aku hanyalah hamba yang masih penuh hina, dan masih jauh dari kata baik. Limpahkan padaku kesabaran dan lapangkan hatiku untuk belajar ikhlas. Kuatkan diri ini yang begitu sering terjerumus dosa.
Ya Allah, apapun yang terjadi itu pasti yang terbaik untukku dari-Mu. Aku masih belum berubah menjadi baik. Kini, seseorang yang sejak lama Kau kirimkan untuk menjadi perantara dalam hijrahku akan segera pergi. Dan kau gantikan tugasnya kepada seseorang yang telah kau kirim sebagai jodoh hamba.
Ya Allah, betapa kecewanya hati yang berharap kepada manusia. Tiada cinta yang paling besar selain cinta-Mu. Maka untuk kesempatan yang kedua, tentu saja harus kulibatkan Engkau dalam perkara cinta agar kelak cintaku tak menjadi salah.
Ya Allah, semoga jodoh yang kau kirimkan bisa membawaku menuju surga-Mu. Bisa menjadikanku istri yang soleha. Bisa menjadikanku ibu yang baik untuk anak anaknya kelak. Dan bisa membuatku mencintainya karena-Mu. Aamiin.'
Haura mengaminkan doanya dengan penuh pengharapan. Lalu melipat mukena dan beranjak untuk segera tidur. Ia melirik jam beker di atas meja.
Pukul 00.50.
Biasanya Ahmad masih menelpon dirinya dan membacakan Surah Al-Kahfi hingga tanpa sadar ia sudah tertidur sebelum bacaan itu selesai. Namun kini, rasa kantuk pun tidak ada. Haura mengingat ngingat kembali kesehariannya bersama lelaki itu di balik selimut.
Satu tahun yang lalu...
(*Bersambung)
KAMU SEDANG MEMBACA
NUGRAHA
Short StoryHaura tidak tahu sejak kapan hatinya telah memilih Ahmad untuk ia cintai. Semuanya terasa seperti air mengalir begitu saja. Kehidupannya yang terbiasa disertai canda tawa, nasehat, dan kritik dari Ahmad pun membuatnya semakin mengagumi lelaki itu. N...