004

87 15 6
                                    

Semilir angin berhembus kencang membuat surai rambut Reika sedikit berantakan. Kedua matanya berbinar menatap deburan ombak yang menghantam tembok pembatas yang memisahkan laut dan jalanan. Kedua tangan Reika bertumpu menopang tubuhnya di pagar pembatas sembari menikmati suara ombak dan menunggu matahari terbenam.

"Warna langitnya cocok sama lo, kak."

Reika menoleh, menatap Juan yang menyodorkan gelas berukuran sedang dengan kepulan hangat yang keluar dari dalamnya. "Cocok dalam artian?"

"Langitnya cantik, Lo juga nggak kalah cantik. Jadi cocok."

"Lo kuliah ambil jurusan S1 bidang rayuan ya? Gampang banget ngomongnya."

Juan tertawa lalu ikut menyandarkan dirinya di pembatas besi. "Gue ngomongin realita, bukan rayuan."

Keduanya kini tak saling berbicara, bukan tak mau namun sepertinya suasana canggung karena lama tak bertemu lebih menguasai keduanya.

Suasana yang bercampur antara bunyi klakson pada padatnya jalanan saat pulang kerja serta desir ombak yang menghantam dinding mengisi kekosongan diantara mereka, hingga pada akhirnya Juan memberanikan diri untuk bicara setelah selesai menyeruput kopinya.

"Gue kira lo udah nggak inget sama gue, kak."

"Kenapa lo mikir gitu?" Tanya Reika tanpa mengalihkan pandangannya dari laut.

"Gimana ya, gue cuma salah satu dari banyaknya fans lo. Apalagi lo termasuk konglomerat generasi ke tiga. Mana pantes gue lo inget?"

Reika tertawa, "Apasih? Emang buat inget orang tuh butuh standar khusus?" Pandangannya kini beralih menatap kedua mata Juan untuk seperkian detik sebelum ia melanjutkan ucapannya, "Lo inget nggak apa yang terakhir kali gue omongin ke Lo dulu?"

Juan mengerutkan keningnya, seiring pandangannya yang mengikuti pergerakan Reika yang menuju pada tempat duduk yang tersedia di sederetan trotoar.

Saat itu, tepatnya sekitar satu tahun yang lalu. Juan yang saat itu menjadi pekerja paruh waktu bertugas mengantarkan pesanan yang dipesan oleh staf yang bekerja dilantai atas studio pemotretan. Saat hendak kembali ke cafe, Juan tak sengaja melihat jati diri seorang model yang dikenal dengan perawakannya yang bak malaikat dimata masyarakat, Reika Aesther tengah bersembunyi dan kehilangan kendalinya karena si bungsu membuat ulah. Beribu kata kasar keluar dari bibirnya, hingga Reika sadar ada seseorang yang membeku menatapnya.

Bagaimana Juan tak mengenalnya? Reika adalah salah satu idolanya semenjak wajah Reika terpampang menjadi model iklan game pertarungan kegemarannya pada saat itu. Entah darimana keberanian mendorongnya, Juan menghampiri Reika dan menjadi teman bicara dalam waktu setengah jam sebelum Reika kembali ke dalam studio untuk pemotretan. "Adek gue seumuran sama lo, gue nggak terlalu kenal lo tapi rasanya lebih baik lo yang jadi adek gue."

"Kenapa gitu?"

Reika tersenyum sembari menutup pintu studio, "Lo pasti tau alasannya kalau liat berita besok pagi."

Dan benar saja, surat kabar utama keesokkan harinya terisi penuh dengan kabar terbakarnya villa pribadi milik Reika, yang disebabkan oleh adiknya yang meninggalkan villa dengan keadaan kompor masih menyala.

Juan mendudukkan dirinya disamping Reika, "Adek Lo buat masalah lagi ya, kak?"

"Yah.." Reika meletakkan gelas kopi disisinya lalu memasukkan telapak tangannya yang terasa dingin kedalam saku. "Lo masih ngikutin berita gue?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mission A TreadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang