Dua - Yang Manis Teh nya atau...?

7 0 0
                                    




D U A –

Yang Manis Teh nya atau...?

"Sorry, tempat ini kosong?"

Fana mendongak, seorang lelaki tampan yang ia perkirakan umur 30-an berdiri di depannya membawa nampan.

Tanpa sadar Fana menahan napasnya, ia menghela napas singkat. "Iya, kosong."

"Ok, terima kasih." Lalu, si lelaki tampan tadi duduk di bangku kosong yang tepat di sebelah meja Fana.

Keheningan terjadi selama beberapa menit sebelum lelaki itu menginterupsi, "Sorry ganggu, kamu anak kedokteran?"

Fana menoleh, ia mengernyit bingung "Iya."

Refleks Abraham mengubah posisi duduknya menghadap Fana, "Gue Abraham, lo?

"Fana" balasnya menjabat tangan. "By the way, lo tau darimana?"

Lelaki yang diketahui bernama Abraham itu menunjuk buku didepan Fana dengan dagunya, "Buku lo". Fana mengangguk mengerti, merutuki kebodohannya.

"Eh, gue pake 'gue-lo' gapapa kan? Kalau pakai 'aku-kamu' aneh banget, gak biasa gue." Tanya Abra.

"Santai aja, gue juga gak biasa."

Abra mengangguk lalu ia makan dengan lahap.

"Terlalu manis," gumam Abra setelah ia selesai menghabiskan makanannya.

"Sorry, kenapa?"

"Oh ini, terlalu manis Thai Tea-nya."ujar Abra sambil mengangkat sedikit gelasnya.

"Thai Tea disini emang agak sedikit lebih manis, sih. Kadang gue suka tambah es batu malah."

"Jadi, Thai Tea nya sedikit manis atau lebih manis?" ujarnya sambil tersenyum simpul.

"Hmmm, sedikit agak lebih manis...jadi sedikit lebih manis..." sambil ibu jari dan telunjuknya memperagakan betapa sedikit lebih manisnya Thai Tea itu.

"Sedikit agak lebih manis ya," Abra tertawa kecil, "Diksi kamu lucu juga."

"Sorry, gue kalau ngomong emang kadang suka kebalik-balik," ujar Fana sambil tertawa kecil juga.

"Pas pelajaran bahasa Indonesia, lo pasti bolos ya,"

"Lo cenayang ya?"

Abra tertawa, "Enggak, keliatan aja dari muka lo, tukang bolos dari sd, ada aja alasan biar gak masuk sekolah."

Fana tercengang, "Wah, asli, ganteng-ganteng dukun!"

"Hahaha,thanks pujiannya, gue udah bosen dengernya tiap hari." Ujarnya sambil tersenyum malu.

"Ha? Lo beneran cenayang? Dukun?"

"Enggak lah, gila aja lo. Menurut lo aja, masa tampang kayak gini dukun," cibir Abra sembari tertawa kecil.

"Nothing is impossible, lo gak pernah denger slogan ini?" sambil ia menyeruput cokelat panasnya, "Apalagi jaman sekarang, beuhh, udah gak bener semua manusianya, jadi ya... gak ada yang gak mungkin, ya gak?" lanjutnya.

"Kalau gue bilang, gue bukan manusia, lo percaya ga?"

Fana melipat tangannya di meja, "Well, for your information," lalu ia agak mencodongkan badannya kedepan seraya tangannya menutup mulutnya dari samping, "Gue percaya sama hal-hal kayak gitu, apa jangan-jangan lo vampire?"

Abra tersenyum geli, "Gue lebih suka werewolves, tuh."

"Yah, yaudah, sorryaja gue gak bisa berteman sama werewolves, tuh."

"Yah, padahal gue baru aja mau deketin lo," jawabnya pura-pura sedih.

Fana menatap Abra heran sambil melipat tangan di dada, "Kerdus amat si lo jadi serigala manusia,"

"Manusia serigala..." ujar Abra mengoreksi.

"Yaa itu deh, sabeblah, yang penting lo ngerti."

Kali ini Abra yang mengernyit kan dahi, "Sabeb? Bahasa apa itu?"

"Kali ini gue percaya lo bukan manusia, lo beneran tinggal di hutan ya?" ujar Fana menatap Abra heran, "Ohh...gue tau, faktor 'u'ya om?" sambil kedua jarinya seperti membentuk tanda kutip.

"Eh, sembarangan manggil gue om, gue belum setua itu kali!"

"Yaaa, gimana ya, tampang lo kayak gitu sih," Fana menahan tawanya, "Dari sudut mata gue nih, lo kira-kira hampir 30 tahun, ya gak om?"

Abra mendelik, tidak terima dengan perkataan Fana "Wah, sensi nih gue ngomongin usia,"

"Gue gak setua itu ya, remaja labil." Lanjutnya.

Fana tertawa puas, Abra pun tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

Entah sejak kapan Abra sudah duduk di kursi depan Fana dan mereka bercanda seperti sudah mengenal lama.

"By the way, lo orangnya emang sksd, ya?"

"Sksd?" Abra mengernyitkan dahi "Lo daritadi pakai bahasa mana si?"

Fana menggelengkan kepalanya sambil melipat tangannya di dada, "Gak salah lagi, usia 30 memang udah mulai menua."

Abra baru saja akan mengelak, namun Fana memotong, "Sok kenal sok deket."

Abra mengangguk mengerti.

"Padahal tadi lo ada di meja samping gue, kenapa sekarang lo depan muka gue?"

"Kan tadi udah gue bilang, gue mau deketin lo."

Fana mengernyit, "Remaja labil ini juga punya selera ya om."

Abra mendecak kesal, "Gue belum setua itu untuk lo panggil om, labil."

"Kalau menurut gue lo om, ya tetep om." Ujar Fana cuek.

Abra menghela napas kesal, tapi tak elak ia juga tersenyum kecil.

Fana melihat jam di tangan kanannya, waktu sudah menunjukkan pukul 7, ia harus segera pulang. Sambil merapikan mejanya, "Ri to the so, so-ri ya om kerdus, remaja labil ini harus pulang dulu. Bye!" Fana langsung segera mengambil tasnya dan lari.

Abra bahkan belum sempat membalasnya, namun ia tersenyum menatapi pintu keluar dengan lonceng yang masih berbunyi menandakan pintu baru saja terbuka. Seketika saja, ia mengingat ia baru saja melupakan hal yang sangat penting.

"Astaga, gue lupa minta nomornya!"

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 27, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hot ChocolateWhere stories live. Discover now