Bab 1

8.9K 447 31
                                    

Cinderella Sandal Jepit

PENTING!!!

Haloo penggemar lama dan penggemar baru Gus Atha dan Nafa. Cerita mereka bakal lanjut lagi, but ini versi terbarunya ya. Versi lama sudah ttd kontrak dengan pihak novelme jadi nggak boleh di posting lagi ya. Kenapa aku buat versi yang baru? Jawabannya karena versi lama juga nggak sempat ending. Jadi, InsyaAllah versi baru ini bakal lanjut sampai ending. So, jangan lupa follow akun aku dan ikuti terus cerita ini sampai akhir ya. Terimakasih banyak semuanya.
😘😘❤️

Btw yang terakhir, ini hanya Pov Nafa ya teman-teman semua. Jika ada kesempatan, Pov Gus Atha juga bakal aku buat biar pada tahu sudut pandang mereka masing-masing tentang cerita ini. Selamat membaca.

SEKIAN 🙏🏻🙏🏻

🍒🍒🍒

Aku, Irma, Santi dan Dwi pasukan khusus pemanjat pohon mangga Abah berkumpul di bawah pohon mangga muda, mendiskusikan apakah mangga muda enak ditambah kecap manis atau makan dengan garam dan cabai.

"Yang mana dulu ini kita petik? Cabang sebelah rumah Abah bejibun serangganya." Aku melihat-lihat mangga muda mana yang mungkin bisa dipetik dengan mudah.

Pesantren memang punya banyak cerita. Seperti yang kami lakukan malam ini. Apakah ini termasuk mencuri? Ah, biasanya semua milik Abah adalah milik umum. Semboyan yang sangat di luar nalar.

Kami berempat saling memandang dan menganggukkan kepala penuh pengertian.

Dewi Amira, kami memanggilnya Dwi agar lebih singkat dan padat. Bahkan kami bertiga biasa memanggilnya Bobucu.

Aku Adudu, Irma Ba Gogo, dan Santi adalah Incik Bos.

Dwi si melemparkan sarungnya ke tanah hanya menyisakan celana kulot kain. Memanjat dengan cepat.

Aku yang tidak bisa memanjat bertepuk tangan karena takjub.

"Apakah dia belajar memanjat dari monyet? Berapa kursusnya sebulan?" Aku bertanya secara spontan.

Dwi menjawab dari atas pohon, "Otodidak."

"Dwi, ayo cepetan! Jangan lama-lama ntar ketahuan Abah bisa berabe kita semua," kata Irma dengan suara pelan. Dia aku tempatkan di bagian keamanan karena bisa berlari paling cepat dan matanya seterang siang hari saat melihat Abah. Entah trauma apa yang dimiliki anak itu, selalu kerasukan saat melihat Abah Guru.

"Cepetan apanya. Kamu kira tanganku sepanjang tangan Simpanse apa? Nyampe dari Monas ke Bekasi sekali srobot. Woii, mana banyak serangga ini." Dwi mengeluh. Suaranya hampir pecah seperti toa mesjid.

"Sstttt ... jangan berisik! ketahuan Abah tamat riwayat kita, riwayatku belum banyak di pesantren jadi jangan sampai kita diusir duluan karena mangga." Santi ikut menimpali. Rasa khawatir terlukis di seluruh wajahnya.

Diantara kami berempat, anak ini paling penakut. Kucing melompat di atas pun dia akan ketakutan dan lari pontang panting. Pernah sekali, dia terkejut dengan mukenaku yang tergantung di samping jendela.

Malam itu mati lampu dan cahaya bulan menyoroti mukena lewat celah jendela yang terbuka, ketika masuk ke bilik itulah yang pertama dia lihat hingga lari kocar-kacir dan pada akhirnya dia menabrak dinding.

Aku yang sedang tidur di atas ranjang susun tingkat dua tertawa sampai perut keram. Lupakan penakut ini. Memetik mangga sekarang lebih penting.

Pohon mangga yang tumbuh di belakang rumah Abah begitu rimbun dan berbuah lebat. Santri lain tidak berani mendekat sama sekali. Kami berempat adalah anggota Osdu. Preman pesantren. Pohon mangga sudah kami pagari. Mueehehe ....

Cinderella Sandal Jepit (Gus Atha)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang