🍒🍒🍒
Aku kembali ke asrama sambil berpikir keras. Di tengah jalan, aku tidak sengaja menabrak seorang ukhti bercadar. Sontak bola lampu langsung menyala di kepala yang mungil nan pintar ini.
"Uti, utii! Ukhti Mahira?" Aku menarik lengannya dan bertanya penuh semangat. Rasanya salinan Surah Al-Baqarah sudah ada di depan mata. Ah, bahkan udara terasa sangat indah.
Ukhti itu menjawab dengan sopan, "Benar. Ada masalah apa, Nafais?"
"Begini ceritanya. Ukhti ini pintar kaligrafi, kan? Sayaa–"
"Saya apa?"
Aku tertegun saat suara seorang laki-laki memotong dari belakang. Firasatku sedikit buruk mendengar suara itu.
"Sayaa.... "
"Anti tukang ngibul, ya?"
Aku berbalik ke belakang dengan wajah kaku. Persisss!
'Gus ini kayak demit kalau jalan nggak ada suara!" dumelku dalam hati.
Gus Atha berdiri dengan tangan kiri di pinggang dan kemoceng di tangan kanan. Aku tersenyum kecut dan hendak menjelaskan, tetapi Beliau ini tidak memberiku kesempatan untuk berbicara.
"Besok hari kebaktian. Anti sendirian membersihkan seluruh mushalla para akhwat. Saya yang akan mengawasinya secara pribadi. Awas kalau sampai nggak bersih!" ancamnya terang-terangan.
Aku terkejut bukan main. Lalu memprotes karena tidak terima. "Saya bagian pemantauan besok, Gus. Kenapa harus membersihkan mushalla. Yang harus dibersihkan itu hati manusia yang kotor bukan mushalla yang suci, Gus."
"Maksud Anti hati saya kotor?" Dia bertanya dengan tidak senang.
Aku menundukkan kepala, menatap jari-jari kaki dan bergumam dengan lembut, "Memangnya tidak?"
"Apa?" tanyanya dengan tatapan rumit.
"Anda bisa mendengarnya?" Suaraku tidak terlalu keras.
"Anti pikir saya berdiri di Sabang dan Anda di Merauke?"
"Emang bisa?"
Gus Atha menarik napas dalam-dalam dan berjalan pergi begitu saja. Kemocengnya berayun-ayun di udara membuatku sedikit merinding. Aku tidak menyinggung bos besar ini, bukan?
Aku berbalik dan menatap ukhti Mahira yang masih berdiri dan menatapku dengan tatapan bertanya-tanya terlukis di wajahnya.
"Tidak seperti yang Anda pikirkan, Ukhti. Hanya kesalahpahaman kecil," alibiku terdengar canggung.
"Saya tidak memikirkan apa-apa. Tapi, bukannya mushalla baru saja dibersihkan kemarin?"
Aku terdiam sejenak. "Lalu kenapa disuruh bersihkan lagi?" tanyaku tidak percaya.
Ukhti Mahira menggelengkan kepala. Kami saling menatap dan tenggelam dalam pikiran masing-masing saat suara Gus Atha terdengar sekali lagi.
Aku hampir melompat karena terkejut dan memegang jantung agar tidak jatuh. "Gus kenapa kalau jalan nggak pernah ada suara?" tanyaku spontan.
"Memangnya ada undang-undang yang mewajibkan jika jalan itu harus ada bunyinya?"
Jawaban Beliu ini sungguh di luar ekspektasi. Jika bukan karena Gus, aku sudah mengambil kemoceng di tangannya da memukulinya dengan keras.
Aku berusaha keras menahan emosi. "Saya sedikit terkejut tadi, Gus. Jika saya tiba-tiba terkena serangan jantung, siapa yang akan bertanggungjawab?"
"Apa yang saya lakukan hingga membuat jantung Anda terkejut? Bukannya saya minta pinjam seratus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella Sandal Jepit (Gus Atha)
Teen FictionFollow dulu sebelum baca ya gaiss. Jangan lupa tambahkan juga ke perpustakaan pribadi kalian dan selamat membaca. Penting baca juga info ini ya teman-teman semua!!! Cinderella Sandal Jepit berubah judul jadi, "Bukan Sandal Biasa." 🍒🍒 "Aku memen...