Cerita Rayuan Pulau Kelapa

33 5 1
                                    

Pulau Timor, 15 Agustus 1999

Tanah airku Indonesia.....
Negeri elok amat kucinta.....
Tanah tumpah darahku yang mulia.....
Yang kupuja sepanjang masa.....
Tanah airku aman dan makmur.....
Pulau kelapa amatlah subur.....
Pulau melati pujaan bangsa.....
Sejak kala dulu.....
Melambai-lambai nyiur di pantai.....
Berbisik-bisik raja klana....
Memuja pulau nan indah permai.....
Nananaaaaaaa.....

Terdengar syahdu sebuah rangkaian alunan melodi yang keluar dari seseorang yang menjadi saksi akan sejarah kelam bangsa ini di masa lalu, ialah kakekku, Kakek Aksara. Aksara. Ya, nama yang sesuai dengan pribadinya yang penuh akan cerita. Seorang veteran, seorang panglima yang berjalan di barisan terdepan, memastikan sang saka merah putih tidak turun dari tiang penyangga langit. Kala itu, 83 tahun silam.

"Wah suaranya bagus banget, Kek." Pujiku.

"Ada-ada aja kamu, suara serak-serak tua kaya gini kamu bilang bagus." Balas Kakek, dengan tertawa.

"Laskar, apa kamu tau judul lagu yang kakek nyanyikan tadi?" Tanya kakek.

"Iya, Laskar tau kek, Rayuan Pulau Kelapa, kan?" Jawabku.

"Ya, kamu benar, kamu tau sejarah lagu itu terbuat?" Tanya Kakek.

"Hehe, kalau masalah itu Laskar nggak tau sih, Kek." Jawabku malu sambil tertawa kecil.

"Jadi, begini, dengarkan Kakek baik-baik. Lagu ini adalah lagu yang dikarang sekaligus ditulis oleh teman Kakek, Ismail Marzuki. Kamu pasti tau kan, siapa beliau? Beliau adalah seorang komponis yang handal, karya lagu yang beliau ciptakan begitu menyentuh hati orang yang mendengarkannya. Rayuan Pulau Kelapa, lagu yang menggambarkan kearifan lokal Indonesia, lagu yang penuh akan cerita keindahan dan kekayaan alam negeri ini, dan lagu itu juga yang selalu mengingatkan Kakek dengan segala keindahan dan kenangan yang ada di sini, Pulau Timor. Kakek tak pernah membayangkan jika pada akhirnya, Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia." Jelas Kakek.

Lirik dan irama Rayuan Pulau Kelapa memang membuat setiap orang yang mendengarnya takjub akan permainya negeri ini. Ismail Marzuki. Ya, aku cukup tau siapa beliau, karyanya juga tak sedikit. Tapi, terlepas dari semua itu, mengapa Kakek merasa sangat bingung dengan perdebatan yang terjadi mengenai pelepasan diri Timor Timur dari Indonesia? Bukankah itu semua tak sepenuhnya berpengaruh pada kehidupan kami? Ya, tahun ini, 1999, akhir abad 20 Indonesia memang sedang diguncang dengan beberapa macam permasalahan, tak hanya krisis ekonomi yang melanda sejak tahun 1998, tapi saat ini bumi persada Nusantara ini juga sedang diguncang dengan permasalahan Timor Timur yang ingin melepaskan diri dari bumi persada Nusantara ini.  Tapi, bukankah aku dan Kakek hanya perlu untuk mengikuti alur yang terjadi saja? Itu pikirku.

"Kek, apa yang membuat Kakek gelisah dengan masalah Timor Timur yang akan melepaskan diri dari Indonesia? Bukankah kita hanya tinggal mengikuti alurnya saja? Semua itu tak akan berpengaruh besar untuk kita kan, Kek?" Tanyaku penasaran.

Tiba-tiba mendung datang, kilat mulai mencambuk gumpalan awan, dan saat itu juga muka Kakek menjadi merah padam,  amarah terpampang dari muka Kakek, aku tak tau mengapa Kakek marah, apa salahku? Apakah aku salah bicara? Aku pun benar-benar tak tau apa kesalahanku.

"Laskar. Dengarkan Kakek baik-baik! Hidup itu berjalan, hidup itu tak seperti dahan kayu yang jatuh ke sungai dan tak punya arah tujuan perjalanan. Jangan bagai air di daun talas yang selalu terombang-ambing dan tak punya pendirian yang kokoh. Ingat itu, Laskar. Kamu tanya kenapa Kakek merasa bingung akan masalah ini? Kakek rasa kamu cukup tau setelah Kakek ceritakan semuanya ke kamu. Kakek bingung apakah Kakek harus bertahan di kampung ini atau Kakek harus pergi meninggalkan segala kenangan yang pernah ada di kampung ini. Mengapa? Kamu tau? Jika Kakek tetap bertahan di sini, otomatis Kakek sudah bukan warga negara Indonesia lagi. Tapi, jika Kakek meninggalkan kampung ini, Kakek tidak tau, bagaimana caranya Kakek harus melepaskan segala kenangan yang ada di sini, karena di sinilah kakek dilahirkan, di tanah ini Kakek dibesarkan oleh eyang buyutmu, dan di tanah ini juga Kakek melakukan petualangan, menjelajah keindahan tanah persada ini, bersama cinta kasih Kakek, Nenekmu. Kamu mengerti, Laskar?" Jelas Kakek.

"Ya, aku sekarang ngerti, Kek. Maaf. Aku memang tak bisa berpikir sejauh itu. Aku hanya mengikuti alur yang ada." Pikirku.

"Ya, Kakek maklum, Laskar, tapi kamu juga perlu tau. Sekarang begini saja, jika kamu disuruh masuk jurang, apakah kamu tetap akan mengikuti alur yang berupa perintah itu? Apa kamu akan masuk ke dalam jurang itu? Nggak, kan?" Tekan Kakek.

"Iya, Kek, nggak." Jawabku.

Sekarang aku tau dan aku cukup paham bahwa hidup tak akan berjalan jika aku hanya mengikuti alur yang ada. Aku juga mengerti, bahwa dalam hidup aku tak bisa seperti air yang ada di daun talas, yang selalu terombang-ambing tak punya pendirian. Aku juga kini mengerti bahwa hidup adalah sebuah pilihan, pilihan yang selalu membuat diri setiap insan yang memilih bingung. Tapi, sadarilah pilihan itulah yang justru dapat menjadi arah mata angin kemana kita harus pergi setelahnya. Aku juga kini paham bahwa hidup ini adalah sebuah petualangan, petualangan yang selalu mengandung rangkaian melodi yang indah. Mengapa demikian? Karena di dalam sebuah petualangan selalu ada tekad, usaha, dan doa yang dikolaborasikan menjadi satu dan akhirnya menghasilkan hal yang seindah alunan melodi lagu dan balik indahnya melodi sebuah lagu selalu ada cerita, cerita yang akan membuat orang yang memahaminya akan mengerti mengapa melodi lagu itu disusun dan dirangkai sedemikian rupa menjadi sebuah irama.

Kini aku mengerti dan aku paham tentang cerita dari setuap rangkaian lirik dan irama 'Rayuan Pulau Kelapa'. Kanvas bumi persada Nusantara tempatku berteduh hingga kumenutup mata ada dan tergambar dalam rangkaian alunan melodinya. Aku tau itu.

                                            *****

Balutan Petualangan Cinta NusantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang