Sekar Asmarandini

26 4 8
                                    

9 Januari 2000

Wonosobo kutha asri
Wus misuwur aneng manca
Papan pariwisatane
Lengger cukur gembel sarta
Budaya warna-warna
Endah guna papanipun
Sakehing para wisata

Lantunan merdu melodi lagu itu terdengar dari  gadis di bangsal itu. Gamelan pun berbunyi mengiringi lantunan merdu lagu yang dinyanyikan oleh gadis itu. Gadis itu. Ya, sepertinya aku tak asing dengan gadis itu. Secara tak sadar mulai terlintas dalam pikiranku mengenai gadis dalam mimpiku. Sekar. Ya, Sekar. Apakah dia Sekar? Mungkin saja.

"Ambo, ambo Sekar. Merdu sekali lah suara Kao."
"Ah, Uda. Ndak kok, biasa saja."

Sekar? Jadi benar dia adalah Sekar? Jadi Sekar benar-benar hidup di dunia ini? Apa ini hanya kebetulan saja? Tapi, mengapa hatiku berdebar-debar?

Rintikan air dari daun pepohonan mulai membasahi diriku. Mending menggelayuti awan. Rintik demi rintik hujan mulai membasahi tanah tempat ku berdiri. Daun talas cukup melindungiku dari rintik air hujan yang belum deras ini. Aku masih berada di luar bangsal balai kampung ini, mengamati Sekar. Entah mengapa rasa penasaran akan dirinya semakin terbesit dalam hatiku. Apakah ini adalah sebuah langkahku mencari cinta sejatiku? Apakah Sekar adalah cinta sejatiku?
Lamunan kembali menyelimuti diriku. Tanpa kusadari ada seseorang yang memperhatikanku. Koh Xien Ching. Aku cukup tau siapa dia, seorang aktivis lingkungan di kampung ini. Ia adalah satu-satunya orang yang di kampung ini yang beragama Khonghucu. Tanpa adanya rasa minoritas dalam dirinya, ia sangat menghargai warga Siberut Selatan yang mayoritas beragama Islam.

"Sekar, kau lihat pemuda itu? Ia adalah pemuda yang berasal dari Timor Timur. Kau tau kan, di mana itu Timor Timur? Ada apa kiranya dia di situ berpayung daun talas itu ha?"

"Oh, iya ya, kasian sekali. Asmane sinten ta, Koh?"

Aku mulai sadar, Sekar dan Koh Xien Ching  memperhatikanku yang tengah hujan-hujanan di balik pohon trembesi dekat bangsa balai kampung ini.

"Eh, Mas, kok di situ? Ayo ke sini saja bergabung dengan kami, Mas."
"Eh, hehe, makasih mbak, tapi lain kali saja, sekarang saya harus pulang. Kakek pasti sudah menunggu saya di rumah."
"Loh, bawa payung ndak ta, Mas?"
"Hehe, nggak, mbak. Ini ada daun talas, lumayan bisa jadi payung, hehe."
"Wah, jangan begitu, Mas. Nanti sakit."

Tanpa pikir panjang, payung sudah menutupi sekujur tubuhku. Rasa hangat kini kurasakan. Rasa yang begitu hangat, yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Entah apa yang merasuki diriku, aku merasakan hal yang tidak sewajarnya pada diriku.

~Apa yang kita rasakan hari ini akan pasti akan berdampak di kemudian hari.~

"Mbak, kalau payung ini saya pakai, lalu Mbak balik ke bangsal pakai apa? Saya tidak ingin merepotkan, Mbak. Nanti kalau payung ini saya pakai, mbak kehujanan. Nanti Mbak yang sakit. Saya ini laki-laki, Mbak. Dengan hujan begini saja tubuh saya pasti masih kuat, Mbak. Sudah ini ambil saja payungnya, Mbak."

Sekar hanya terdiam. Tatapannya menatap tanah yang kian terkikis oleh air. Derasnya hujan kian menyambangi bumi.

Tentang Hujan, Manusia, dan Kisahku
Apakah salah jika aku berkata orang-orang di bumi ini egois? Apakah salah jika aku berkata orang-orang di bumi ini malas? Mereka selalu menyalahkan hujan atas terhambatnya hiruk pikuk kesibukan mereka. Manusia terlalu manja ketika rintikan hujan turun. Mereka lupa bahwa ada alat untuk melindungi mereka dari derasnya air hujan itu. Mereka melupakan payung, mereka melupakan mantel, mereka melupakan sebilah daun pisang, mereka melupakan daun talas. Mereka melupakan semua itu. Salahkah aku, egoiskah aku, jika aku mengatakan hujan adalah anugerah yang diberikan sang pencipta untuk mendekatkan diriku dengan gadis yang kukagumi? Salahkan aku jika aku mengatakan hujan adalah cara Tuhan menyatukan dua insan yang ingin bersatu?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Balutan Petualangan Cinta NusantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang