NATHA POV

240 2 0
                                    



Aku sudah hampir setengah jam berada di sini. Kopiku sudah hampir dingin, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan Fay. Ya, dia akhirnya menyetujui untuk menemuiku. Aku tidak bilang mau apa, aku hanya bilang kalau ada hal penting yang harus aku bicarakan.

Kami berjanji bertemu di salah satu Coffee Shop di dekat kantor Fay. Aku ingat, kami pun pertama kali bertemu di sini. Ia mengenakan celana katun dan jacket warna kuning terang. Rambutnya di cukur cepak, tak ketinggalan juga parfumnya yang beraroma bubble gum-yang selalu ku ejek karena aku sangat tidak suka baunya.

"Nath."

Aku menatap takjub pada seorang pria yang tiba-tiba datang menghampiriku. Aku masih bengong saat ia datang dan duduk tepat di hadapanku.

Ia sepertinya masih mengenakan setelan kerjanya, hanya saja ia memakai sweater warna dark grey hari ini. Ia tidak menyambutku dengan senyumannya yang biasanya. Tapi tak apa, ini mengingatkanku lagi kalau senyumnya memang bukan lagi milikku.

"Apa kabar, Fay? Udah lama ya gak ketemu."

Fay mengangguk, "Baik. Kamu?"

"Baik juga." Aku tersenyum, "oh iya, kamu pesan dulu aja." Aku hampir lupa.

"Aku gak akan lama, kok." Jawabnya.

Aku terdiam. Fay memang benar-benar sudah berubah. Ia bukan lagi Fayku yang ceria dan selalu membuatku tertawa.

"Kamu banyak berubah, Nath." Ia seperti bisa membaca pikiranku. Tapi yang berubah itu dia, bukan aku.

"Ha?"

"Iya, pangling lihatnya." Ia tertawa.

Aku pun ikut tertawa, "But you're still the same." Kataku, "eh, maksud aku...kamu masih sama aja gitu." Aku lupa kalau ia benar-benar payah dalam berbahasa inggris.

Fay tersenyum tipis. Ia mengedarkan pandangan ke arah luar.

Kecanggungan melanda kami, aku pun mengeluarkan sebuah undangan dari dalam tasku. Aku tidak mau berlama-lama di sini dan membuang waktunya. Aku tahu, ia sepertinya terpaksa menemuiku.

"Datang, ya." Aku menyodorkan undangan itu padanya.

Ia tersentak kaget, ia melihatku seakan tak percaya. Ya, aku pun masih tak percaya kalau aku akhirnya bisa menikah dan mencintai pria lain selain dia.

Fay masih belum bicara apa-apa, ia membuka undangan itu dan mulai membacanya. Aku pun masih diam, tidak mau terlalu banyak bicara didepannya.

"Nath." Ia melihat ke arahku, air mukanya berubah menjadi lebih dingin.

"Ya?"

"Jadi, kamu ngajak aku ketemu cuma buat ngasih ini?" ia menunjuk ke arah undangan pernikahanku.

"Iya." Aku mengangguk yakin,"aku hanya mau menepati janji."

"Janji?" ia keheranan.

"Aku pernah janji sama kamu, suatu saat kalau aku menikah aku bakal undang kamu." Aku menjelaskan, "kamu gak akan ingat, Fay." Karena hanya aku yang mengingatnya dengan sangat baik.

Fay memalingkan wajahnya dariku, "Kan bisa to the point di whatsapp, gak perlu ketemu kayak gini."

"Jadi kamu keberatan?" entah kenapa aku merasa kalau lukaku yang sudah sembuh itu kembali berdarah lagi.

"Ya." Jawabnya dengan yakin, "kamu gak perlu menepati apalah itu; janji. Gak penting."

Kata-katanya itu sekali lagi membuatku sadar kalau semuanya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Ia bukan lagi Fay yang selalu ingin menemuiku, ia sudah tidak lagi....mencintaiku.

"Niatku baik." tenggorokkanku tercekat, rasanya sulit untuk bicara lagi. "maaf udah bikin kamu repot-repot datang."


"Aku selalu berharap ada keajaiban." Fay menerawang jauh ke langit, ia lalu melihat ke arahku sambil mengelus lembut rambutku, "waktu di ulang dan aku memilih kamu."

Fay merangkulku lebih dekat ke pelukannya. Aku bisa mencium aroma parfum yang selalu aku sukai.

"Parfumnya wangi." Aku nyengir, "wangi aku." Aku tertawa. Parfum itu adalah kado dariku; Bulgari Extreme.

Fay hanya tersenyum, "Jawab dulu yang tadi aku bilang."

Aku berpikir sejenak, "Keajaiban untuk kembali ke masa lalu?" tanyaku.

Fay mengangguk yakin, "Kalo bisa, kamu mau nerima aku kan?"

Aku tertawa, "Enggak."

"Kok gitu, sih?" ia mendadak sewot.

Aku melepas rangkulannya dan berjalan ke sisi pagar, "Aku sayang Fay, aku gak butuh keajaiban." aku menjelaskan, "lebih baik begini, daripada enggak sama sekali."

Fay berjalan menghampiriku, "Yakin?"

"Ya, aku gak butuh keajaiban." Aku mengangguk pelan, "because, you're the miracle." Aku tersenyum padanya.

"Apa artinya?"

"Artinya kamu jelek." Aku tertawa.


"Dion...siapa dia?"

Aku terbangun dari lamunanku, Fay menatapku tajam. Kenapa ia menanyakan tentang ini?

"Tunanganku." Jawabku tegas.

"Maksud aku...darimana kamu kenal dia."

"Teman kuliah. Dulu sempat dekat tapi dia punya pacar. Tapi yaaa, namanya juga jodoh. Selama apapun dia pacaran sama perempuan itu, ya nikahnya sama aku. Hahaha." Aku bercerita panjang lebar.

"Dan sekuat apapun berjuang, kalau bukan jodoh...ya bisa apa?"

Aku diam, rasanya tidak ada yang perlu aku jawab. Dia benar, perjuangan aku dan Fay hanyalah angin lalu. Tidak berguna. Karena...takdir itu bukan milikku.

Aku mengalihkan perhatianku ke luar, menghirup dalam-dalam aroma hujan yang masih begitu jelas terasa. Fay pun tidak bicara lagi, mungkin ia juga sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Fay, kayaknya aku harus pulang." Aku memutuskan untuk pulang. Aku tidak mau berlama-lama di sini. Lagipula, ia tidak menerimaku dengan baik. Benar katanya waktu itu, kami tidak akan pernah bisa berteman jika tidak berjodoh.

"Iya, Nath." Katanya, "duluan aja, aku masih mau di sini." Ia mengalihkan perhatiannya pada handphonenya. Aku bisa melihat kalau background layar handphonenya adalah foto pernikahannya dengan Elena.

Ya, semua bagai terulang kembali. Kejadian satu tahun yang lalu. Aku duduk di sudut ini dengannya. Cuaca yang mendung dan semilir angin setelah hujan. Langit senja tidak berwarna merah, hanya kelabu. Semuanya sama, kecuali kami berdua...yang telah berada disisi yang berbeda.

Tapi, aku harus menyadarkan diriku lagi kalau aku dan Fay sudah sama-sama menjadi orang asing lagi. aku tidak boleh tetap menyimpan perasaan ini, sedangkan ia sudah membenci aku. Ini tidak adil bagiku. Ya, memang tidak pernah ada keadilan untuk orang ketiga sepertiku.

Aku beranjak, "Ya udah, aku tunggu di wedding aku ya, Fay."

Fay pun beranjak dan berdiri, ia tersenyum tipis, "Iya, Nath. Semoga bahagia."

"Amin. Kamu dan Elena juga, ya." Kataku saat kami berjabat tangan. Fay tidak menjawab apapun.

Aku melangkah pergi tanpa menoleh sedikitpun padanya.

 Aku benci Fay. 

Ah tidak, maksudku...aku benci melihat Fay membenciku.

Orang KetigaWhere stories live. Discover now