FAY POV

102 1 0
                                    


Aku menyanggupi permintaan Natha untuk bertemu denganku. Aku tidak tahu ia mau apa. Yang aku tahu, ia sepertinya sudah bahagia. Kabar terakhir mengatakan kalau ia sudah bertunangan dengan teman kuliahnya. Aku memang sudah memblokir semua akun sosial medianya, tapi...bukan berarti kalau aku tidak tahu. 

Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya mau memastikan kalau ia baik-baik saja tanpa aku. Karena sejujurnya, aku sudah sangat jahat pada Natha. Ia mencintaiku dengan begitu tulus. Ya, mungkin aku juga begitu. Tapi tetap saja, aku tak akan pernah bisa meninggalkan Elena untuknya.

Seandainya semua bisa terulang kembali, aku ingin tetap bersama Natha. Aku ingin hidup bahagia dengannya, aku juga ingin terus mendengarnya bernyanyi untukku. Tapi...apa yang bisa aku lakukan sekarang? Hanya bisa mendo'akan dia bahagia, walaupun bukan bersamaku.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mataku tertuju pada seorang gadis dengan kuncir kuda yang sedang minum dari gelasnya. Aku menarik napas panjang, aku harus siap menghadapi ini. Aku harus terlihat baik didepannya.

"Nath." aku menghampirinya, lalu duduk dihadapannya.

Matanya terbelalak melihat kedatanganku. Aku rindu sekali mata indah itu. ia mengenakan lensa kontak warna abu-abu terang. Semakin kontras dengan wajahnya yang cantik-mirip orang timur tengah. Rambutnya berwarna coklat gelap. Dan kupikir, mungkin kulitnya jauh lebih putih di banding terakhir kali aku bertemu dengannya.

"Apa kabar, Fay? Udah lama ya gak ketemu." ia memulai pembicaraan.

Aku mengangguk, "Baik. Kamu?" 

"Baik juga." Natha tersenyum, "oh iya, kamu pesan dulu aja." ia menawarkan.

"Aku gak akan lama, kok." jawabku. Aku tidak mau berlama-lama dengannya. Walaupun aku merindukannya, tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi suami yang baik bagi Elena. Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama dua kali.

"Kamu banyak berubah, Nath." sebaiknya aku mengatakan ini.

"Ha?" ia tersentak kaget.

"Iya, pangling lihatnya." kataku sambil tertawa, mencoba senatural mungkin memulai basa-basi ini. Tapi aku tidak berbohong, ia memang sangat cantik.

Natha tertawa, "But, you're still the same." aku tidak tahu apa artinya itu, "eh, maksud aku...kamu masih sama aja gitu." sepertinya ia menerjemahkan kata-katanya tadi.

Aku hanya tersenyum. Aku memang masih sama. Sekarang aku berada dihadapannya, masih dengan perasaan yang sama. Tidak pernah berubah sejak satu tahun yang lalu. Ya, aku masih mengaguminya.

"Datang, ya."

Ia memberiku sebuah kertas indah warna abu-abu bersampulkan plastik. Didepannya tertera jelas namanya dan seseorang yang bernama Dion. Undangannya manis sekali, aku pun membukanya dan membaca isinya.

Natha terlihat sangat tenang menghadapiku, apa ia sudah benar-benar melupakan aku?

Dua minggu lagi ia akan menikah. Ia akan menjadi milik pria lain untuk selamanya. Skor kami akan menjadi satu sama. Aku menikah dengan orang lain, begitupun dengannya. Tapi...kenapa rasanya sakit sekali?

Natha menikahi orang lain....

Aku kira ia akan tetap mencintaiku sampai keajaiban datang; aku dan Elena akan berpisah dan kami akan bersama selamanya. Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Ia membual dalam semua tulisannya di Blog. Lagu-lagunya yang kupikir tentangku itu ternyata....

Natha berbohong. Ia tidak pernah mencintaiku sedalam aku mencintainya. Padahal aku sudah rela-rela datang kesini untuknya. Aku juga memakai parfum kesukaannya. Aku kira ini akan menjadi awal bagi kisah kami lagi. Nyatanya...ia berbohong.

"Nath." aku akhirnya bicara. 

"Ya?" sahutnya.

"Kamu ngajak aku ketemu cuma buat ngasih ini?"aku menunjuk ke arah undangan itu.

Ia mengangguk, "Iya. Aku hanya mau menepati janji."

"Janji?" janji apa?

"Aku pernah janji sama kamu, suatu saat kalau aku menikah aku bakal undang kamu." ia menjelaskan, "kamu gak akan ingat, Fay." 

Dia salah. Aku ingat semuanya.

Aku membuang muka, "Kan bisa to the point di whatsapp, gak perlu ketemu kayak gini."

"Jadi kamu keberatan?" wajahnya terlihat sedih.

"Ya." aku menjawab, "kamu gak perlu menepati apalah itu; janji. Gak penting." aku berbohong.

Ia menatapku dalam, "Niatku baik. Maaf udah bikin kamu repot-repot datang."

"Dion...siapa dia?" aku mengalihkan, mungkin ini bisa membuat moodnya jauh lebih baik.

"Tunanganku."

"Maksud aku...darimana kamu kenal dia." aku hanya berpura-pura tidak tahu.

"Teman kuliah. Dulu sempat dekat tapi dia punya pacar. Tapi yaaa, namanya juga jodoh. Selama apapun dia pacaran sama perempuan itu, ya nikahnya sama aku. Hahaha." katanya sambil tertawa. 


Aku menarik napas panjang, "Dan sekuat apapun berjuang, kalau bukan jodoh...ya bisa apa?" ini adalah tentang aku dan Natha. Karena pada akhirnya, semua perjuangan kami berakhir sia-sia.

Natha tidak menjawab apa-apa, ia memasukkan handphone dan dompetnya ke dalam tas.

"Fay, kayaknya aku harus pulang." katanya. Kurasa aku sudah keterlaluan padanya.

"Iya, Nath." kataku, "duluan aja, aku masih mau disini."

Ia beranjak, "Ya udah, aku tunggu di wedding aku ya, Fay."

Aku pun beranjak dan berdiri, "Iya, Nath. Semoga bahagia." aku tersenyum pahit.

"Amin. Kamu dan Elena juga, ya." 


Kami bersalaman dan ia pun berlalu pergi. Semua mata tertuju padanya saat ia berjalan melewati meja-meja mereka. Sudah kubilang kalau Natha sangat cantik.

Sekali lagi aku mengamati undangan pernikahannya. Ya, ia akan menikah dengan orang lain. Apakah ini yang dirasakan Natha waktu itu? Melihatku mengucap janji suci dengan wanita lain, melihatku berbahagia di sisi yang berbeda.

Ternyata rasanya sakit sekali. Lebih sakit daripada yang pernah aku bayangkan sebelumnya. Ini jauh lebih menyakitkan daripada saat aku di selingkuhi Elena. Dadaku rasanya sesak, padahal udara disini benar-benar sangat sejuk.

Aku mengamati Natha dari jauh, ia tidak menoleh sedikitpun padaku. Aku tahu ia kecewa dengan sikapku tadi. Aku juga salah, tidak seharusnya aku berkata seperti itu pada Natha. Mungkin ia akan semakin menganggapku laki-laki brengsek karena sudah bersikap seenaknya padanya.

Tapi, biarlah seperti apa yang ia lihat saja. Aku tidak mau menghancurkan hatinya lagi. Aku akan membiarkannya bahagia dengan prianya itu. Pria hebat yang bisa membuat Natha melupakan aku.

Aku memang pantas mendapatkan penyesalan seperti ini. Aku menerimanya. Aku menerima semua sakit hatiku ini dengan lapang dada.

Aku membuka handphoneku dan melihat foto-foto pernikahanku dengan Elena empat tahun yang lalu. Saat-saat membahagiakan itu, bahkan untuk kali ini rasanya hampa. Yang ada di kepalaku sekarang hanyalah wajah Natha, suara merdunya saat bernyanyi, juga manis senyumnya saat ia tertawa.

Penyesalanku tidak terbendung. Aku meneteskan air mata...untuk pertama kalinya. Ternyata aku segila ini, ternyata aku semenyesal ini sudah menghancurkan hidupnya.

Semua...benar-benar tidak akan pernah aku lupakan. Natha akan selalu menempati tempat spesial di hatiku, tempat yang tak akan bisa ditempati oleh siapapun. Bahkan oleh istriku sendiri.


***

Orang KetigaWhere stories live. Discover now