Pendahuluan. Angkasa Punya Cerita

52 10 8
                                    

Sore itu angin berhembus kencang, langit terlihat mendung beserta awan yang menutupi pancaran sinar matahari. Mengingat akhir tahun telah datang dan memasuki musim hujan, yang mungkin akan turun tak lama lagi. Angkasa mengaitkan kancing demi kancing kardigan rajut cokelat pudar miliknya seraya mendongak sekilas ke arah langit. Menatapnya dengan tatapan datar lalu menghela napas panjang, sementara kakinya terus melangkah menelusuri jalan trotoar di pinggir jalan raya dalam diam. Sesekali menendang kerikil di sepanjang jalan untuk menghilangkan rasa bosannya.

Sudah dua jam sejak sekolah berakhir, namun Angkasa masih terus mengulur waktu untuk sampai ke rumah. Tadi ia sempat berkeliling sekolah, mendapati beberapa siswa yang belum pulang karena kegiatan ekstrakurikuler, osis, maupun yang sekedar menunggu jemputan. Berulang kali ia juga menghampiri warung belakang sekolah hanya untuk merebahkan bokong di kursi kayu reot tanpa membeli apapun, sampai pada akhirnya ia terusir oleh penjaga sekolah saat sudah detik terakhir pagar sekolah hendak ditutup.

Mungkin, jika teman temannya akan bersorak gembira saat bel sekolah selesai berdering, Angkasa justru akan mengeluh kecewa. Jika teman temannya segera membereskan alat tulis mereka dan berhamburan keluar kelas secepat mungkin, Angkasa pun akan melangkahkan kakinya lambat lambat dengan enggan. Konyol memang. Siapa yang tidak ingin segera bersantai di rumah setelah menjalani hari melelahkan? jawabannya tentu bukan dia, bagi seorang Angkasa. Ia justru ingin menghabiskan waktunya di luar, setidaknya bukan di rumahnya.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat kemana pun kaki berjalan akan kembali dan pulang, namun kebalikannya.

Angkasa hanya tinggal bersama ibunya di rumah, kedua orang tuanya berpisah beberapa tahun yang lalu. Pada saat itu, hal paling meresakan bagi Angkasa kecil setiap malam sebelum tidur adalah menyaksikan pertengkaran kedua insan yang dipaksa untuk mencintai satu sama lain meski tidak ditakdirkan untuk bersama. Ia masih ingat saat kedua orang tuanya berteriak saling sahut menyahut tanpa henti, banting barang sana dan sini. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menutup kedua telinga dengan bantal dan mengharapkan esok hari untuk datang secepat mungkin.

Sampai suatu malam, sang ayah datang ke kamar Angkasa kecil dan mengelus puncak kepalanya pelan. Meminta maaf atas segala kesalahannya dan meminta Angkasa untuk tidak melupakan sosok pria itu. Diakhiri dengan kecupan di dahi, Rendra pun pamit untuk selamanya. Meninggalkan Angkasa dan ibunya untuk menjalani kehidupan mereka sebagai keluarga tak utuh.

Angkasa pikir, hidupnya akan kembali tenang. Berpisahnya Rendra dan Bunga sudah membawa seberkas harapan baru baginya.

Namun, ia salah.

Angkasa salah besar. Kini, ia harus berhadapan dengan ibunya seorang diri. Menyaksikan Bunga yang justru semakin terpukul karena kepergian Rendra, serta mendengar betapa ibunya membenci dirinya selama ini.

"Andaikan kau tidak lahir, aku pasti sudah bahagia dengan lelaki lain!"

Angkasa tidak memiliki masalah dengan sang ibu kembali membangun rumah tangga baru bersama orang lain, sungguh. Namun melihat betapa buruk kondisinya karena lelaki itu, Angkasa semakin menyangka bahwa ini semua salahnya. Bunga selalu pergi setiap malam datang, dan kembali setelah rembulan bergilir dengan mentari dengan keadaan mabuk atau parahnya, tidak sadarkan diri dan dibawa pulang oleh orang baik yang masih tersisa di dunia.

Saat beliau di rumah pun, Angkasa hanya akan menjadi bahan pelampiasan. Terkadang menyakitinya tanpa alasan, maupun hal menyayat hati lainnya.

Dan secara perlahan, membuat Angkasa memiliki ketakutan sendiri untuk melangkahkan kaki ke dalam rumah.

Bruk,

Lamunan Angkasa seketika buyar saat ia menabrak anak kecil bersama ibunya. Angkasa yang bingung pun tidak tahu harus bagaimana selain membungkuk dan meminta maaf, lalu segera berlalu sebelum ibu dari sang anak akan menyemprotnya. Ia menggerutu dalam hati betapa cerobohnya dia. Sampai tiba tiba, setetes air hujan jatuh membasahi kacamatanya. Tak lama kemudian, diikuti tetesan tetesan air berikutnya.

Hujan!

Angkasa linglung, ia tidak membawa payung atau jas hujan untuk berjaga jaga. Tidak mungkin juga untuk melepas kardigannya, udara sore ini sangat dingin. Perjalanan untuk sampai ke rumah pun masih terbilang lama. Ditambah, petir dan kilat menyambar tanpa aba aba.

Sore yang indah, pikirnya. Sepertinya semesta memang sedang tidak berpihak kepadanya hari ini. Niat Angkasa ingin menghabiskan sore hari sebelum malam datang dan mengharuskannya berkutat di rumah sampai esok pagi datang telah kandas seketika.

Kini tidak ada hal yang bisa dilakukannya selain menepi ke sebuah kedai kecil di dekat gang. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam kedua sisi kantong celananya, mengharapkan menemukan selembar uang untuk membeli kopi atau sekedar jajanan ringan selama ia berteduh. Karena tidak sama halnya seperti di warung belakang sekolah dimana ia hanya menumpang duduk, ia masih memiliki harga diri. Setidaknya.

Namun nihil. Ia hanya menemukan dua koin yang bahkan masih bernilai setengah harga dari makanan termurah di kedai tersebut. Angkasa hanya bisa menerima nasibnya dengan pasrah, sambil memasukkan koin tadi ke dalam saku kembali seraya mendongak ke arah langit.

Belum ada tanda hujan akan berhenti dalam waktu dekat ini, dimana hari pun sudah semakin petang. Angkasa yakin, ia akan kena marah saat sampai di rumah nanti. Tapi toh, peduli apa dia? Ini bukan pertama kalinya ia akan dimarahi. Bahkan ia pernah lebih dari itu.

Untuk sekarang, Angkasa masih bisa bernapas lega. Setidaknya sebelum sampai rumah. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia mengharapkan hujan akan berlangsung lama. Jika bisa sampai nanti saat ibunya telah tertidur atau pergi keluar seperti kebanyakan hari.

Biarlah, ia menikmati hujan sekarang. Mendengar suara gerumuh dan kilat dari atas sana. Sebelum ia harus kembali.

Karena Angkasa takut,
Karena Angkasa tidak ingin pulang.






Angkasa
featuring, Choi Beomgyu
2020, butiransalju

***

Kenan Angkasa, 16

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenan Angkasa, 16

to be continued






-note
pakabar semua! setengah tahun hiatus wattpad, akhirnya aku balik. mohon dimaafkan kalau pengetikan gaya bahasa nya masih gumoh, udah lama ga nulis sekalinya buat work baru kaku lagi wkwk. Choi Beomgyu as Angkasa, dapet feel nya kah? Semoga, aamiin paling serius. terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca karya ini!╰(*'︶'*)╯♡

Angkasa 'choi beomgyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang