"Sedang apa dia memojokkan diri disitu?"
Seorang wanita separuh baya menoleh dan melirik sosok yang dimaksud oleh sang cucu. Ia melihat Angkasa tengah berdiri di ujung kedai sambil menundukkan kepala, sesekali bergetar ketakutan saat petir menyambar. Kedua sudut bibirnya tertarik berlawanan, lalu ia kembali meracik kopi pesanan pelanggan tanpa berbicara apapun.
"Nek? Mengapa diam saja? Apa nenek tidak risih melihatnya? Numpang teduh iya, beli tidak." tanya lelaki tadi lagi dengan celemek abu lusuh membalut pakaiannya. Sesekali melirik ke arah Angkasa dengan tatapan sebal. "Astaga, Nek. Aku usir saja ya?"
"Kamal," Nandini memperingati cucunya. Melirik sekilas memastikan apakah lelaki itu memiliki atensi penuh kepadanya. "Sudahlah, kasihan. Ia hanya berteduh."
Lelaki itu memajukan bibir tidak terima, namun hanya diam tidak membalas ucapan neneknya. Namun pandangannya tetap tertuju kepada lelaki sepantarannya yang terlihat mengenakan seragam sekolah setingkat dengannya. Tunggu, itu adalah seragam sekolah Dirgantara. Sekolah impiannya!
Beruntung sekali, ucapnya dalam hati. Sejak dulu ia selalu ingin menjadi siswa dari sekolah tersebut. Membayangkan betapa kerennya ia memakai seragam berlambang bintang yang merupakan lambang dan ciri khas sekolah Dirgantara, serta mempelajari berbagai macam pelajaran yang tidak pernah di ajarkan oleh sekolah sekolah lainnya. Ditambah, perawakan lelaki itu juga di atas rata rata. Paket lengkap sekali, bukan?
Namun, ia menggeleng. Sudahlah, tidak usah membayangkan hal yang bahkan tidak akan bisa terjadi. Untuk bertahan hidup saja sulit, apalagi bersaing demi sekolah bergengsi yang semata hanya menerima para murid bercukupan. Lelaki itu menghela napas, bersamaan dengan selesainya mencuci dan mengeringkan alat makan disaat ia mencium wangi panekuk yang dibuat oleh sang nenek. Ia mengerutkan dahi bingung, sedangkan Nandini tersenyum simpul mengetahui cucunya tengah memperhatikannya.
Setelah panekuk hangat itu disajikan di atas piring lengkap dengan saus madu, Nandini menaruhnya di atas nampan dan meminta cucunya untuk menyeduh segelas susu.
"Sudah, nek." Nandini mengambil alih segelas susu panas dan ikut menaruhnya di nampan bersama sepiring panekuk hangat. Tidak lupa menyisipkan beberapa lembar tisu serta garpu dan pisau.
"Nah, sudah. Kamu panggil lelaki itu kesini ya." Nandini menunjuk Angkasa-lelaki yang dimaksud untuk dipanggilnya dan mendorong lelaki disebelahnya
"Hah? Aku kira ini untukku?"
"Tidak perlu. Kau bahkan bisa membuat semua ini sendiri. Sudah, cepatlah."
Angkasa masih tetap berdiri di ujung kedai, meski sepatu dan bagian kepalanya terkena air hujan sedikit. Namun lebih baik daripada ia harus menerobos dan membiarkan sekujur tubuhnya basah kuyup. Tidak, itu akan menjadi hal yang lama untuk di urus lagi. Ia juga sempat berdebat di pikirannya, berencana untuk mengunjungi kedai ini esok hari dan benar benar memesan makanannya untuk membalas budi karena mengijinkannya berteduh.
Wangi kopi dan makanan bertepung serasa sangat nikmat dari indra penciuman Angkasa. Perutnya pun berbunyi, seperti ingin ikut mencicipi makanan lezat di dalam. Tapi-ah, sudahlah, Angkasa tidak punya uang untuk membelinya.
Tepat pada saat ia memikirkan itu, tepukan tangan yang menyentuh bahu Angkasa membuatnya terkejut.
Oh tidak, apa aku akan terusir?
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa 'choi beomgyu
Teen FictionAngkasa tidak pernah ingin pulang. Ia lebih suka berkelana di dunia luar daripada harus terjebak bersama sang ibu yang setiap hari selalu mendatangkan masalah baru. Rumah bukanlah tempat dimana ia merasakan kehangatan, Angkasa sama sekali tidak pern...