Hutang Apresiasi

8 1 0
                                    

Rakan mengenalkan banyak warna, bahkan ketika aku sudah merasa hidupku ini memang penuh warna. Seolah ia bisa meracik warna-warna dengan indah, mencampur-campurkannya dengan baik dan sempurna.

Bukan hanya warna, ia juga pandai mengukir senyum dan tawa buatku. Hal-hal baru dan perjalanan yang belum pernah terjamah olehku sebelumnya, perjalanan yang bukan hanya sekedar perjalanan fisik, perjalanan mencari arti ke dalam salah satunya, contohnya menyelami pola pikirnya yang sangat humanis.

Suatu ketika, saat Rakan sedang menungguku untuk makan siang bareng di kantin belakang kampus, dia sedang makan roti sambil bersandar di motor-motor yang parkir di sekitar lapangan parkir. Dengan gaya berdirinya yang cool (berdiri saja dia sudah otomatis keren), dia bilang sekaligus membuka obrolan,

"Barusan aku beli dari yang lewat itu, sebisa mungkin cari alasan biar bisa beli dagangan orang kecil walaupun  kita gak butuh banget."

Aku hanya membalas senyum dan merespon secukupnya, "Oh, beli dari yang tadi lewat itu ya."

Lalu kita menuju tempat makan yang sudah Rakan pilihkan.

Aku sudah tahu konsep pemikiran yang dia katakan, bahwa kita perlu membantu orang, terutama carilah alasan untuk membeli barang dari orang-orang yang memang membutuhkan. Tapi pada saat itu aku lupa mengapresiasi, aku menyesal tidak mengapresiasi Rakan secara verbal. Seharusnya dia berhak mendapatkan wajah antusiasku atau bahkan sekadar ucapan "Kamu baik banget, Rakan. Aku seneng, deh."

Tapi saat itu aku malah bermain dengan egoku, aku merasa bahwa orang baik itu banyak, dan hal yang dilakukan Rakan itu juga sudah biasa.

Di tempat makan kami memesan ayam penyet, dan Rakan dengan tambahan tumis toge. Ibu kantinnya seperti sudah akrab sekali dengan Rakan. Lucu sekali melihatnya mencari-cari bahan untuk dibahas, sedang aku terlalu kikuk untuk menatap wajahnya, tandanya aku benar-benar malu.

"Eh, game ini seru deh," kataku mengalihkan perhatian.

Wajah Rakan masam, "Main HP-nya di rumah aja kan bisa."

Aku langsung taruh handphone-ku dan mesem-mesem.

Aku hanya terlalu lemah untuk terus-terusan menatapmu Rakan, bahkan untuk obrolan yang terus-menerus aku bisa sakit mata melihat wajahmu yang terlalu menawan bagiku.

Untuk beberapa kata dan gerak, mungkin aku terlihat tidak menghargai atau tertarik denganmu, itu adalah upaya sadarku dan gengsiku untuk tidak terlalu nampak mengagumimu.

Bahkan tiap hari bersamamu, selalu terekam jelas dan berputar-putar otomatis setiap malam. Dan hanya aku sendiri yang tahu, betapa aku candu denganmu, kau tak boleh tahu itu.

Lagu-lagu Arctic Monkey-mu yang kau putar di aplikasi Path pada saat itu, langsung kucari dan kupahami lirik-liriknya.

Kau indah dengan aslimu, dengan humor recehmu, dengan tawa khasmu sampai matamu tenggelam. Kau yang sempat kukira lelaki arab ternyata betawi tulen itu, kau yang buatku hidup rasa, warna dan kisah.

Rasa-rasanya aksara takkan mampu mengungkapkan betapa bahagianya si gadia itu saat denganmu, jutaan kalimat dan ribuan puisi tercipta, menjelaskan bahwa kau sebegitunya mencipta rasa bahagia, untuk si gadis tak punya arah itu.

Rakan memperlihatkan foto-fotonya di instagram, memintaku juga untuk mem-follownya, padahal aku sudah stalking sebelumnya. Lihat siapa yang sebetulnya lebih dulu penasaran? Dan siapa yang lebih berani menyuarakan, terima kasih Rakan. Kau ajarkan keberanian dan kejujuran.

"Follow instagram aku dong,"

Aku meraih handphone-nya dan melihat-lihat foto di dalamnya. Dalam hati aku ingin tertawa, karena aku sudah tahu duluan.

"Eh tapi itu foto cewek, sepupu aku yaa.." Rakan mengklarifikasi tanpa kutanya.

"Ehm.. emangnya kenapa? Gak apa-apa kok."

"Ya takutnya kamu pikir itu siapa-siapa," jawabnya.

"Kalau siapa-siapa juga gak apa-apa," duhh dasar aku. Pura-pura gak ngerti maksud Rakan klarifikasi begitu.
Aku senyum-senyun sendiri, lagi-lagi.

Rakan salah tingkah.

Pernahkah kamu merasa sangat bahagia, di satu sisi kamu merasa sangat tidak layak untuk mendapatkannya?

Aku sedang di posisi itu, insecurity membuat aku merasa tidak pantas untuk dicintai, disayangi, dan diperhatikan seperti yang Rakan perlihatkan. Juga seperti ada suara-suara yang mencegahku merasa bahagia, suara-suara yang menilai kekurangan fisikku.

Cewek gendut kaya kamu, mana mungkin Rakan beneran suka sama kamu. Kalaupun dia suka sama kamu,  jangan melayang dulu, nanti kamu gak tahu gimana sakit hatinya pas kehilangan. Masih banyak cewek cantik lainnya. Jangan berharap lebih, siapkan benteng diri, biar jatuhmu gak sakit-sakit amat.

Begitulah kira-kira suara yang kuterima, atau bahkan sebenarnya yang kucipta sendiri? Makanya aku menjadi orang yang super-defensive perihal hubungan asmara.

Satu sisi, aku hanya ingin dipahami dengan caraku, bukan dengan cara-cara mainstream. Aku lupa bahwa tidak semua orang bisa mengerti, tidak perlu memaksa orang untuk memahami kita. Tapi kita harus selalu berusaha memahami orang lain, maksud orang lain. Dan mengurangi sifat egois kita.

Rakan, aku baru sadar, kamu bukanlah peramal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat-Surat Buat RakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang