Tiga

21 1 0
                                    

Hari ini aku nggak mood banget dateng ke sekolah. Dari keluar rumah sampe masuk gerbang sekolah, moodku stuck di titik low.

Bukan!
Bukan karena aku lagi sebel sama Kak Aki. Hari ini aku nggak nyoba minta anter ke dia lagi kok. Lagian kalau pun sampe nekat minta anter lagi, aku udah tau jawabannya bakal kayak apa. Jadi, ini semua bukan soal dia, tapi soal Ibu.

Semalam, Ibu telpon dan bilang kalau Ibu ada di Sukabumi. Aku sama sekali nggak tau kalo Ibu berencana untuk kesana. Katanya, Wa Didi, Kakaknya Ibu, kembali sakit.

Akhir-akhir ini beliau memang sering sakit semenjak ditinggal Wa Nina, isterinya. Berpuluh-puluh tahun menikah, namun keduanya belum dikaruniai seorang anak pun. Sampai pada akhirnya, Wa Nina pergi ke pangkuan Allah.

Rencananya, Ibu akan tinggal disana bersama Wa Didi. Sebetulnya Ibu bingung, haruskah Ibu tinggal disana atau Wa Didi yang pindah kesini? Kasian kata Ibu, nggak ada yang mengurus Wa Didi. Lagipula, Ibu adalah satu-satunya keluarga yang Wa Didi punya. Ibu meminta maaf karena belum sempat bertemu denganku lagi. Ibu juga meminta maaf karena harus tinggal disana entah sampai kapan. Aku bisa apa? Mendengar yang Ibu ceritakan, aku hanya bisa menerimanya. Padahal, baru saja kemarin saat perjalanan pulang dari sekolah terlintas untuk menginap di rumah Ibu akhir pekan ini. Aku kepengen banget cerita banyak tentang kesanku selama 5 hari ini tinggal bersama orang lain. Hmm.. Apalah daya. Rencana tinggalah rencana.

Aku jadi ingat hari itu.

Pernikahan ini nggak aku tolak habis-habisan karena Ibu. Aku nggak kabur dari rumah juga karena Ibu. Mana mungkin aku mengecewakan Ibu yang sudah banyak menelan pahitnya kehidupan? Khususnya setelah kepergian Ayah.

3 tahun yang lalu Ayahku mengalami kecelakaan. Mobil yang Ayah kendarai saat itu ditabrak truk yang hilang kendali dari arah berlawanan. Ayah koma sehari semalam karena ada luka benturan yang cukup parah di kepalanya. Ibu saat itu sedang mengandung calon adikku. Usia kandungannya baru menginjak 4 bulan. Aku sangat senang menantikan seorang Adik. Namun, aku dipaksa untuk mengubur bayangan-bayangan indah bermain dengan sosok adik saat itu. Ibu mengalami keguguran setelah mendengar kabar bahwa Ayah sudah pergi untuk selamanya. Aku nggak ngerti kenapa bisa keguguran. Aku yang berusia 14 tahun hanya bisa menangis sejadi-jadinya di rumah sakit.

Satu tahun semenjak kepergiaan Ayah, hidup kami sedikit berbeda. Kami mulai mengalami krisis ekonomi. Ibu terpaksa menjual rumah kami saat itu dan pindah ke rumah yang lebih sederhana. Ibu mulai memulai usaha kue kecil-kecilan. Ibu memang jago banget buat berbagai macam pastry dan bakery. Beberapa bulan kemudian, kemajuan usaha Ibu cukup pesat. Ibu benar-benar sibuk siang-malam membuat roti dan kue-kue. Walau tidak memiliki outlet, Ibu selalu banjir pelanggan. Ibu benar-benar kuat menjalani kehidupan tanpa Ayah. Ibu sangat tegar menjalani kehidupan sebagai seorang Ibu juga seorang Ayah di hidupku.

Aku sempat tidak bersyukur di awal-awal kejatuhan ekonomi kami, terutama saat harus pindah dari rumah yang sejak dulu kami tempati dan hidup tanpa asisten rumah tangga. Awal-awal kepindahan kami ke rumah yang baru, membuatku banyak mengeluh. Aku juga sering menangis karena harus berpisah dengan sahabat-sahabat SMP ku. Mereka berbondong-bondong masuk ke sekolah super elit, sedangkan aku terpisah sendirian. Ditambah, aku juga tidak bisa selalu ikut kumpul dengan sahabat-sahabatku itu karena Ibu lebih memprioritaskan uang untuk modal jualan.

Aku sering mengeluh. Tapi, lambat-laun aku mulai menerima semuanya. Malu rasanya, aku menangisi hal-hal seperti itu sedangkan Ibu menangis karena harus memutar otak berjuang sendiri menghidupi kami berdua. Akhirnya aku mampu menerima kehidupan baru kami dan selalu bahagia bersama Ibu.
Namun kebahagiaan itu rasanya ditarik paksa saat Ibu memintaku untuk menerima kenyataan yang lumayan bertentangan dengan definisi bahagia. Ibu memintaku untuk menerima pernikahan yang sudah direncanakan Ayah dan Ayah mertuaku jauh sebelum aku besar. Awalnya aku bereaksi wajar; memberontak. Jelas, bagaimana tidak? Siapa sih yang nggak kaget disuruh nikah sama orang yang bahkan nggak kita kenal, di usia yang sebegini mudanya pula? Tapi, pemberontakanku itu hanya berlangsung 2 hari saja. Di hari ketiga aku luluh dan menyerahkan diri pada kenyataan. 2 hari 2 malam aku memaksa otakku untuk berpikir mati-matian mencoba menerima segalanya. Belum lagi ketika harus membayangkan tangisan-tangisan Ibu selama ini. Tega rasanya kalau aku yang jadi sebab tangisan-tangisan Ibu yang baru.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KEKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang