Terkadang, sering kali aku berkata dalam benakku, di dua puluh lima tahun hidupku ini semua terasa sangat berarti, namun seiring itu pula aku merasakan ada satu tahun yang hilang dari kehidupku, satu tahun yang sangat asing ku rasakan, satu tahun yang terkadang sulit sekali untuk ku ingat, satu tahun yang jauh sekali dari kehidupanku dulu. Saat-saat itu saat aku berada di tempat ini.
Tapi bukan berarti satu tahun itu tak pernah bermakna, melainkan sebaliknya. Satu tahun yang sangat berharga melebihi apa yang ku bayangkan sebelumnya. Karena satu tahun itu merubah hidup, cara dan sudut pandangku.
Waktu itu, pertama kalinya Aku berada di kota Malang, kota yang dingin dan indah. Kota yang mana aku berencana melanjutkan pendidikanku ke jenjang perkuliahan. Seperti yang banyak orang katakan, kota ini sebagai kotanya para pelajar kedua setelah Jogjakarta, karena ada puluhan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di sini, transportasi yang memadai selama 24 jam, udara sejuk, dan biaya hidup yang sangat terjangkau, mungkin itu akan sangat membantuku untuk tetap fokus kuliah.
Rencananya, aku akan mengambil program pendidikan satu tahun, karena pada tahun berikutnya Aau sudah memiliki rencana lain.
Aku berangkat ke kota ini bersama seorang teman yang berencana kuliah di tempat yang sama. Ia terdaftar dalam gelombang pertama dan aku pada gelombang ketiga, jadi semua urusan pendaftaranku ku peroleh darinya, termasuk tempat kost, Ia juga yang mencarikan, meskipun dulu saat berbicara lewat Telpon Ia mengatakan bahwa semua tempat kost di dekat kampus sudah penuh dihuni dan dipesan, adapun beberapa yang masih kosong di sewakan dengan biaya selangit, dan yang masih tersisa hanyalah ada satu tempat kost dengan biaya sewa sangat murah. Aku sepakat.
Setelah melakukan daftar ulang di kampus tujuanku itu, aku bersama temanku langsung menuju tempat kost untuk meletakkan barang dan melunasi pembayaran. Sebagai informasi, temanku itu sudah mengontrak rumah di tempat lain, jadi yang akan tinggal di kost ini hanyalah aku saja.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, aku dan temanku mulai menyusuri gang dekat kampus. Banyak gang di sini, sepertinya semua rumah di sekitar sini di sewakan dan akhirnya setelah melewati lima gang dari pintu masuk tiba-tiba saja temanku berhenti di depan sebuah rumah di ujung gang, Ia menoleh kehadapanku bermaksud memberikan isyarat bahwa ini adalah rumah yang Ia pesankan untukku sambil berkata “ini rumahnya”.
Sekilas Aku memperhatikan rumah itu, dan tanpa sadar bibirku berkata “Astaghfirulloh hal adziimm…”