Mas Heri

15 2 0
                                    

Ia berkata “Hei, kamu anak kost baru ya?” Sambil melompat-lompat kegirangan dengan gitar yang masih Ia junjung. Aku hanya menganggukkan kepala tanda megiyakan. “Kenalkan, namaku Heri” sambil mengulurkan tangannya padaku, “Namaku Al iz mas” jawabku singkat. “Ayo kita main gitar lagi di depan rumahku” pinta mas Heri.

Astaga, hampir saja jantungku copot, ku kira mas Heri akan memukulkan gitarnya ke wajahku tadi, ternyata tidak. Buruk sekali rasan ya awal perkenalanku dengan mas Heri.  Tapi ada sesuatu hal dari mas Heri yang masih berkesan dan tak terlupakan olehku hingga saat ini. Dari semua orang yang pernah ku jumpai hanya mas Heri yang mempunyai mata berkaca-kaca tiap waktu. Mata seseorang berkaca-kaca saat sedih itu merupakan hal yang  wajar bagiku, tapi mas Heri, matanya selalu berkaca-kaca setiap waktu. Bukan mengada-ada tapi memang kenyataannya begitu. Sorot matanya begitu dalam hingga Aku serasa seperti masuk kedalamnya. Jika pernah menonton Aktor utama pemeran film Ghost Rider sedang menghukum penjahat dengan menatap matanya, membuatnya ingat akan segala dosa dan kesalahannya selama hidup lalu mata itu mengering dan menghitam mengiringi kematiannya, seperti itulah mata Mas Heri, tatapan mata yang kosong dan sangat dalam.

Tak butuh waktu lama untuk kami berkenalan, karena kami mempunyai kegemaran yang sama yaitu bermain gitar. Obrolan kami pun hanya berputar-putar di dunia musik, dan ternyata kami mempunyai idola yang sama dalam bermain gitar, yakni Yngwie dan Joe Satriani.

Teknik gitar yang aku bisa, mas Heri juga bisa memainkannya, namun apa yang mas Heri bisa, aku malah tidak bisa. Ia menguasai permainan Fingerstyle yang sangat hebat meskipun hanya dengan dua jari dan Ia bisa melakukan itu tanpa kursus alias otodidak. Hampir tak bisa ku percaya. Bagaimana bisa Ia mempelajari lagu sekelas Romance de Amor tanpa partitur, padahal dulu saat aku kursus gitar Aku harus belajar partitur lagu itu berbulan-bulan. Yang pasti Mas Heri memiliki jiwa musikalitas tinggi dan aku belajar banyak darinya tentang teknik Fingerstyle.

Teman pertamaku disini ialah Mas Heri, sebenarnya Ia adalah keponakan dari pemilik rumah sebelah. Dari informasi yang ku dengar, kedua orang tuanya sudah meninggal dan sekarang Ia tinggal bersama paman satu-satunya itu.

Banyak waktu ku habiskan bersamanya. Terkadang Ia juga mengajakku menyewa komik di malam hari dan membacanya bersama-sama hingga pagi menjelang. Aku sangat suka membaca bersamanya, hingga terkadang aku yang mencari dan mengajaknya untuk menyewa komik bersama. Tapi Aku sangat kaget saat Ia menolak ajakanku itu dan malah menghardikku bahwa kegiatan itu tak berguna sama sekali, sambil mengucapkan istighfar Ia meninggalkanku masuk kedalam rumah begitu saja dan mengurung diri.

Memang saat pertama kali bertemu dengan mas Heri, ku rasakan ada suatu hal yang aneh, ia berpenampilan agak kacau, dengan kaos lusuh dan celana pendek yang robek dari depan hingga belakang serta sering berkata kotor (Menghujat dan menyebut alat kelamin wanita) setiap waktu. Tapi hari ini ia berpenampilan sangat berbeda, dengan gamis hitam panjang dan peci yang berwarna sama Ia tampak murung dan selalu mengucapkan Istighfar. Aneh sekali orang ini pikirku.

Mas Heri berubah drastis. Yang lebih mengherankan lagi ketika ku lihat mas Heri membuang gitarnya keluar dari kamar saat aku masih berdiri mematung di depan pintu rumahnya. Aku sangat bingung dengan temanku satu-satunya ini.

Keesokan hari, Tanpa sungkan Aku bertanya pada Bapak kost tentang perubahan sikap Mas heri, kenapa perilakunya bisa berubah begitu cepat, apa Ia sedang ada masalah atau yang lainnya karena Aku sangat ingin berteman dan menimba ilmu gitar darinya. Dan Jawaban yang ku peroleh sangat membuatku terheran-heran. Karena sedang santai, Bapak kost menceritakannya begitu detil tentang masa kecil mas Heri dan sikapnya yang sering berubah-ubah hingga tak terasa sudah dua jam Bapak kost menceritakannya padaku. Aku semakin bingung. Jadi inti dari ceritanya adalah: Mas Heri di keluarkan dari sekolah dasar karena pernah memasukkan kepalanya ke dalam rok guru perempuan saat sedang mengajar. Semenjak itu Ia di keluarkan dan tak pernah bersekolah lagi. Menurut tetangga Ia melakukan itu karena sebelumnya Ia pernah di rasuki jin dan semenjak itu ia berubah jadi anak yang sangat nakal.

Entahlah, sulit sekali bagiku untuk menerima penjelasan itu. Sekilas Mas Heri memang tampak seperti terkena gangguan kejiwaan, namun orang-orang lebih suka meyakini itu sebagai gangguan jin. Mungkin Ia memiliki masa lalu yang buruk dan hal itu menciptakan keperibadian baru dalam dirinya yang dalam dunia Psikologi di sebut sebagai Dissociative Identity Disorder atau gangguan keperibadian ganda. Mungkin!

Yang ku lakukan hanyalah menerima semua keadaan mas Heri itu. Aku tetap bergaul dengannya saat Ia sedang sadar ataupun tidak. Hanya saja, Aku lebih berhati-hati bicara saat ia sedang dalam kondisi sedang sadar yang kelihatan saat Ia memakai baju gamis dan sering mengucapkan Istighfar, karena bila Aku salah bicara Ia bisa langsung marah dan tak terkontrol, mungkin karena itu Ia menggedor-gedor tembok saat moment pertama kali kami berjumpa. Celakanya, Aku lebih suka dengan mas Heri yang dalam kondisi tidak sadar itu. Aku suka caciannya, Aku suka ceria dan tawa lepasnya. Aku lebih menyukai itu dari pada harus melihatnya murung dan mengurung diri di dalam kamar.

Terkadang sesekali ia juga mengajakku mengamen dan aku hanya menemaninya saja. Uniknya, mas Heri tak pernah mengamen di rumah-rumah, bus ataupun kereta. Lokasi favoritnya mengamen adalah kampus. Agak kaget sebenarnya, Ia mengajakku melompati pagar belakang kampus di sore hari, tepatnya setelah magrib, itu adalah waktu kesukaannya untuk mengamen. Aku takut kalau dipergoki satpam dan dianggap sebagai pencuri, bisa runyam urusannya. Tapi untuk pertama kali ini, aku ikuti sajalah, kalaupun pernah tertangkap mestinya Mas Heri sudah berhenti melakukan ini sedari dulu.

Aku sedikit berpikir, logika dari mana bahwa mengamen di kampus akan mendapatkan uang? Tapi ternyata malah logikaku yang salah karena target mengamen mas Heri adalah mahasiswa yang sedang pacaran di tempat-tempat gelap belakang kampus saat jam perkuliahan sudah usai. Dengan suasana remang-remang, berduaan dengan kekasih dan diiringi lantunan instrument lagu yang merdu dari gitar Mas Heri, suasana seketika itu juga berubah menjadi romantis. Tak hayal jika satu lagu yang dimainkan mas Heri dihargai dengan uang pecahan puluhan ribu, yang pasti muda-mudi itu akan malu untuk memberikan uang recehan karena permainan gitar mas Heri bisa merubah suasana menjadi lebih hangat.

Kurang dari satu jam mas Heri sudah mengantongi uang ratusan ribu. Hebat bukan, Aku akui itu dan logikanya mengalahkanku. Itulah mas Heri dengan dunianya, dunia yang tanpa batas. Dibalik penampilan dan kata-kata kotornya itu, ada sesuatu darinya yang tak disadari dan dimiliki oleh orang lain.

Hari terus berganti dan mulai banyak hal yang ku pelajari di tempat ini. Karena latar belakang pendidikanku adalah ilmu sosial tanpa sadar Aku juga mencermati fenomena-fenoma yang terjadi dalam masyarakat, tentang tingkah laku, hukum adat, etika dan pergaulan. Hiruk-pikuk kota ini juga seperti tak pernah ada matinya, dari malam hingga malam lagi tiap orang benar-benar menghabiskan waktunya. Memang semua dikembalikan pada prinsip masing-masing pribadi. Bukan pula Aku merasa menyesal dan merasa salah telah memilih kota ini untuk melanjutkan kuliah. Tapi kelak jika aku memiliki Anak, terlebih Ia adalah seorang perempuan, sepertinya aku tak akan pernah menguliahkannya di kota ini…

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

INDEKOSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang