"Na, cantik banget ya."
Setelah seharian penuh menempuh perjalanan darat, rombongan SMA Braja Mangkubumi kini sudah duduk nyaman di bagian atas kapal.
Gerombolan besar yang dominan anak-anak adam, menginvasi separuh tempat untuk mabar game online, sedangkan para gadis, menguasai pinggiran geladak dengan tawa mereka yang mengudara.
Tapi tidak untuk Cendana. Si gadis tusuk konde ini hanya bisa duduk meringkuk di lantai dengan mata terpejam erat. Lehernya semakin tidak enak, perutnya penuh sesak terisi udara. Sedikit saja ia lengah, keluar sudah semua isi lambungnya.
"Dan, sakit po?" Lona merapatkan diri, prihatin betul pada sahabatnya yang tampak mengenaskan ini.
Cendana lantas mendongak, berusaha memasang senyum tanda ia baik, walau tampaknya gagal—karena sungguh, demi apapun, guncangan di kapal ditambah angin malam yang amat dingin, adalah kombinasi paling sempurna untuk membuat Cendana tak berdaya.
Gadis dengan overall denim berserta kaos pink neon-nya itu mendecih, "Ndak usah bohong, nih minum."
Tanpa aba-aba, Lona memasuk sachet kemasan obat masuk angin kedalam mulut Cendana, gadis itu melotot tak terima, walau akhirnya ia teguk juga.
Cendana mendesah lega, paduan jahe dan madu itu lumayan juga, setidaknya cukup untuk membuat Cendana hidup untuk beberapa waktu kedepan. "Makasih ya Na."
Gadis disampingnya tersenyum, amat lebar hingga matanya menyipit seperti bulan, ah, itu salah satu dari sekian pesona yang dimiliki Lona, Cendana jadi iri.
Tak lama, peluit kapal melolong panjang, tanda mereka akan segera berlayar mengarungi selat Bali menuju pangkalan akhir, Pelabuhan Gilimanuk.
Cendana buru-buru berdiri, tubuhnya merapat pada pembatas pagar. Membuka telinga dan matanya lebar-lebar. Ia bisa mendengar seruan teman-temannya yang heboh karena akan berangkat meninggalkan tanah Jawa. Tanpa sadar, bibir tipis gadis itu tertarik, membentuk sunggingan kecil.
Dirasa terlalu ramai, Cendana bergeser, sedikit menjauh dari tempat teman-temannya, duduk menuju bagian geladak yang lebih sepi di belakang. Butuh kesunyian tersendiri untuk Cendana bisa sedikit melepas penat.
"Oy, kok ngejauh? Butuh ruang to?" Lona tiba-tiba sudah berdiri disampingnya. Menepuk pundaknya pelan.
Cendana mengangguk tanpa mengalihkan pandangan, "Disana berisik."
Lona tersenyum dalam diam, ia tau betul, Cendana lebih suka berkencan dengan dirinya sendiri daripada ikut bergosip bersama gadis-gadis lain. Mungkin terkesan sombong atau bahkan sejenis anti-sosial, tapi melihat sorot Cendana lebih segar dan lebih bebas seperti ini, Lona tak bisa apa-apa
Biarlah cemooh dan sindiran pedas mereka berdengung, toh Cendana juga tak peduli. Namun kadang, Lona khawatir juga, Cendana sudah dicap aneh oleh teman-temannya sejak pertama kali melihat rambut gadis itu dicepol dengan tusuk konde perak di hari pertama sekolah, ditambah namanya yang serupa dengan pohon, membuat dirinya jadi sasaran empuk. Padahal, Cendana itu baik, tidak seangkuh yang lain kira.
"Na, cantik banget ya." Belah bibir Cendana terbuka saking khusyuknya ia memuja pemandangan yang tertangkap oleh matanya sekarang ini.
"Iya, cantik banget!"
Gemercik air laut yang membiru dibawah, memantulkan cahaya gemerlap, lampu-lampu jingga kemerahan dari Pelabuhan Gilimanuk yang tak pernah tidur. Ya, memang sedekat itu Pulau Bali, sampai-sampai ramainya mereka bisa diintip dari Ketapang.
Panorama dibawah bersanding apik oleh selimut gelap yang sama-sama membiru diatasnya, walaupun lagi-lagi tanpa bintang, hanya seberkas tipis dari rembulan yang merona pucat malam ini.
Cendana memejamkan mata, dalam sekali tarikan, tusuk kondenya dilepas, membuat surai panjang hitam yang sudah tertoreh merah burgundy pada bagian ujung miliknya, tergerai bebas, melebur bersama hembusan angin darat.
Hidung mancung Cendana terkembang, terburu membelai raksi keramat dupa yang teramat tipis, dipadu dengan segarnya garam laut dan sedikit asam karat dari si kapal tua.
Sesuatu dalam dirinya meledak, memenuhi setiap rongga dan celah tubuh, lalu sedikit demi sedikit, memunculkan memori-memori manis, layaknya memutar ulang sebuah film legenda. Dadanya menghangat, otaknya tak lagi berkedut nyeri, hanya ada tenang yang aman dari pelukan ibunda laut.
Perasaan seperti ini lah, yang menjadi dokumenter tersendiri bagi gadis Mandakini itu.
Sebelum sekelumit ganda amis menguap dan memporak-porandakan noktah sedap yang sudah berjajar lebih dulu. Alis Cendana bertaut, mengernyit ketika warna cerah bayangannya, berubah hitam.
Pudar, lalu hilang.
Cendana tersentak, kedua matanya terbelak. Tubuhnya goyah. Cepat-cepat, ia berpegangan pada pagar, membuat sahabatnya ikut terkejut. "Kenapa Dan?"
"Enggak. Gapapa. Gue gapapa." Sahutnya terengah.
Lona menghela napas, setetes dari pelupuknya ia sentak. Gadis itu tak menyangka, melewati Selat Bali setelah sekian lama, bisa membuat perasaannya kacau bukan main.
Perlahan Lona bergerak, mempersempit jarak, kemudian dengan lembut, mengusap sebuah bekas sayat melintang di pelipis sahabatnya. "Luka ini... Ndak bakal hilang, iya to Dan?
Beruntung mereka menyepi dalam temaram, Cendana tak akan sadar, si bungsu Bramantyo tenggelam dalam suram.
KAMU SEDANG MEMBACA
terselap | bangchan [✓]
Fanfiction"Kayaknya gue tau apa yang mau gue lakuin disana." "Apa?" Cendana nyengir, "Cari jodoh!" 🌅°𝐬𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐩𝐚𝐧𝐨𝐫𝐚𝐦𝐚 𝐤𝐞𝐡𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐝𝐮𝐚 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐚𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐮𝐥𝐮 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐬𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐫𝐮𝐚𝐦...