heures 3% | tatap dan singgah

414 91 18
                                    

"Bodo, aku ki serius Dan—Eh tuh, tuh, orangnya ngeliat sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bodo, aku ki serius Dan—Eh tuh, tuh, orangnya ngeliat sini."


Pagi merangkak amat cepat, selepas sampai di Pelabuhan Gilimanuk, perjalanan mereka berlanjut menuju daerah Tabanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi merangkak amat cepat, selepas sampai di Pelabuhan Gilimanuk, perjalanan mereka berlanjut menuju daerah Tabanan. Mereka singgah di tempat transit sebelum beranjak ke destinasi pertama.

Dengan kecepatan setara keong, Cendana turun dari bus. Kepalanya masih pening akibat sisa mabuk semalam dan getaran menyiksa tanpa henti selama perjalanan. Sekalinya ia memijak tanah, kabur total pandangannya.

"Astaga Dan, kok tumben kamu mabuk sampe kayak gini." Lona memprotes sambil memapah badan Cendana. Ia tak mau mengambil resiko jadi bahan julitan orang akibat menelantarkan temannya yang sekarat.

"Gak tau juga. Biasanya gue gak sampe kayak gini. Kayaknya laper."

"Yaudah lek mandi wae sana. Biar segeran."

Sayang sekali, tempat transit mereka sudah dipenuhi oleh rombongan dari berbagai instansi dan akademi. Semua kamar mandi penuh oleh ratusan manusia yang mengantre untuk membersihkan diri.

Cendana baru bisa keluar setelah nyaris satu jam disana, sementara Lona yang sudah menyelesaikan urusannya sepuluh menit lebih cepat, menunggunya di luar sambil bermain ponsel.

"Yok Na, makan. Laper."

Lona lantas mendongak, meneliti Cendana dari ujung kaki lalu naik sampai ujung kepala dan seketika, bibirnya mengerucut dengan pandangan aneh seolah sedang melihat orang gila berjoget didepannya.

Cendana mengernyit risih, "Kenapa lo?"

"OOTD-mu tu lho Dan, Ya Gusti. Udah pake jaket item kayak gitu, rambutnya dikonde?" Lona mendecak sebal, sebagai pengamat fashion—katanyaperpaduan jaket hitam Cendana dengan celana denim dan sepatu putih, tidak akan cocok bersanding dengan tusuk kondenya.

"Emang kenapa? Gue gerah kalo gak dicepol, terus gue tusuk pake ini biar gak lepas." Cendana membela, kenapa sih, Lona itu ribet sekali kalau urusan pakaiannya.

"Tusuk kondemu tuh terlalu antik."

Cendana mengangkat bahunya acuh, "Enggak juga. Gak seheboh yang buat Paes Ageng kok."

Ya udah, iya oke, baiklah. Lona ikut saja. Gadis itu hendak melayangkan protes lagi ketika Cendana menarik tangannya dengan brutal, masuk ke dalam restoran untuk mengambil jatah sarapan. Tapi tidak jadi, ia juga kelaparan.

Sepiring nasi ayam beserta tumis sayuran sudah di tangan dan segelas teh hangat sebagai pelengkap. Mereka bergerak menuju meja paling ujung. Kesannya memang seperti bukan bagian dari rombongan, tapi ya bodoamat, biar syahdu, kata Cendana.

"Eh, Dan." Panggil Lona.

Sambil melahap sendoknya, Cendana mendongak, "Apa?"

Si tembem yang kini tenggelam dalam balutan kemeja soft-pink itu mengigit bibirnya, "Tau gak sih, anaknya Bli Made, bakal ikut bus kita lho!"

Sebelah alis Cendana terangkat, tapi suapan demi suapan pantang berhenti, "Tour guide kita itu punya anak?"

Wajah Lona langsung tertekuk, "Ya iya lah. Ya kali, udah tua begitu ndak punya anak."

"Oh. Terus? Kok anaknya mau ikut kita?"

Manik karamel Lona berbinar-binar, ia malah tampak tersipu-sipu sendiri, "Dia tuh baru dari Jogja, terus mau langsung ke Jakarta hari Senin. Nah katane, mau nemenin Bapaknya."

Cendana meneguk tehnya, "Oh."

"Ganteng banget orangnya. Blasteran jal, edan gak? Aduh, Ya Gusti, pengen~" Lona memekik tertahan. Binarnya mengambang, sudah halu rupanya.

"Oh mosok? Mosok sih?" Sahut Cendana pura-pura kaget, "heh, inget, lo udah punya Mas Rizal dirumah." Mata hitamnya berotasi malas, sebelum memasukan suapan terakhir ke dalam mulut.

Lona yang kesal, menimpuk Cendana dengan wadah tisu dimeja, "Lara sat! Bajigur."

"Bodo, aku ki serius Dan—Eh tuh, tuh, orangnya ngeliat sini." Lona mendadak heboh, ia menunjuk seseorang dibalik badannya.

Cendana tergugah, ia menengok, mengikut arah jemari Lona. Benar saja, laki-laki tinggi berkemeja hitam, duduk dengan jarak dua meja darinya.

"—Namanya Wara. I Wayan Krisna Baswara."

Manik arangnya tiba-tiba berhenti fokus, lalu tenggelam dalam pusaran binar kelam yang sama-sama segelap malam. Seluruh atensi Cendana terserap lalu hilang dengan detik yang terhenti dalam benak.

Sorot setajam elang laki-laki itu, sukses menjatuhkannya dalam rentang yang ia tak paham, membuat jengkal kulit serasa terbakar. Sel otaknya bekerja, menajam, meruncing, lalu menusuk kulit. Cendana nyaris dibuat terjengkang.

Wara?

Wara?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
terselap | bangchan [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang