"Surat apa ini? Apa ini sebuah ultimatum [4]? Apa hak mereka atas tanah Pasundan ini. Tanah ini milih kita. Mereka tidak punya hak apapun di sini. Sebenarnya apa yang ada di otak mereka?"
Protes itu kembali terdengar. Kini, suaranya kian menggema. Sementara itu burung-burung besi dari Inggris masih mengitari langit-langit kota ini. Dari mana sebenarnya suara protes itu berasal? Dari persimpangan jalan itu. Ya, dia Asikin Rachman, seorang lelaki tua yang sebentar lagi usianya genap satu abad.
"Sekarang yang harus kita lakukan adalah meninggalkan kota ini dengan cara yang cerdas."
Suara lain mulai terdengar. Kali ini tak terdengar renta suara itu. Suara itu terdengar bulat dan gagah. Laskar Kumbara Nirankara. Ya, dia adalah seorang garda TRI [5]di masa ini.
"Para tentara Inggris memberikan ultimatum ini semua ada tujuannya. Mereka ingin menjadikan kota ini sebagai markas militer mereka. Itu yang perlu kita ketahui bersama."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Suara itu mulai terdengar kembali. Ya, suara tadi. Suara kala hujan kertas menyerbu kota ini. Suara dari seorang anak kelas 2 SR. Cahya, orang memanggilnya.
Semua warga kota merasa geram dengan semua ini. Mereka bingung apa yang harus mereka lakukan. Suasana hati kala ini sama halnya dengan suasana Kota Bandung saat ini. Panas bak lautan api, tak seperti biasanya.
~Dengarlah-dengarlah sayup-sayup suara nan merdu memecah malam. Jauhlah dari kampung ikuti kata hati. Guna bakti pada ibu pertiwi.~
Cahya mulai menyenandungkan sebuah untaian lagu. Aku tak tahu mengapa ia menyanyikan lagu itu? Ah! Tak perlu dipikirkan itu hanya sebuah lagu.
Burung burung besi itu masih mengudara. Sepertinya mereka merencanakan sesuatu. Tak mungkin jika tak ada sebuah rencana dari tadi mereka masih saja mengelilingi langit kota ini. Itu yang kupikirkan.
"Semua warga harap berlindung!"
Laskar menyeru mengharap semua warga kota selamat dari bahaya yang akan terjadi.
Der!!! Der!!! Der!!! Der!!! Der!!!
Benda itu kian melesat dari udara menuju ke segala penjuru kota ini. Sesuatu yang sebelumnya pernah dikira Cahya akan jatung dari burung-burung besi itu kini benar-benar jatuh.
Der!!! Der!!! Der!!! Der!!!
Bangunan Cicadas mulai lunglai;hancur lebur; tak tersisa. Benda itu adalah bom. Ya, bom, bom yang telah merusak keindahan arsitektur kota ini. Semuanya telah rusak. Tak hanya Cicadas, bangunan bangunan lain pun ikut luluh lantah. Tak hanya bangunan, beberapa warga kota pun terdampak dari sasaran bom yang turun dari burung burung besi milih RAF itu. Keji; biadab; tak berhati nurani. Mungkin itu kata-kata yang pantas dilontarkan untuk tentara-tentara Inggris, kala itu, 1946.
"To-long...., Tooo-long."
Pinta itu terdengar dari sana-sini di setiap penjuru kota. Semua telah hancur.
Jika aku boleh bertanya mengenai suatu hal.
Mengapa!
Mengapa negeri ini tak pernah merasakan ketentraman?
Mengapa negeri ini tak bisa melepaskan diri dari kata 'sengsara'?
Mengapa negeri ini tak bisa merasakan sebuah rasa kedamaian?
Mengapa negeri ini sekarang tak berdaya sama sekali?
Di mana jiwa-jiwa para ksatria di kala kerajaaan Majapahit, Sriwijaya, Tarumanegara, Singasari, Kutai Kartanegara, dan Mataram bertengger di Bumi Persada Nusantara ini?
Mengapa semua ini terjadi!Pertanyaan terakhir untuk saat ini.
"Haruskah Indonesia terus dijajah? Haruskah Indonesia selalu bertekuk lutut di hadapan para penjajah? Bisakah Indonesia bangkit?"
~Semuanya akan terjawab. Tidak sekarang, tapi nanti.
***[4] Ultimatum adalah Pernyataan terakhir atau permintaan tak terbatalkan yang menjadi bagian dari cara diplomatik terhadap negara lain, dan biasa diikuti dengan perang, jika tak dipenuhi.
[5] TRI adalah Sebuah nama angkatan perang yang dibentuk oleh Indonesia pada tahun 1946.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembayung Dalam Sejarah
Historical FictionLembayung akan selalu ada. Menjaga tak akan pernah pergi. Sejarah akan kembali terukir. Sebuah cerita yang akan melukiskan kembali sebuah prasasti yang sudah terlupakan. Prasasti tentang cinta sejati, cinta sejati dalam persimpangan petualangan seja...