milea suara dari dilan bab II

5.3K 50 0
                                    

BAB II


AKU

1

Langsung saja. Namaku Dilan, jenis kelamin laki-laki, bernafas menggunakan paru-paru, sama seperti seekor paus. Tahun 1977, pernah ingin jadi macan, tapi itu gak mungkin.

Aku lahir di Bandung, dari seorang Ibu yang oleh anaknya dipanggil Bunda, kecuali kalau akunya sedang mau minta uang, aku memanggilnya “Bundahara” (seperti yang sudah Lia  ceritakan di dalam buku itu). Tapi aku pernah sekali memanggilnya Sari Bunda, yaitu pada kasus di saat aku ingin makan.

Asal tahu saja, ibuku, si Bunda itu, adalah Pujakesuma, tetapi bukan bunga, melainkan akronim dari Putri Jawa Kelahiran Sumatera, karena dia lahir di Aceh, tepatnya di kota Sigli, ibu kota kabupaten Pidie. Dia alumnus IKIP Bandung, jurusan Sastra dan Bahasa. Ayahnya seorang guru SD, yang dulu di daerahnya dikenal sebagai seorang penyair kelas lokal.  

Sejak nikah dengan Ayah, dia selalu dibawa pindah, yaitu ke berbagai daerah di Indonesia. Hidup ini, kata Einstein, bagai naik sepeda. Untuk tetep bisa di dalam keseimbangan, harus terus bergerak. Tapi bukan karena itu ayahku pindah, melainkan karena tugas dari komandan, salah satunya ke daerah Teluk Jambe, Karawang.

Waktu aku duduk di kelas 3 SD, kami pernah tinggal di Kabupaten Manatuto, salah satu kota di daerah Timor-Timur yang dulu masih bagian dari wilayah Indonesia sebagai propinsi. Terus pindah lagi ke Ambon, terus pindah lagi ke Manahan, Solo, tapi cuma sebentar, gak tau kenapa. 

Hidup berkembang, di saat anak-anak sudah mulai tumbuh besar, Bunda sudah merasa cukup baik untuk memilih tinggal di Bandung, yaitu di kota tempat dulu dia kuliah, sekaligus menjadi mungkin untuk bisa lebih dekat dengan saudara-saudara ayahku yang pada tinggal di Bandung, karena ayahku adalah asli orang Bandung. 

Waktu aku duduk di kelas 5 SD, ayah membeli rumah di komplek perumahan Riung Bandung, sebagai fasilitas untuk membangun rumah tangga yang sakinah dan mawardah di bawah iringan lagu-lagu Rolling Stones kesukaan si Bunda, dan suara gelak tawa dari kawan-kawan kuliahnya kalau mereka sedang pada ngumpul di rumah. 

Si Bunda tidak bisa ikut ayah yang harus tinggal di rumah dinasnya di Karawang, karena harus ngajar di salah satu SMA yang ada di Bandung. Melalui semua itu kami hanya bisa bertemu ayah kalau ayah pulang ke Bandung, yaitu setiap dia bebas tugas atau karena ambil cuti. 

Awalnya si Bunda hanya guru biasa yang ngajar bahasa Indonesia. Entah bagaimana, tahun 1989, dia naik jabatan menjadi seorang kepala sekolah di salah satu SMA yang ada di Bandung. Mengenai soal ini, ada yang harus aku syukuri, yaitu: si Bunda bukan Kepala Sekolah di SMA-ku. Sebab kalau iya, pernah aku bayangkan aku akan dimarah dua kali, ya di sekolah ya di rumah. 

Itulah ceritaku tentang si Bunda, ibuku. Jangan sampai banyak-banyak, biar buku ini tidak melenceng menjadi buku biografi si Bunda. Apalagi Lia sudah bercerita cukup banyak tentang si Bunda di dalam buku “Dilan, dia adalah Dilanku”. 

2

Sekarang tentang ayahku. Dia lahir di Bandung. Dulu aku mengira, pekerjaan ayahku adalah berpindah-pindah tempat, seperti nabi Ibrahim yang nomaden, nyatanya ayahku adalah seorang anggota TNI-AD yang suka lagu “What A Wonderful World” nya Louis Armstrong atau “My Way” nya Frank Sinatra dan ditambah lagu-lagu perjuangan Indonesia.   

Selain sebagai seorang prajurit sejati yang lumayan cukup galak, ayahku bisa berubah menjadi seorang pria yang manis, dan juga romantis. Dia tidak pernah lupa nulis surat untuk kami di saat mana dia sedang jauh di tempat tugasnya. Seperti yang bisa kuingat, dia nulis kira-kira begini: “Jangan kuatir, ayah hanya jalan-jalan. Di sini, ayah terus gembira karena Ayah yakin akan segera bertemu dengan kalian. Ayah tidak punya musuh. Ayah membela Indonesia dari mereka yang mau ganggu”

MILEA suara dari dilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang