Bagian Satu

771 78 7
                                    

Bunyi ledakan kembali terdengar dari arah reruntuhan bangunan yang ada di Timur Jauh sana. Asap hitam yang membumbung tinggi di langit kelabu, membuatku berdecak. Langit itu seperti menggambarkan perasaanku saat ini. Kacau!

"Kau pikir apa yang kau tatap di sana?" kudengar suara seseorang masuk ke gendang telingaku.

Kuputar kepalaku menghadap sumber suara. Max berkacak pinggang dan menaikkan alisnya. Aku memutar bola mataku malas. Pemuda ini selalu saja menggangguku di saat aku membutuhkan ketenangan. Kembali ku tatap asap di kejauhan dan mengabaikan komentarnya.

"Ayolah Freya, kau harus segera turun. Ayahmu sudah menunggu di bawah," lanjutnya sambil menghempaskan badannya di sampingku.

"Kau tahu, dia marah besar dan mengusirku. Sekarang kau bilang, dia menungguku?! Benar-benar pernyataan yang tak masuk akal," ujarku.

"Dia mengkhawatirkanmu. Apalagi yang dia pikirkan selain keselamatanmu?" lanjut Max.

"Ooh, sekarang kau memihaknya," aku berdiri.

Dia menahan tanganku dan menghela napas, "Aku tak memihaknya. Aku mencoba melihat dari sudut pandangnya. Mengapa kau mempersulit keadaan, Freya? Kau tahu, keadaan kita saat ini cukup sulit."

Darahku naik seketika. "Apa maksudmu? Aku mempersulit keadaan? Salah satu prajurit menginterogasiku di tengah jalan dengan cara tak sopan. Dia mencoba menyentuhku. Apa aku salah dengan menendangnya?"

Pemuda itu terlihat mengepalkan tangannya. Apakah kepalan tangannya itu ditujukan padaku? Pemuda itu lalu menghela napas dan mengangguk. "Ya, kau bersalah!" katanya singkat.

Aku menatapnya tak percaya. "Bersalah karena membela diri?"

"Bersalah karena kau memancing mereka dengan berpakaian seperti ini," dia melirik pakaian yang kukenakan dari atas sampai bawah. "Kalau kau bukan orang dekatku, aku juga bisa tergoda."

Aku menatap pakaianku, lalu berjalan mendekati jendela terbuka yang memperlihatkan asap di Timur Jauh itu lagi. "Aku penasaran seperti apa tempat itu? Apa yang mereka cari hingga kini?"

Max terkekeh, "Kau mencoba mengalihkan pembicaraan?"

"Tidak," aku mengedikkan bahuku. "Aku benar-benar ingin tahu, Max. Kau lihat asap itu, mengapa mereka terus-terusan melakukan pembakaran? Benda apa yang mereka cari? Kenapa harus dibakar? Jarang sekali aku melihat langit bersih, tanpa abu, tanpa asap, di tempat ini, sejak aku datang ke sini."

Max sudah berdiri disampingku. Bibirnya mengerucut tanda dia sedang berpikir. "Aku akan cari tahu itu dan memuaskan rasa penasaranmu. Sekarang, kau harus menemui Ayahmu dan meminta maaf."

"Apa pedulimu?"

"Kau harus bersyukur masih memiliki Ayah yang menyayangimu, Freya. Kau lebih beruntung daripada aku dan Tania. Jadi turunlah!" Max terlihat benar-benar serius ketika mengatakan itu. Aku ingin membantah, tapi kuurungkan. Max tidak sedang bercanda, tak ada sunggingan ramah di bibirnya.

Aku menghela napas dengan keras dan mengangguk, berbalik dan turun ke lantai bawah. Meninggalkan pemuda itu yang terdiam menatap ke luar jendela.

-----

Bangunan yang kutinggali bukanlah rumah bertingkat dua dengan pekarangan hijau dan pepohonan rindang. Tempat ini hanyalah bangunan reyot yang sudah ditinggalkan pemiliknya berpuluh-puluh tahun yang lalu dengan lubang-lubang menganga, yang tak mampu menghalangi dinginnya angin malam yang menusuk tulang.

Ayah mendapatkannya dengan menukar setengah karung beras yang dia miliki dengan seseorang yang mengaku sebagai penjaga bangunan ini. Sudah hampir lima tahun kami menempati tempat ini. Tak banyak perbaikan yang bisa kami lakukan pada bangunan ini, kecuali menutup lubang-lubang pada bagian penting saja.

Under Water (On Progress)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang