Bagian Lima

225 51 2
                                    

"Kalau tak salah, ini adalah pusat penyiksaan dan interogasi yang disiapkan untuk para pemberontak."

Tanah kosong ini dikeliling dengan pagar-pagar berduri yang dipasang menjulang ke atas. Jauh di sisi Timur, terdapat beberapa bangunan dengan bentuk kotak-kotak kasar. Hanya sedikit pepohonan yang terlihat di belakang bangunan itu. Sementara di belakang kami, beberapa truk masuk melalui gerbang yang dijaga beberapa prajurit bersenjata.

"Mengapa kita dikumpulkan disini?" tanyaku pada pemuda itu, yang juga sedang memperhatikan sekeliling kami.

Dia menyugar rambutnya karena tertiup angin, "Untuk diinterogasi, tentunya," kata pemuda itu tanpa melihatku sambil tersenyum. Tapi senyumnya tak sampai ke matanya. Dia terlihat berpikir sambil terkekeh, lalu mendorongku untuk berjalan mendekati barisan yang mulai terbentuk.

Aku yakin pernah melihatnya.

Aku kembali menatap aneh senyuman dari pemuda itu. Mengapa dia terlihat senang dengan situasi ini? Aku mencoba menyembunyikan keherananku dengan berjalan mengikuti orang lain di depanku dan dorongannya di belakangku. Semakin mendekati barisan tersebut, aku merasakan jantungku yang menghentak tak beraturan. Dan semua itu menjadi semakin rumit karena pikiranku sudah berusaha menggambarkan kondisi terburuk yang akan kuhadapi di tempat ini.

"Mereka tak akan memberikan keringanan, meskipun kau wanita."

Apa mereka akan menyiksaku? Aku menggeleng cepat dan mencoba mengenyahkan pikiran dan ketakutanku. Semua ini pasti hanya dalam pikiranku.

Aku masuk dalam barisan dan menunggu apa yang akan mereka lakukan pada kami. Beberapa prajurit membentuk barisan di depan dan di sekeliling kami. Ada satu, sepuluh, tiga puluh yang berdiri. Senjata-senjata mereka dalam kondisi siap siaga dan pandangan lurus ke depan. Layaknya bukan manusia dan hanya menunggu perintah untuk bergerak.

"Kau! Yang berdiri di sana!" salah seorang prajurit berbicara dengan pengeras suara ke arah belakangku. "Ya kau, yang mengangkat tangan. Ikut kami!!" perintahnya.

Ada jeda hingga pemuda itu maju. Dia menoleh kepadaku sambil mengedipkan mata. "Doakan aku," katanya, seolah dia dipanggil untuk sesuatu yang baik.

Semoga kau baik-baik saja. Aku menggerakkan mulutku tanpa suara. Dia tersenyum.

Kami menunggu dan memperhatikan bangunan yang dimasuki pemuda tadi. Suasana terasa hening. Tak ada suara. Hanya lolongan binatang yang sesekali terdengar. Namun, hening itu berganti dengan suara teriakan dari bangunan itu. Detik terasa berjalan lambat dan mencekam. Teriakan demi teriakan kini terdengar secara konstan.

Apa yang terjadi padanya?

Bukankah satu-satunya alasan pemuda itu ditangkap karena tidak membawa identitas? Jenis pertanyaan apa yang mereka tanyakan sehingga menyiksa seseorang yang tak membawa kartu identitas seperti itu? Atau aku terlalu naif? Atau dia juga tergabung dalam pemberontakan?

Tak lama kemudian, seorang wanita dipanggil. Wanita itu berjalan dengan wajah tertunduk. Aku bisa melihat bahwa dia menangis. Dia memasuki bangunan yang berbeda dengan pemuda tadi.

"Mereka tak akan memberikan keringanan, meskipun kau wanita."

Aku menatap iba pada wanita itu. Aku meremas kembali celanaku. Mencoba mengalirkan kecemasan. Aku menutup mataku dan mencoba menghirup napas perlahan. Mengurangi ketegangan.

"Kau!!!" lagi-lagi prajurit itu berteriak, tanpa jelas ditujukan pada siapa. "Maju ke depan dan masuki ruangan itu!" lanjutnya sambil menunjuk bangunan yang dituju pemuda tadi.

"Hei!!" aku terkejut ketika merasakan tarikan kasar pada tanganku, membuatku membuka mata seketika. Aku hampir terjatuh.

"Apa kau tidak mendengar? Ikut dengan kami. Sekarang giliranmu!"

Under Water (On Progress)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang