Bagian Dua

377 56 3
                                    

"Dia bukan kekasihku. Tapi, dia adalah tunanganku. Jadi jangan coba-coba merebutnya dariku!"

Max melanjutkan percakapan dengan teman-temannya, seolah apa yang dikatakannya barusan hanyalah hal biasa. Tapi dampak dari ucapannya membuatku kembali duduk di meja makan dengan muka memerah. Mendengar pemuda itu langsung mengatakan bahwa aku adalah tunangannya terasa janggal.

"Kau kenapa?" tanya Tania dengan mata membesar memperhatikanku. "Apa yang dikatakannya?"

Aku menggeleng malas, lalu menuangkan air ke dalam cangkir besi yang ada di atas meja. Meminumnya dalam sekali tegukan. Lalu, beranjak membantu Ayahku menyiapkan makan malam.

Tak lama kemudian, Max membuka pintu rumah kami dengan ransel besar di punggungnya. Dia menyapa Ayahku dan menitipkan Tania bersama kami. Pemuda itu memperhatikanku sejenak, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun mengurungkan niatnya.

"Kau akan kemana?" tanyaku tak bisa menahan rasa penasaran. "Dimana kau mengenal teman-temanmu tadi?"

"Ke suatu tempat. Aku ada urusan," jawabnya, lalu berjalan kembali menuju pintu keluar.

"Apakah aku bisa ikut bersamamu?" aku hanya sekedar menguji. Tetapi, jika pemuda itu bersedia mengajakku, aku akan langsung mengganti gaunku dengan pakaian yang biasa kugunakan.

Max berhenti. Tangannya memegang gagang pintu dan menatapku. Ada apa dengan tatapannya sejak tadi.

"Abaikan saja dia," kata Ayahku yang sedang meletakkan sup daging di atas meja. Uapnya mengepul. Tania menatapnya dengan antusias.

Aku duduk dan merebahkan kepalaku di atas meja. Balas menatap Max. "Aku bosan," kataku mendesah kecewa. "Kalau Ayah tak mengijinkanku, aku akan ke Kawasan Terlarang saja besok."

Tania mengikik geli. Dia tahu bahwa aku hanya menggertak. Lalu dia menatap Max. "Apakah kau percaya dengan kata-katanya, Max? Abaikan saja dia."

Aku memutar bola mataku. Well, dua orang di sini sama sekali tak memihakku. Kenapa tak ada yang percaya kalau aku berani melakukannya? Gumamku dalam hati dan memperhatikan Max yang memutar gagang pintu. Menatapku sejenak, lalu menghilang.

"Apakah kau bisa berhenti mengancam?" tegur Ayahku.

"Aku hanya ingin membantumu," kataku sambil mengedikkan bahu dan menyerahkan piring besi pada Tania. Gadis itu menerimanya dengan penuh suka cita dan menunggu Ayahku mengambil makanan terlebih dahulu.

Ayah menghela napas, "Max sebentar lagi akan memiliki dunianya sendiri. Kau harus mulai terbiasa dan berhenti menjadi bayang-bayangnya. Kau harus mulai menyesuaikan diri dengan keadaan."

"Tanpa kau katakan, aku juga sudah tahu, Ayah. Aku hanya," aku berusaha mencari kata-kata. "Bosan," lanjutku.

"Siapa yang tidak bosan dengan keadaan seperti ini, nak. Berapa umurmu sekarang?" Ayah mengamatiku.

"17 tahun," jawabku.

"Kau tahu, sewaktu Ibumu berumur 17 tahun, dia sudah menjadi salah satu scientist terbaik di angkatannya. Dia berhasil menciptakan sistem sirkulasi udara di dalam air sehingga kau tak perlu ke permukaan untuk mendapatkan oksigen," terang Ayah bangga. "Sementara aku, hanya seorang pemuda tengik yang tak sengaja dipilih menjadi pemimpin skuadron."

Aku menatapnya malas, "Ayah ingin mengatakan apa? Bahwa di umurku yang sekarang, aku sama sekali tak berguna?"

Tania kembali mengikik geli mendengar pertanyaanku. "Kau lucu sekali, Freya," lalu gadis itu menyendok sup daging ke mulutnya dengan semangat.

Under Water (On Progress)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang