Lupa adalah bencana terbesar dalam hidup, dalam sekejap menghancurkan tanpa pandang bulu.
•°•°•
Letta mengedarkan pandangannya keseluruhan area halaman sekolah barunya. Bhukkk... Hantaman benda bulat nan keras itu tepat mengenai dadanya. Sakit, panas, sedikit sesak pun menyerangnya hanya karena hantaman bola basket barusan.
"Eh, lo?! Balikin bolanya! " Letta yang sedang memungut bola basket itu segera menegakkan tubuhnya.
Ia mendengus. "Heh! Lo yang udah nglempar nih bola?! "
"Y. Cepetan sini balikin, gue mau maen lagi sama anak-anak. " Si cowok tersebut mengulurkan tangan, selanjutnya menggerak-gerakkan jemarinya. Dia seakan meminta kembali bolanya kepada Letta.
"Kalau nggak bisa maen, ya, nggak perlu sok-sokan maen segala, " ketus Letta sambil melempar itu bola basket ke sembarang arah kemudian beranjak dari hadapan cowok yang membuatnya kesal setengah mati itu.
"Dasar BITCH! " Bola melayang dan kembali mengenai Letta, bedanya, benda itu mengenai kepala Letta.
"Akh... " Jemari lentiknya meraih dahi yang terasa pusing. Keseimbangan tubuhnya tidak ia dapati, sampai raga itu hampir ambruk jikalau tak ada yang menahan beban tubuh proporsionalnya.
"Pingsannya nanti aja kalau udah sampe UKS. " Hanya kalimat itu yang ditangkap oleh indra pendengarannya sebelum gelap menepis segala cahaya dari kedua mata bulatnya.
"Mana ada pingsan ditunda ogeb?" dengus Evan menghampiri Gavin yang bersiap menggendong Letta. "Ngapain juga sih lo nolong cewek sialan itu? "
"Bacot lo! " sembur Gavin lalu meninggalkan Evan begitu saja.
Evan memutar otaknya kembali. "WOI! " teriak Evan hingga semua sahabat-sahabatnya memusatkan seluruh perhatian padanya. "Lanjut maen tanpa gue, gue lagi ada urusan. "
"Yaelah, bilang aja mau pacaran sama cewek-cewek lo yang bejibun itu, kan? " Tebak salah satu sahabatnya.
Hal tersebut dihiraukan oleh Evan, untuk hari ini saja, Evan tidak mau menanggapi perkataan salah satu sahabat yang paling bar-bar. Dimanapun, kapanpun Evan berada pasti ada suara-suara kaum hawa yang memekik kagum akibat paras tampan yang ia miliki. Untuk yang kesekian kalinya Evan memutar bola matanya malas.
Langkah tergesa-gesa Gavin menyusuri koridor yang tampak ramai karena masih jam istirahat. Tujuan Gavin saat ini adalah ruang UKS, sesekali ia mengamati wajah cantik gadis dalam gendongannya.
Didepan pintu ruang UKS yang tertutup Gavin celingukan mencari-cari seseorang yang bisa ia mintai bantuan. Maniknya mendapati dua orang yang ia yakini adalah adik kelasnya.
"Eh, dek. Tolong bukakan pintu ini,bisa?" Si adik kelas yang tampak cuek itu langsung membantu Gavin tanpa membalas permintaannya. Sedangkan yang satunya hanya menahan senyum.
" Makasih, ya. "
"Hm, " sahut adik kelas itu lalu beranjak dari sana dan tidak lupa menarik lengan temannya yang berdiri malu-malu pada Gavin.
"Tunggu! " seruan Gavin rupanya masih ditanggapi adik kelasnya yang, ya, untuk pertama kali Gavin menilai seseorang secepat ini setelah beberapa detik berkomunikasi. Adik kelas yang tidak tertarik padanya.
Mereka berbalik yang otomatis kembali bertatap muka dengan Gavin. "Apa lagi? "tanya gadis berambut sepunggung itu.
"Gue duluan ya, " ucapan temannya sekedar direspon dengan anggukan saja.
Tanpa ekspresi, hal itu sedikit membuat Gavin dipenuhi tanda tanya. "Carikan petugas PMR, te... Calon pacar saya pingsan gara-gara kena bola tadi. "
Lawan bicara Gavin mengangkat sebelah alis sempurnanya. "Bawa masuk aja, nggak capek apa gendong anak orang lama-lama. "
Balasan ketus dari adik kelasnya itu, Gavin yang mulanya membenarkan posisi Letta agar nyaman menjadi menatap adik kelasnya tersebut dengan tatapan menusuk.
"Minggir." Gavin bergerak dari tempatnya agar dia bisa masuk kedalam ruang UKS.
Gavin juga masuk kedalam lalu membaringkan Letta di brankar yang tersedia disini.
"Heh?! Gue nyuruh lo buat manggil petugas PMR hari ini. Kenapa lo... "
"Saya anak PMR, " sergah dia dengan cepat sambil memindahkan letak bantal bersprai putih salju itu dengan sangat hati-hati.
Sekarang Letta berbaring tanpa menggunakan bantal dikepalanya justru bantal itu beralih berada di bawah kedua tungkai bawahnya. "Siapa lo? "
"Manusia, " jawab sekenanya sembari menggeledah tempat obat. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Maksud gue nama lo siapa? " Ralat Gavin mengekori gerak-gerik adik kelasnya yang sedang menyodorkan minyak kayu putih tepat di depan hidung bangir Letta.
"Apa untungnya jika anda tau nama saya? "
"Bukan urusanmu. " Sontak hal itu mendapatkan jawaban yang tidak pernah Gavin inginkan, "Ya sudah. "
Brakkk...
Suara benda keras yang saling berbenturan memecahkan keheningan yang akan terjadi, laki-laki tersebut tak lain ialah Evan. Napasnya menderu tak berirama, adik kelas Gavin yang tadi menangani Letta bergegas mengambil air mineral gelasan untuk di berikan kepada Evan.
"Di minum dulu, kak. " Evan tidak merespon tawaran itu, justru ia melontarkan pertanyaan, "Gimana kondisinya tuh cewek? "
"Bentar lagi juga sadar, " sahutnya.
"Gue nggak nanya ke elo, gue nanya Gavin, " balas Evan dengan nada ketusnya.
"Nanyanya kesiapa? Lihatnya kesiapa? Cakep-cakep mengecewakan semuanya," gerutunya saat akan meninggalkan ruang UKS.
"Lo ngomong apa barusan? "ujar Gavin dan Evan bersamaan.
Dia hanya mengedikkan bahu acuh sebelum benar-benar lenyap dibalik pintu kayu yang tertutup dengan teratur tanpa menyisakan suara sedikitpun.
Evan menatap Letta dan Gavin bergantian. " Vin? Lo dicariin bu Mega. "
"Gue nggak percaya, " ketus Gavin. Ia tau jika Evan akan melakukan berbagai cara agar ia bisa berdua bersama Letta, dengan dalih ia di cari oleh bu Mega selaku pembina anak-anak OSIS.
"Gue nggak lagi ngibulin elo, nggak nyamperin bu Mega bisa-bisa jabatan elo diturunin ntar. "
"Sok tau lo! " seru Gavin sembari bangkit dari duduknya kemudian meninggalkan ruang UKS.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elang Putih
Teen FictionBukan kesalahannya tetapi, kenapa dia yang harus dibenci? Kisah keluarga impian hanya menjadi angan. Dia tetap mempertahankan senyumannya sebagai topeng. Tidak semua tau tentang dia, mereka sekedar singgah lalu memberi luka sebagai balasan. Satu de...