Berulang kali aku memaafkan dan sebanyak itu pula ia kembali menyakiti.
•°•°•
"Ugh, demi apa tadi gue tatap muka langsung dengan ketos tampan able? "
"Sinting! "Silfa mencebikkan bibir tidak suka dengan balasan teman rasa saudaranya itu.
"Kalau dilihat-lihat lo itu cantik juga ya, andai gue cowok. Mungkin udah lama gue suka ke elo, " ucap Rayshiva frontal sembari bertompang dagu. Mata yang selalu berbinar itu menatap intens Silfa.
Lawan bicara Rayshiva tersedak salivanya sendiri kemudian berkata, " E... Lo... Lesbi? "
Rayshiva memutar bola matanya malas. "Gue bukan lesbi! "
"Itu tadi apa coba kalau bukan lesbi? " Rayshiva menggerang marah.
"Gue tadi bilang andai, Sil. ANDAI!" Rayshiva dibuat greget sendiri sampai-sampai ia menekankan kata 'andai' diakhir kalimatnya.
"Hehehe... Santuy dong. "
"Oh, ya. Tadi tuh cewek kenapa? "Silfa menunjukkan gestur tubuh yang ingin tau sekaligus tertarik dengan hal itu.
"Pink sun. Habis ciuman sama bola. "
"Hahaha, pingsan Ray, bukan pink sun. Udah beda makna lagi itu mah, eh, kok mau aja sih tuh anak ciuman ama bola. Jomblo ya jomblo aja, nggak perlu ngenes gitu." Celoteh Silfa unfaedah.
"Brisik benget sih, makan aja nggak perlu banyak bacot. " Sarkas Rayshiva.
Beberapa menit Silfa dan Rayshiva larut dalam menikmati makan siangnya, tanpa ada yang sesekali berbicara."Ehm. Ray?! "
Rayshiva berdeham saat tangannya meraih sekaleng minuman dingin bersodanya. "Nggak jadi deh. "
Silfa menyengir tak berdosa. Ia pikir Rayshiva akan marah, nyatanya, Rayshiva hanya ber'oh' saja kemudian meneguk minumannya samapai tandas. "Nggak marah? "
"Kenapa marah? " tanya balik Rayshiva.
"Ya... Ehehe... Kali aja. "Yang seperti ini nih yang tidak disukai oleh Silfa.
Tadi badmood, sekarang dingin kea es batu. Silfa menatap Rayshiva dengan tatapan menilai.
***
Rayshiva POV
Langkahku terhenti seketika saat jemari seseorang membelit pergelangan tanganku. Sekilas sebelah alisku naik keatas sesudah tahu siapa pemilik jemari tersebut.
"Siapa nama kamu? " Pencitraan, desisku meneliti tubuhnya dari atas sampai ujung sepatu mengkilapnya.
Ingin rasanya aku mencemooh kakak kelas didepanku ini. "Silfa, " jawabku berakhir dengan senyum miring yang tipis.
Dia masih menatapku intens dan baru melepaskan genggam itu dari pergelanganku setelah aku berdeham. "Saya harus pergi! "
"Mau kemana? "
"Bukan urusan anda, " balasku kemudian beranjak.
"Eh!" Lagi-lagi ia menahanku agar tetap disana.
"Apa lagi sih? " desisku sebelum kembali berhadapan lagi dengannya. Aku mengatur air muka agar terlihat semanis mungkin didepannya.
"Ya. Ada apa lagi? " Dia menggaruk kepala bagian belakangnya.
"Pulang sekolah denganku. " Rahang bawahku jatuh.
"Ya ... Ya ... Ya ... Lihat saja nanti. "
***
Jemari manggil itu menggenggam gagang pintu kemudian menekannya, ia mendorong daun pintu perlahan sampai setengah terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elang Putih
Teen FictionBukan kesalahannya tetapi, kenapa dia yang harus dibenci? Kisah keluarga impian hanya menjadi angan. Dia tetap mempertahankan senyumannya sebagai topeng. Tidak semua tau tentang dia, mereka sekedar singgah lalu memberi luka sebagai balasan. Satu de...