Aku berdiri di depan cermin. Gaun putih model off shoulder milik almarhum mama terlihat pas di tubuhku. Kemarin papa yang menyarankan agar aku mengenakan gaun ini. Katanya gaun itu baru dipakai sekali, sewaktu mama dinikahi papa. Ada sedikit perasaan haru saat mencoba gaun ini. Aku seperti melihat mama dalam diriku sendiri.
Kuambil bedak dan kupulas lagi tipis-tipis di pipi. Ah, aku tak mau terlihat terlalu menor dalam acara ini. Bukan aku yang menjadi bintangnya. Jadi aku tak perlu terlalu menonjolkan diri. Kucoba menarik ujung bibirku ke atas. Tersenyum. Hhhmmm... mengapa terlihat seperti menyeringai? Huh! Mengapa aku jadi lupa cara tersenyum dengan tulus? Apakah karena aku sedang gelisah? Ah, tidak. Seharusnya aku bahagia. Aku tak boleh bersedih. Tidak boleh!
Jam di dinding menunjuk pukul delapan. Satu jam lagi acara akan dimulai. Aku harus terlihat bahagia. Aku tak boleh menunjukkan rasa pedih di dada. Ini demi lelaki yang kucintai. Aku ingin ia bahagia. Ia telah berjuang dan berkorban untukku. Ini adalah caraku membalas pengorbanannya. Aku ingin melihatnya tersenyum. Aku ingin ia mengganti wajah lelah dan kesepiannya dengan wajah ceria dan senyum bahagia.
Kutarik bibirku ke atas lagi. Nah itu dia! Harus seperti itu, Nayla! Pertahankan senyum itu, ujarku pada diriku sendiri. Kutata lagi gaunku. Lalu kucek sekali lagi riasanku, dan terutama caraku tersenyum. Sempurna!
"Nayla, sudah siap?" Kudengar suara papa mengetuk pintu kamarku.
"Iya Pa, lima menit lagi," jawabku. Aku senang karena suaraku terdengar riang. Ah, aku memang harus gembira. Harus! Aku ingin lelaki yang mengetuk pintu itu bahagia. Hanya ini yang bisa kulakukan untuknya. Lima menit cukuplah buatku untuk berdoa. Aku ingin memohon pada Tuhan agar melancarkan seluruh rangkaian acara ini, juga hari-hari yang akan dilalui papa selanjutnya. Aku mohon ya Tuhan, kabulkanlah... Amin
******
Beberapa bulan sebelumnya...
"Kamu tu beneran nggak pacaran sama Bian?" tanya papa. Saat itu Bian baru saja pulang sehabis mengantarku dari nonton konser. Aku membelalakkan mataku lalu tertawa.
"Pacaran? Ha ha...papaa...yang bener aja. Masak aku pacaran sama Bian? Papa kan tahu dia sahabatku sejak kecil. Nggak selera ah pacaran sama sahabat sendiri..." kataku. "Soalnya kamu nggak pernah terlihat pergi bersama teman cowok yang lain. Cuma Bian itulah yang papa lihat setiap hari nongol ke sini. Jadi wajar dong kalau papa nanya gitu Nay," lanjut papa lagi. Aku terbahak lagi.
"Aku memang sudah nyaman temenan sama Bian, Pa. Dia sangat mengerti aku. Tapi suwer Pa, kami nggak pacaran. Malah denger-denger saat ini Bian lagi mau ndeketin cewek lho Pa..." jelasku lagi. Papa lalu manggut-manggut.
"Beneran kamu nggak merasa kehilangan kalau Bian pacaran ama cewek lain? Selama ini kan kamu udah tergantung banget sama Bian?" tanya papa lagi. Aku terdiam sejenak. Hal itu memang belum kupikirkan. Ah, biarlah semua berjalan apa adanya dulu. Nanti pasti ada jalan keluarnya.
"Ntar aja dipikir belakangan Pa. Toh dia belum dapetin ceweknya juga...hehe," jawabku lagi. Papa menatapku serius.
"Bian cowok baik Nay. Kok kamu nggak tertarik sama dia?" tanya papa lagi.
"Nggak tahu Pa. Aku cuma mau sahabatan aja sama dia. Titik," tegasku lagi.
Selama ini hubungan dekatku dan Bian mengalir begitu saja. Sejak kecil Bian satu-satunya tempatku bercerita dan berkeluh kesah. Terlebih sejak mama meninggal di usiaku yang ke tujuh tahun, aku jadi semakin tergantung pada Bian. Bian yang lebih tua dua tahun dariku itu mampu menggantikan peran mama. Bian cerewet seperti mama, dan penuh perhatian seperti mama. Ia juga suka marah-marah kalau aku melakukan kesalahan, persis seperti mama. Itulah sebabnya aku jadi terhibur dan cepat merelakan kepergian mama. Ada Bian di sisiku, Itu sudah cukup
YOU ARE READING
Tentang Rasa yang Tak Boleh Ada
Teen FictionKadang cinta juga menuntut keberanian untuk melepaskan. Nayla dan Bian saling mencintai. Namun mereka harus saling mengubur perasaan itu dan mrnggantinya menjadi perasaan sebagai saudara karena kedua orang tua mereka akan menikah.