Hakka POV
Sepulang dari rumah Aulia aku langsung pulang kerumah. Rasanya lelah, namun menyenangkan. Semoga semuanya akan tetap seperti ini terlepas dari apa yang akan terjadi nantinya.
"Hakka, dari mana saja?" Ucap Ayah saat aku baru saja hendak menaiki tangga. Ayah sendiri sudah berdiri di ujung tangga.
"Jalan" Ucapku cuek sambil menaiki tangga.
"Dengan Aulia?" Tanya nya lagi namun aku tak menghiraukannya dan berjalan melewatinya.
"Hakka Ayah sedang bicara!" Suara ayah menegas, tetapi aku masih enggan untuk angkat suara kembali.
"Dengar, apapun yang kamu lakukan, keputusannya tetap sama. Tak ada penolakan!" Gerakan tanganku saat memutar kenop pintu terhenti.
Ku palingkan wajahku menghadapnya yang juga menatap tegas. "Berapa kali ku bilang yah, aku tidak mau!"
"Kamu harus! Ini demi kebaikanmu"
"Kebaikan apa? Kebaikan siapa? Kebaikan Ayah. Bukan aku!"
"Kamu lelah, istirahatlah" Ucap Ayah kemudia pergi meninggalkan aku yang masih diam tak habis fikir. Bagaimana bisa Ayah memaksaku seperti ini.
Aku mengusap wajahku kasar dan masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu keras. Kenapa Ayah selalu menekanku untuk melakukan hal yang tidak masuk akal! Aku bukan anak kecil lagi, aku sudah dewasa!
Kuambil bingkai foto yang ada diatas nakas. Senyumannya selalu membuat aku merasa lemah. "Aku mencintaimu.."
"Hakka, boleh Bunda masuk?" Aku menoleh, Bunda sudah berdiri di ambang pintu, namun belum membuka pintu itu sepenuhnya. Ku letakkan foto itu kembali di atas nakas.
Aku mengangguk, dan Bunda tersenyum lembut. Aku duduk di kasur sambil membuka sepatuku, diikuti Bunda disampingku. "Bagaimana jalan hari ini? Apa menyenangkan?"
"Sangat bun, aku dan Aulia tadi pergi mengunjungi pantai yang dulu sering kami kunjungi. Dia terlihat sangat bahagia" Ucapku tersenyum mengingat bagaimana beahagianya Aulia tadi.
"Hakka bahagia?"
"Tentu bun, meskipun tidak sepenuhnya" Aku tersenyum kecut, ada sedikit rasa bersalah yang tiba-tiba muncul.
Bunda memegang pundakku. "Kenapa? Apa ada yang ingin Hakka ceritakan dengan Bunda?"
"Tidak ada bun,"
"Yakin? Bunda tau ada yang sedang hakka pikirkan"
"Bukankah semua manusia dikaruniai otak untuk berfikir bun?"
Bunda terkekeh. "Ya, tapi tak semua orang bisa menggunakan otak sebagai mana fungsinya"
"Sebenarnya, aku.." Apakah aku harus jujur jika aku berpacaran dengan Aulia?
"Aku, apa?"
"Aku berpacaran dengan Aulia Bun," Ucapku dengan menunduk. Untuk beberapa saat aku merasa hening. Bunda tak menjawab apapun. Aku mendongak menatap Bunda yang menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
"Bunda.."
"Kenapa kamu melakukan itu Hakka? Apa kamu tahu akibat dari semua itu?" Tanya Bunda khawatir, tentu aku sudah jauh lebih dulu memikirkan semuanya.
"Bun, aku---"
"Kau bisa menyakiti hatinya nak. Dia sahabatmu," Aku hanya bisa diam. Apa yang harus aku katakan? Apa yang Bunda katakan memang benar adanya. Aku bisa menyakitinya.
"Hentikan semuanya sebelum terlambat. Bunda tak rela jika suatu saat nanti dia menangis karena mu. Bunda menyayanginya."
"Aku juga menyayanginya Bun,"
"Tapi Bunda lebih menyayanginya"
"Aku.. Tak bisa bun"
"Kenapa? Apa karena Ayah?"
"Kenapa hanya diam?" Tanya Bunda lagi karena aku tidak menjawab ucapannya.
"Jadi benar karena Ayah?" Aku hanya bisa menunduk, tak tau lagi apa yang harus aku katakan.
"Dengarkan Bunda sayang. Kamu sudah besar, kamu sudah dewasa. Dan kamu tahu, mana yang baik untukmu dan tidak. Kamu harus bisa mengambil keputusan dalam hidupmu. Jangan pikirkan permintaan Ayah, tetapi jangan juga mengabaikannya. Bicaralah baik-baik ayah pasti akan mengerti. Untuk hubunganmu dengan Aulia, Bunda akan sangat senang dan setuju jika itu memang keinginan dari hatimu, benar-benar berasal dari lubuk hatimu. Tetapi jika tidak, maka hentikan. Bunda tak tega hati jika suatu saat nanti dia kecewa padamu. Kamu, Aulia, kalian adalah satu. Sejak kecil kalian selalu bersama, berbagi satu sama lain, bercerita, bahagia dan duka bukan lagi hal baru untuk kalian. Tolong, jangan rusak apa yang sudah terjalin" Aku tertegun mendengar ucapan Bunda. Kata-katanya bagaikan batu besar yang menghantam dadaku. Rasanya sesak, apalagi bayangan Aulia selalu ada dalam pikiranku.
Bunda menghembuskan napasnya. "Apapun yang kau lakukan, ingatlah Bunda selalu ada disampingmu. Semua keputusan ada padamu. Jangan sampai kamu menyesal nantinya. Good night son"
Bunda beranjak Dan meninggalkan aku sendiri. Aku benar-benar bingung harus bagaimana, semuanya sulit. Sangat sulit untuk dipikirkan. Salah melangkah sedikit, aku pasti akan kehilanganmu sesuatu yang sangat berharga.
Ku lihat lagi foto yang masih terpajang manis di atas nakas. "Aku.. Mencintaimu"
Pandangaku teralih pada ponsel yang tiba-tiba berdering. Aulia, dia menelfonku. "Ya sayang ada apa?"
"Kakak tidak papa?"
Aku mengernyit. "Memangnya aku kenapa?"
"Entahlah, aku hanya merasa terjadi sesuatu dengan kakak. tiba-tiba saja aku memikirkanmu. Apakah benar kakak tak apa-apa?" Sepeka itukah hatinya?
"Aku baik-baik saja. Jangan khawatir" Ucapku bohong, karena yang sebenarnya tidak ada yang baik disini.
"Benarkah?"
"Ya, tentu"
"Baiklah aku percaya. Sudah makan kak?"
"Belum,"
"Kakak ini, jangan sampai terlambat makan! Makan dulu sana,"
Aku terkekeh mendengarnya. "Kau sudah makan?"
"Sudah, sekarang aku tutup telfonnya ya, kakak makan dulu"
"Baiklah" Jawabku dengan tersenyum.
"Selamat malam kak"
"Selamat malam"
Aulia, aku merapalkan namanya dalam batinku. Sahabat ku yang satu itu memang yang paling mengerti diriku. Tunggu, sahabat?
TBC.
Next? Soon ❤
Jangan Lupa Voumment!Tons of Love, Ayu ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Kusebut Namanya Senja & Aku Jingga (on going)
AcakApa yang kau inginkan? Kau selalu bertingkah seakan kau menginginkanku tapi kau tidak pernah memberikan seluruh hatimu padaku. Kau mengikatku dalam ikatan cinta seorang sahabat. Cinta yang mungkin sampai kapanpun tidak akan pernah bisa berubah. Samp...