25 | Berbagi

1.2K 74 0
                                    

MENGEJUTKAN. Satu kata itu sangatlah tepat untuk menggambarkan perasaan Raya saat ini.

Rancangan yang hebat, memang, sang ayah tak pernah diragukan dalam membahagiakan anak-anak nya. Itulah kalimat yang paling tepat untuk diungkapkan sekarang ini.

Bagaimana tidak? Saat ini, mereka semua sudah berada ditempat yang tidak dihuni siapapun, bus mereka dihiasi lampu tumblr, kemudian ada api unggun dan kursi santai.

Ada pantai didepan mereka, kemudian pepohonan dibelakang mereka. Menakjubkan, bahwa sang ayah bisa menemukan tempat sehebat ini.

"Yah, sejak kapan ayah berencana?"tanya Raya sembari mengarahkan pandangannya kesegala arah.

"Tadi malem."jawab sang ayah ringan, kemudian menaruhkan tempat duduk dibelakang Raya.

"Ayah, we love you, pokoknya."seru Ginas sembari merentangkan tangannya terlihat begitu melegakan.

Sang ayah terkekeh pelan, "harus dong. Ayah mana pernah ngecewain kalian. Tenang aja. Cukup manusia lain yang ngelakuin itu, ayah ngga akan."jawab sang ayah dan tersenyum begitu membanggakan dirinya.

Raka memainkan gitarnya setelah mereka berkumpul, bahkan mereka melakukan pembakaran marshmello diatas api unggun yang ada.

Aneh sekali, karena udah begitu menyejukkan disini. Selain itu, mereka beruntung karena tak ada polusi apapun seperti dikota.

Ah, benar-benar ciptaan Tuhan yang terbaik.

Acara makan-makan berlalu dengan cepat, dan riba saatnya senja mulai menampilkan dirinya. Menenggelamkan cahanya menuju lautan luas kala itu.

"Ayo, kita pergi ke pinggir laut."ajak Bunda kemudian menggandeng Ginas dan Raka dikedua lengannya.

Rahman menganggukkan kepalanya kepada Aulia, sejenis memberi kode. Kemudian Rahman dengan begitu lembut menahan pelan lengan Raya yang akan bangkit meninggalkannya.

"Mau ngeliat dari spot yang berbeda, tuan Putri?"tanya Rahman - sang ayah sembari menaikkan sebelah alisnya.

Raya terkekeh pelan, kemudian mengangguk pelan, dan menggenggam tangan sang ayah.

Rahman mengajak Raya naik keatas bus mereka, kemudian duduk berdua disana, dengan wajah yang menatap kearah senja.

Indah.

Raya menyenderkan kepalanya kebahu sang ayah, kemudian Rahman pun merangkul hangat putrinya itu.

"Kamu inget, apa yang paling susah di kontrol manusia tapi tidak mungkin tidak bisa dilakuin?"tanya sang ayah dengan nada pelan nya.

"Pemikiran, perkataan, dan perasaan."jawab Raya dengan nada yang juga pelan, namun sedikit heran.

"Kamu tau, arah bicara ayah kali ini? Kamu tau apa yang harus kamu lakuin kali ini?"tanya Rahman lagi.

"Raya tersesat, ayah."sangat pelan. Nada bicara Raya bahkan hampir tak terdengar lagi saat itu.

Raya memejamkan matanya pelan, dan meneteslah air mata Raya dengan tak terduga oleh dirinya sendiri.

Rahman semakin mendekap putrinya itu. Bahkan dengan begini saja ia begitu tau betapa rapuhnya putrinya. Dan dimana letak kesakitannya itu.

"Raya, denger ayah. Arti kebenaran itu seperti operasi. Rasanya emang sakit, tapi membuat sembuh. Dan kamu tau, kebohongan itu seperti pembunuh rasa sakit. Dia memberikan bantuan instan, tapi  punya efek samping selamanya. Jadi, kamu mau pilih yang mana?"tanya Rahman dengan nada yang begitu tenang.

"Cuma ada dua pilihan."

"Tapi, kenapa kebenaran harus sesakit ini, yah?"tanya Raya masih dengan nada pelan nya.

"Kenapa, Tuhan harus sejahat itu. Ngebiarin Raya menyerahkan hati Raya sama orang yang dari awal emang ngga pernah bisa sejalan dengan Raya?"tanya Raya dengan nada emosinya.

Gadis itu memandang dengan luka sang ayah yang kala itu juga menatapnya. Seolah sedang menguatkan gadis yang sedang meneteskan air matanya itu.

"Jatuh Cinta itu tidak pernah bisa di pilih-pilih. Tuhan yang memilihkan. Kita, kamu, dan Gaga cuma korban. Kecewa itu adalah konsekuensinya. Dan bahagia bonusnya."

Hening beberapa detik.

"Jadi lo ragu sama apa yang dipilihkan Tuhan?"suara Raka tiba-tiba saja terdengar begitu dekat.

Laki-laki itu tepat dibelakang mereka, sembari tertidur telentang. Entah kapan laki-laki itu ada disana.

"Gw ngga pernah meragukan takdir apapun yang Tuhan kasi. Gw, gw, gw cuma."

"Belum bisa menerima semuanya. Segalanya bakal baik-baik aja, Ray."potong Ginas yang ada disamping Raka, sembari melihat kearah Rahman dan Raya.

Raya membawa dirinya kepelukan sang ayah, begitu menenangkan. Menyejukkan. Dan tempat pulang paling nyaman yang pernah ada.

Tiba-tiba saja Raka dan Ginas bergabung dengan mereka berdua, ikut merasakan kesejukan dan kenyamanan yang ada dalam dekapan itu.

Ada yang sebenarnya terluka namun benar-benar berdiri tegak dalam melewatinya. Bukan karena tak tersakiti, tapi karena ada orang-orang berharga didekat nya.

"Ayah turun dulu, kasian bunda sendirian dibawah."ujar sang Ayah, kemudian turun dari atas bus itu.

Bukan karena tak peduli, hanya saja sang bunda takut untuk menaiki hal yang seperti itu.

"Apaan sih kalian. Lepas-lepas. Gw ngga lagi sedih ini. Ish, kalian bau semua."keluh Raya dan melepaskan secara paksa dekapan kedua saudaranya itu.

"Alah, dasar bocil. Ngga usah pura-pura seolah lo baik-baik aja. Gw tau kali, hati lo lagi remuk-remuk manjaaahh."ujar Raka dengan nada kesal dan menekan kata manja nya.

"Ray, kita idup tuh udah pernah makan ingus bareng. Ngapain sih lo gini-gini."lanjut Ginas dengan nada malasnya.

"Gw telponin Gaga aja deh ya? Daritadi dia nanya elo mulu. Cerewet juga tu orang."ucap Raka dan akan mengambil handphone disakunya.

"Raka ihhhhh! Lo kok nyebelin banget sihhh! Jangan alay gitu sumpah!"seru Raya dan menahan tangan Raka agar tak mengeluarkan handphonenya.

Mereka berdua terus berebut.

"Halo Ga."suara Ginas terdengar begitu santai mengucapkan hal itu.

Mendengar potongan nama Gaga didengar, Raya langsung menoleh dengan mata melotot karena terkejut.

Kurang ajar! Keduanya membuat tipu muslihat dengan begitu hebatnya.

"Kak Gin! Apaan deh ikutan Raka!"seru Raya kemudian merebut paksa handphone dari tangan Ginas yang bisa didapatkan dengan begitu mudahnya.

"Hahahaha."tawa keduanya begitu menggelegar saat melihat ekspresi tak mengenakkan dari Raya setelah melihat handphone itu.

Bukan Gaga. Tapi, Bagas.

Kurang kurang ajar apa dua manusia ini?

Raka merangkul gadis itu dari sebelah kanan, sedangkan Ginas memeluk lengan sebelah kiri Raya dan menyenderkan kepalanya dibahu gadis itu.

"Lo percaya atau ngga. Ayah dan kami selalu akan tau apa yang bisa buat lo luka Ray. Jadi, jangan coba sembunyiin apapun."ujar Raka kemudian mengusap rambut gadis itu dengan penuh kasih sayang.

"Ayah, bunda, gw, Ginas, akan selalu ada disini. Tempat yang lo sebut rumah. Tempat lo pulang. Jadi jangan malu buat ngungkapin apapun."

"Lagian nih, gw aja yang udah gede gini masih sering nangis ke Raka kalo ada masalah apa-apa. Yakali bocil kayak lo sok kuat depen kami."gerutu Ginas.

Raya terkekeh, "jujur, bukan ngga mau. Gw cuma malu cerita sambil nangis cuma gara-gara hal kecil gini."ujar Raya dengan kekehan kecilnya.

Raka dengan gemas menggigit pipi gadis itu. "Jangan sok punya malu. Kami masih saudara lo kan?"

"selalu!"seru Raya kemudian tenggelam ke kedua rangkulan saudaranya itu.

•••••

"Benar bukan, berbagi itu memang selalu Indah?"

RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang