Malam Seperti Malam Biasa

8 2 0
                                    

Kring kring kring...

Waktu menunjukan puku delapan malam. Pak Arman tak pernah sekalipun terlambat sampai rumah. Beliau selalu menampakan senyum ramah di wajahnya. Senyum ramah itu berasal dari pria yang tidak terlalu tinggi, 170 cm. Tubuhnya tidak kurus kering tidak juga gemuk. Pak ARman rajin berolahraga dan menjaga kesehatannya dengan baik. Kebiasannya tersebut menjadi gaya hidup di keluarganya. Keluarga dimana Bondan dibesarkan.

Seperti biasanya setiba di rumah Pak Arman selalu membersihkan tubuh dan berganti baju sebelum bercengkrama dengan Bondan dan dengan istrinya. Beliau selalu memiliki waktu untuk keluarganya. Hanya senyum dan tawa yang selalu nampak darinya. Tak sekalipun Bondan pernah melihat raut amarah dan kebencian dari wajahnya. Istrinya adalah wanita yang sangat beruntung karena menikah dengan pria seperti Pak Arman.

"Kau tahu, dimana dulu ayah pertama kali bertemu dengan ibumu?" tanya Pak Arman ketika muncul dari dapur sambil membawa kopi. Secangkir kopi yang menandakan bahwa beliau akan tidur sangat larut malam ini.

"Hmmm" istrinya hanya tersenyum malu sambil menatap wajah Pak Arman.

Pak Arman duduk di sebelah istrinya. Bondan yang sedang serius dengan laptopnya kemudian mengalihkan padangannya ke ayahnya dan mematikan laptopnya yang berlogo universitas ternama di Amerika Serikat. Stiker logo MIT menjadi simbol ambisinya untuk berlajar di sana, tempat dimana karakter fiksi Tony Stark pernah kuliah.

"Aku betermu dengan ibumu di sebuah coffe shop di kota Jogja dan apakah kau tahu bagaimana ayahmu ini bisa berkenalan dengan ibumu?" ucap Pak Arman sambil meletakan kopinya di meja.

"Please just tell me dad!" ucap Bondan sambil sedikit tertawa geli.

"Ibumu menyiramku dengan secangkir americano" ucap Pak Arman sambil menatap Bu Lin, seorang wanita Chinise yang berprofesi sebagai dokter bedah di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

"Ibumu ini diselamatkan oleh segenggam es di gelas itu." balas Bu Lin sambil mencubit pundak suaminya.

"Ayah masih heran kenapa dulu ibumu ini memesan americani dingin padahal di luar sedang hujan deras. Dan aku harus mendapatkan jwabannya malam ini!" Pak Arman menatap tajam wajah istrinya.

"Ayolah, bagaimana ceritanya? Atau aku akan naik ke kamarku dan membaca buku fisika kuantumku" ucap Bondan.

"Ayolah, nikmati saja hidupmu selama di SMA! Suatu hari nanti ketika kau seumur dengan ayah, kau akan menyesal tidak menikmati masa mudamu dan hanya bermabisi menjadi seperti Richard Feyman." balas Pak Arman kepada anak satu-satunya itu.

"Ibumu nampak malu sekali waktu itu dan berjanji akan mengganti baju yang dia siram. Agak berrlebihan memang." imbuh Pak Arman.

"Ibumu meminta nomer whatsap ku dan menelponku keeokan harinya. Membawakanku baju yang sama persis dengan baju yang ayah gunakan malam itu. Padahal itu adalah baju hadiah dari teman ayah dari Amerika dan hampir mustahil mendapatkannya di sini.Dari situ ayah yakin jika ibumu berasal dari keluarga kaya." ucap Pak Arman.

"Lalu bagaimana ayah bisa menjadi pacar ibu dulu" tanya Bondan.

"Ayahmu menjebak ibu dengan kata-kata manisnya. Ayahmu ini lebih pandai membuat syair daripada menjelaskan bab fisika kuantum kepadamu." ucap Bu Lin

"Hahahah. Sebenarnya dulu ayah sudah sering bertemu dengan ibumu di tempat itu. Namun sejak kejadian itu, kami sering menyempatkan waktu untuk mengobrol dan delapan bulan kemudian kami berpacaran." ucap Pak Arman

"Apa yang ayah lakukan selama delapan bulan itu?" tanya Bondan.

"sejak menjadi teman ayah sering mengajak ibumu untuk melakukan perjalanan. Naik gunung, berkemah, atau hiking. Sebenarnya ayahmu ini sudah suka dengan ibumu sejak pertama kali ayah melihat ibumu di coffe shop itu. Ayah akan selalu berterimakasih dengan segelas americano dengan es itu karena telah memperkenalkan ibumu denganku. Hahahahah. Suatu malam, ibumu mengajakku makan malam di rumahnya bersama nenekmu, yang dulu ibunya."

"Hei, sekarang dia masih ibuku!" potong Bu Lin sambil sekali lagi mencubit pundak Pak Arman.

"Kupikir dia agak pesimis kau masih menganggapnya ibumu karena kau tidak pernah menelfonnya " balas Pak Arman.

"Mehhh" balas Bu Lin.

"Oke, jadi bagaimana makan malam itu?" potong Bondan agak kesal.

"Ketika hendak pulang, ibumu mengantarku sampai ke tempat ayah memarkirkan motor ayah, motor yang bahkan saat itu dikatakn butut. Ayah bahkan masih tidak mengira ibumu ini mau menerima ayah. Hahahaha."

"Sebelum ayah memakai helm, ayah mengeluarkan rangkainan bunga yang ayah gatungkan di motor. Ibumu tidak tahu karena ayah membungkusnya dengan plastik kresek. Ayah mengungkapkan perasaan ayah sambil memegang rangkaian bunga itu. Ibumu menjawab iya dan kami berpacaran selama enam tahun sebelum akhirnya menikah." tuntas Pak Arman

"Kenapa ayah dan ibu berpacaran selama itu?" tanya Bondan.

"Setelah lulus kuliah ayah bekerja di Amerika selama berberapa tahun dan ibumu berada di Bandung. Sebelum akhirnya menetap di Bandung ayah bolak-balik Maryland-Bandung setiap tiga bulan sekali, untuk menjenguk nenekmu dan bertemu ibumu." jawab Pak Arman.

Malam semakin larut, hujan deras semakin membuat udara dingin namun tidak mengganggu hangatnya suasana keluarga Pak Arman.

"Okee, sudah malam. Mari istirahat untuk besok pagi." ucap Bu Lin mengingatkan anak dan suaminya.

Akhirnya perbincangan malam itu selsesai. Cukup banyak hal yang diperoleh Bondan dari masa lalu ayahnya.

"Yah!" ucap Bondan yang memanggil ayahnya, nampak dia ingin menanyakan sesuatu kepada ayahnya.

"Ayah kerja apa dulu di Maryland?" tanya Bondan.

"Jasa asuransi" jawab Pak Arman.

Bondan menganggukkan kepalanya tanda bahwa dia puas dengan jawaban ayahnya.

Kemudian Bondan berjalan menuju kamarnya. Tinggal Pak Arman dan Bu Lin di ruang keluarga.

"Kenapa kamu harus berbohong?" tanya Bu Lin kepada suaminya.

"Dia akan banyak tanya jika aku menjawabnya dengan jujur. Dia sama sepertiku." jawab Pak Arman.

Bu Lin hanya menganggukkan kepalanya.

Satu per satu lampu di rumah Pak Arman redup. Tanda bahwa malam sudah semakin larut. Kamar Bondan sudah gelap tanda bahawa dia telah tidur.

Bu Lin membuat secangkir kopi lagi untuk Pak Arman.

"Ku buatkan kopi untumu. Aku tahu kau akan melakukan banyak hal malam ini." ucap Bu Lin sambil menyodorkan secangkir kopi kepada suaminya.

"Terimakasih. Kau tidak pernah salah." balas Pak Arman.

"Tidurlah, kau nampak lelah sekali hari ini. Besok aku yang akan membuat sarapan." imbuh Pak Arman.

"Selamat malam! Aku mecintaimu." ucap Bu Lin sambil mencium pipi kiri Pak Arman.

Tik tik tik tik tik...

Suara jari-jari Pak Arman mengetik di laptopnya. Selain menjadi pustakawan, beliau juga seorang penulis yang produktif.

Tik tik tik tik tik....

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 11, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mesin Teleportasi Peninggalan AyahWhere stories live. Discover now