A Shout into The Void

275 39 2
                                    

Seoul, awal 2014

"Selamat datang!"

Pantas saja Seokjin menempatkannya di kasir. Dia menyambut tamu dengan suaranya yang paling manis, juga senyuman yang sama manisnya dengan suaranya. Anak itu, seolah baterainya tidak pernah habis. Selalu full charge 24/7. Jika aku sudah mengalami pekan yang berat, berkunjung ke kafe Seokjin akan membuat energiku seolah-olah terisi kembali.

"Oh, kau lagi, hyung! Mau pesan apa?" tanyanya antusias.

Apa pun yang kupesan tidak masalah sih, asalkan aku bertemu dia hari ini. Astaga. Aku bahkan lupa sejak kapan aku terdengar begitu menyedihkan. Seolah-olah hidupku hanya bergantung pada anak itu saja. Tapi tak bisa kupungkiri, dia memberikanku kehidupan yang terasa baru. Kehidupan yang seolah belum pernah kurasakan sebelumnya.

Aku berpura-pura melihat ke menu di papan. Padahal jelas-jelas aku sudah hapal betul menu di sana. Seokjin menyusunnya dengan pendapatku dan Hoseok, jika kau bertanya-tanya mengapa aku bisa menghapalnya.

Tidak ada orang lain di belakang antreanku. Biarkan aku berlama-lama sedikit. Tidak akan ada yang marah juga kan? Tidak akan ada yang marah memang, tapi aku akan mendapatkan cemoohan dari Seokjin. Sudah pasti.

"Begini, biar kupermudah pilihanmu. Apakah kau mau kopi atau non kopi?" tanya Taehyung. Apa di matanya aku terlihat seperti seseorang yang kebingungan memesan minuman kopi atau non kopi? Aku hanya kebingungan menghadapi diriku sendiri yang semakin lama semakin ingin berlama-lama berdiri di hadapanmu. Itu saja.

"Kopi, kurasa aku ingin kopi," sahut menggantung.

"Oh, kukira kau menyukai teh, Hyung. Baik, mana yang kau mau?"

"Oke, biar kuganti pesananku. Buatkan saja apa yang ingin kau berikan untukku, Taehyung. Aku akan menerima apa pun."

"Serius? Apapun yang kubuat, Hyung?"

Apakah aku terdengar sedang bercanda di depannya? Sial, dia benar-benar membuatku gila sih. Aku mengangguk dengan gerakan sok keren. Benar-benar terasa ingin tampak keren di depannya. Tapi Taehyung sama sekali tidak memiliki petunjuk. Dia malah tersenyum gembira, seperti baru saja diberi kebebasan menjelajahi taman bermain seorang diri dan menaiki wahana apa pun yang dia inginkan.

Dan aku suka membuatnya sebebas itu.

*

Seoul, akhir 2019

"Dan jika orang itu berada di hadapanmu sekarang, apa yang akan kaulakukan?"

Bagaimana caranya aku menjawab pertanyaan pembawa acara itu dengan waras? Karena setiap 'seandainya' yang berkaitan dengan dirinya selalu membuat kewarasanku jatuh ke titil nol. Aku kehilangan semuanya. Benteng terkuat yang pernah kubuat atas diriku, kewarasan yang kubangun untuk tetap bertahan dan berjalan dalam hidup, serta bendungan agar rasaku tidak pernah tercecer keluar.

"Aku mungkin akan menjadi gila seketika," sahutku.

"Dan apa yang akan kaulakukan ketika menjadi gila karenanya?"

"Bolehkah aku memeluk... Oh, tidak. Mungkin aku akan menariknya langsung kemudian mengecupnya. Bukankah itu yang akan semua orang lakukan jika bertemu dengan seseorang yang mereka cintai setelah sekian lama?"

"Apakah kau yakin dia akan menerimanya?" Pembawa acara itu memang sialan. Aku tidak berharap ia mengorekku sedalam ini. Meski aku tahu aku sengaja pasrah membiarkannya melakukan itu. Pikiran tentang sosok yang ditanyakannya membuatku bahagia. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini akan ide-ide tentang diri orang itu.

"Tidak bisa kutebak. Dia adalah orang yang paling tidak bisa kutebak. Bahkan ketika aku dengan sangat mudah menebak isi pikiran dan hati teman-temanku, tapi tidak dengannya."

"Ceritakan sedikit tentang single terbarumu, Moonphase."

Moonphase. Dari mana aku mendapat inspirasi untuk menulis lirik tersebut. Lirik rap dengan bpm yang lebih lambat daripada lagu-laguku biasanya. Bagiku, Moonphase terkadang bisa menjadi semacam lullaby, walaupun aku tahu tidak banyak orang yang menjadikan rap sebagai lullaby. Tapi karena semua itu tentang dirinya, maka tidak ada lagu yang lebih cocok bagiku.

"Kau tahu, dia seperti bulan, mempunyai fase-fase tetapi selalu kembali ke bentuk asalnya. Terutama ketika menampakkan diri padaku."

*

Seoul, awal 2014

"Biar kukatakan padamu, Hyung. Berjanjilah tidak akan memukuliku. Jika kau berjanji, aku akan menemanimu memancing sebulan penuh."

Seokjin berhenti memasukkan biji-biji kopi pada mesin penggiling dan ganti menatapku lekat-lekat. Tatapan Seokjin harusnya menyeramkan, tapi bagiku wajahnya kadang terlalu jenaka untuk bisa menatapku tajam. Yang aku tahu, saat itu juga aku harus memberitahunya. Seokjin hyung perlu tahu supaya aku bisa mendapat izin dan restu yang seharusnya aku dapatkan lebih dulu.

"Ada apa? Kau sedang membuatku menunda pekerjaanku, Yoongi. Cepat katakanlah apa yang ingin kau katakan," ujar Seokjin.

"Aku menyukai adikmu." Aku mengakuinya. Ya, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku setelah sekian lama aku menyimpannya.

"Namjoon?"

Di saat seperti ini, bolehkah aku meninju Seokjin?

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Hanya memutar mata dan menghela napas pelan. Seokjin harusnya sudah tahu siapa yang kumaksud. Alih-alih berpura-pura bodoh seperti itu, bukankah dia harusnya segera merespon pernyataanku tadi? Kalau begini, kurasa tidak ada gunanya bercerita padanya.

"Baiklah, lupakan. Aku tidak akan menemanimu memancing selama sebulan. Lupakan apa yang kukatakan, oke?" seruku.

"Ey, jangan begitu. Aku bercanda. Bercanda! Tapi tunggu. Kau? Menyukai adikku? Tipemu bukan seperti itu Yoongi-ya."

"Lalu seperti apa? Hyung bicara seolah sangat paham tentang tipe kekasih idamanku."

"Bukankah Taehyung terlalu cerah untukmu?"

Ah. Seokjin tidak salah juga sih. Taehyung memang terlalu cerah untukku. Taehyung adalah matahari sementara aku adalah bulan. Aku hidup dalam gelap sementara Taehyung selalu bersinar. Tapi, Taehyung membuat aku terlihat. Aku bisa melihat diriku sendiri karena Taehyung ada di sekitarku.

"Apa kau akan menjaganya?" tanya Seokjin pelan.

Tentu saja! Pertanyaan macam apa itu? Aku tidak mengatakan kalimat itu dengan begitu antusias. Aku harus mengontrol diriku. Tapi sebagai gantinya, aku menganggukan kepalaku pelan. Ya, aku akan menjaga Taehyung seperti Seokjin dan Namjoon menjaganya. Ya, mungkin sedikit lebih daripada mereka. Sedikit berbeda, karena aku punya sesuatu yang berbeda dengan apa yang Seokjin dan Namjoon rasakan pastinya.

"Kalau kau seyakin itu, aku bisa bilang apa lagi. Lagipula, masalahnya bukan aku. Masalah terbesarmu kurasa adalah Namjoon. Kau tahu, dia begitu protektif."

"Ada apa dengan Namjoon hyung, Hyung?" Suara Taehyung datang dari balik tubuhku. Dia mengulum lolipop besar di tangannya. Dengan tatapan bertanya-tanya melihatku dan Seokjin bergantian.

Ah, rasanya aku tidak perlu bicara lagi pada Seokjin jika ada Taehyung di depanku sekarang. Bolehkah aku menghabiskan waktu dengannya saja sekarang? Aku melirik Seokjin yang sepertinya sudah tahu apa yang kuinginkan. Dia ganti menatap Taehyung setelahnya.

"Taehyung-a, pergilah dengan Yoongi. Belikan aku beberapa kebutuhan. Yang lainnya sedang sibuk. Bantu aku, oke?"

Aku berjanji akan menemani Seokjin memancing sebulan penuh setelah ini.

coffee-tea-vity • supvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang