Rewind

246 34 4
                                    

Seoul, akhir 2019.

Di dekat apartemenku, ada sebuah kedai yang buka hingga dini hari. Tempat yang tidak pernah ramai karena letaknya yang berada di dalam gang. Tidak banyak orang yang tahu dan pemiliknya sengaja tidak pernah mempromosikan tempat itu. Dia menyebutnya tempat persembunyian. Orang-orang yang pernah datang ke sana tidak peduli siapa yang datang dan duduk di sekeliling mereka. Kebanyakan dari para pengunjungnya duduk untuk minum sampai mabuk. Si pemilik akan membiarkan mereka tertidur sejenak di meja dan membiarkan mereka pulang ke rumah masing-masing.

Aku adalah salah satu pengunjung setianya.

Seusai wawancara tadi, aku bergegas datang ke kedai. Kedai yang malam itu terasa lebih lengang. Hanya ada satu orang di dekat pintu masuk, sudah menghabiskan tua botol soju seorang diri. Sementara aku baru membuka satu botol, kemudian berpikir tentang apa yang kuucapkan pada wawancara tadi.

Semua deskripsiku untuknya, sebenarnya sudah tidak punya arti lagi meskipun jika aku bongkar ke hadapan dunia. Karena waktu itu, aku dengan sengaja sudah menukarnya dengan dunia ini. Menukar mungkin bahasa yang tidak sesuai, tetapi kenyataannya untuk mendapatkan aku yang sekarang, aku kehilangan sebagian dari hidupku.

Ya, Taehyung adalah sebagian dari hidupku.

*

Seoul, akhir 2017

Perasaan Taehyung tidak sulit diterka. Taehyung adalah buku terbuka sementara aku adalah kutu buku sejati. Maka memiliki Taehyung adalah satu hal yang sebenarnya sudah bisa kuprediksi. Bagian meyakinkan dua kakaknya, itu adalah yang tersulit. Seokjin membantu paling banyak setelah aku menyogoknya dengan ini itu. Membantu apalagi kalau bukan meyakinkan Namjoon.

Tapi dua tahun bersamanya ternyata tidak serta merta membawaku pada sesuatu yang indah.

"Setelah aku memenangkan kompetisi rap itu, mereka ingin aku belajar bersama mereka. Mereka ingin aku benar-benar mempelajari komposisi dan membuat diriku lebih profesional lagi. Tidak hanya soal rap, mereka ingin mendidikku sebagai komposer juga."

"Lalu? Apa masalahnya? Kau akan tetap di Seoul juga," ujar Seokjin tak acuh. Tangannya lebih sibuk merapikan peralatan makan keramik yang baru dibelinya dari seorang seniman. Seokjin akan membuka cabang restoran keduanya di daerah Itaewon. Dia sukses menjadi seorang pengusaha makanan.

"Waktuku tidak akan sebanyak dulu lagi, Hyung."

Ya, waktuku tidak akan sebanyak dulu. Aku tidak akan bisa mencicipi menu racikan teh hasil percobaan Taehyung setiap saat. Tidak ada lagi waktu bertengkar dengan Namjoon setiap kali aku akan mengajak Taehyung keluar. Tidak ada lagi momen berkumpul bersama Jungkook dan Hoseok ketika mereka melakukan get together. Aku akan menepi dari kehidupan mereka semua. Bukan menepi sedikit malah.

"Kau bisa datang seminggu sekali," sahut Seokjin lagi.

Aku saja atau memang Seokjin sedang berusaha memberikan serangan balik agar aku tidak mengatakan apa yang akan kukatakan? Dia lebih pintar dari yang kubayangkan. Seokjin mengerti apa yang akan kubilang. Kebiasaan memancing bersama di akhir pekan lebih kurang membuat kami saling mengerti. Cukup lah sampai dia bisa membaca jalan pikiranku kadang.

"Taehyung akan mengerti kalau kau menemuinya seminggu sekali. Dia mendukung karir musikmu dengan sungguh-sungguh, kau tahu."

"Aku tahu, Hyung."

"Tapi?" Seokjin menghentikan kegiatannya, memandangku tanpa jeda. Sial. Dia mengorek isi pikiranku lebih dalam dari apa yang kubayangkan.

"Aku tidak yakin bisa melakukannya. Kau tahu. Ini perkara mimpi dan hati. Jika bisa, aku akan memilih keduanya."

"Kalau kau bisa memilih keduanya, mengapa harus menyerah pada salah satunya?"

Seokjin membawa peralatan makan itu dan sibuk menatanya di salah satu laci yang ada di dekat dapur. Sementara aku mengekorinya, sembari berusaha meyakinkan bahwa apa yang jadi keputusanku adalah benar yang terbaik dari apa yang bisa kupilih. Aku berharap ini yang terbaik untukku dan Taehyung.

"Kau bahkan belum meresmikan hubungan kalian, kan? Lalu sekarang ingin meninggalkannya? Namjoon tidak akan suka," komentar Seokjin.

"Taehyung tahu apa yang kurasakan?" sahutku.

"Benar-benar tahu, atau hanya kau yang memproyeksikan apa yang ada di pikiranmu, asumsimu tentangnya, sebagai bagian dari diri Taehyung sebenarnya. Kau bahkan hanya bersikap baik tanpa mengatakan apa-apa, Yoongi-ya."

"Apa? Kau mau pergi ke mana, Hyung? Tunggu. Aku baru saja berniat mempercayakan Taehyung padamu dan apa yang kudengar barusan? Kau akan pergi? Wow."

Yang lebih susah dari berbicara dengan Seokjin adalah berbicara dengan Namjoon. Laki-laki itu datang entah dari mana. Sambil melepas topinya, Namjoon mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sekesal itu dia sampai tidak mau melihatku sama sekali. Lidahku mendadak kelu. Aku tidak tahu bagaimana harus meyakinkan Namjoon tentang ini.

"Sekarang adikku mungkin tidak bisa hidup tanpamu."

"Dengarkan aku, Namjoon."

"Kau akan pergi meninggalkan Taehyung dan itu berarti aku tidak bisa mendengarkanmu lagi. Lebih baik kau pergi. Jangan ucapkan selamat tinggal pada Taehyung. Aku serius."

Seokjin menahan pundakku ketika aku hendak menyusul Namjoon ke ruangan atas dari restoran Seokjin. Gelengan Seokjin adalah apa yang membuatku menyerah. Aku kira memilih satu di antara dua hal ini akan mudah, tetapi ternyata aku salah.

"Sampaikan pada Namjoon, aku minta maaf. Tapi aku tidak akan menyerah semudah itu perkara Taehyung. Aku akan bicara padanya."

*

Di dunia ini, ada banyak hal yang berjalan tidak sesuai dengan keinginanmu. Bagiku, mungkin nyaris semua hal seperti itu. Salah satu yang bersekongkol melawan cerita hidup yang kuinginkan adalah waktu. Belum sempat aku berbicara pada Taehyung, aku harus lebih dulu pergi. Tidak ada pembicaraan tatap muka, tidak ada pesan singkat, yang ada hanya satu halaman surat yang kutitipkan di sela-sela pintu kafe Seokjin. Yang kuharap akan sampai ke tangan Taehyung dengan selamat.

Begitulah aku menukar sebagian hidupku dengan apa yang kudapatkan sekarang. Ketika waktunya sudah berlalu sekian lama, aku tahu ada harga yang tidak ternilai yang bisa saja hilang ketika kita memilih. Berpikir harga yang dipertukarkan akan sama, tapi ternyata tidak. Dan pada akhirnya, kehilangan selalu berubah jadi penyesalan dan alasan mengapa kau berharap waktu bisa diputar kembali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

coffee-tea-vity • supvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang