Dari yang pergi

5 0 0
                                    

“Tiap orang membawa rasa sakitnya masing-masing”


Beberapa bulan setelah kejadian di atas gedung waktu itu, mereka jadi cukup sering menghabiskan waktu bersama, dan kabar baiknya Bulan sudah sedikit terbuka.

Ternyata Langit tidak semenyebalkan perkiraannya. Seperti halnya saat ini.
“Es krim-nya enak,” ujar Bulan sambal terus melahap eskrimnya.
“Suka?” Langit bertanya yang ditanggapi dengan anggukan oleh Bulan.

Senyum tercetak jelas di wajah keduanya. Mereka tengah berada di sebuah kedai es krim yang lumayan ramai. Tidak salah karena memang enak. Ini pertama kalinya mereka mengunjungi tempat ini. Suasana kota sedang panas-panasnya ditambah dengan macet di sana sini membuat keadaan tidak pernah menyenangkan.

Bulan memerhatikan sekelilingnya semua meja hampir terisi penuh. Tak sedikit pengunjung yang masih mengenakan seragam sekolah. Sama halnya dengan Bulan dan Langit yang masih lengkap dengan seragam dibadannya.

Dari tempat duduknya sekarang mereka bisa melihat sebuah pertengkaran sepasang muda-mudi.

Perempuan itu pergi meningalkan si pria yang sedang terlihat sangat kalut sedangkan si perempuan pergi dengan rasa sakitnya sendiri.
Bulan terdiam sedari tadi menyaksikan kejadian itu. Langit yang menyadari pergantian raut wajah Bulan mendadak bingung.
“Hei, liatan apa, Lan?” Kepalanya menelurusi apa yang menjadi perhatian Bulan. Setelah menemukannya, ia mengangguk-anggukan kepalanya.
“Heran aja, kenapa orang suka banget mempersulit diri mereka sendiri,” nampak kerutan terpantri di wajah Langit, ia tidak mengerti.
“Kenapa masih ada aja yang mertahanin hubungan yang  sakit kayak gitu” tunjuknya mengangkat dagu dengan mata yang tak kunjung beralih.
“Mungkin itu tandanya hubungan mereka hidup, Lan”
“Maksudnya?”
“Yang namanya hubungan pasti ada aja masalahnya, entah itu bikin masing-masing dari mereka sakit atau enggak. Tapi yang namanya cinta emang kadang gak bisa di mengerti. Kadang kita malah dibuat rela melakukan hal yang sebelumnya mungkin gak kita suka demi cinta itu sendiri”
“Jadi meurutmu tidak mungkin dia pergi dengan tidak membawa rasa sakitnya?”
“Ya, bisa dikatakan seperti itu”

Bulan menghembuskan nafas panjang, “Ngeliatinnya aja bikin pusing, gak kebayang kalo aku yang jalanin.”
Telak. Kalimat itu seperti tanda stop untuk Langit kalo dia gak punya kesempatan. Tapi Langit gak kenal kata menyerah pada hal yang belum ia jalani sama sekali.
“Kamu pernah pacaran?”
Bulan menggeleng, “Enggak.”
Langit tiba-tiba tersenyum, “kok, senyum?”
“Enggak apa-apa”
“Kamu gak keliatan kaget”
“Kenapa harus kaget?”
“Temenku yang lain gitu soalnya. Kebanyakan dari mereka bilang aku bohong”
“Jadi aku sudah dianggap temanmu, nih?” Kata Langit yang nampak tersenyum.
“Anggap saja begitu”
“Kalo lebih, boleh?”
“Lang, jangan mulai.” Bulan memang paling malas membahas soal seperti itu. Menurutnya hubungan soal percintaan adalah hal yang rumit.
Membayangkannya saja bikin pusing, apalagi kalo sampai kejadian.
“Iya, iya” Langit mengalah, baru beberapa bulan mengenalnya sudah bisa mengetahui kalo Bulan tidak suka bahasan seperti itu, karena dia selalu menghindarinya. Alasannya? Langit belum bertanya, mungkin nanti.

“Ayo segera habiskan eskrimnya” kata Langit.
“Punyaku sudah habis, punyamu yang belum” Jawabnya sembari mendekatkan eskrim itu ke hadapan Langit.
“Mau kamu yang habiskan?”
Mendapat tawaran yang menarik, tak mungkin ia sia-siakan begitu saja. Bulan mengangguk dengan senyum yang mengembang. Menurutnya rezeki itu jangan ditolak.

Digesernya mangkuk es itu ke hadapannya. Bulan terlalu fokus menikmati tiap sendok eskrimnya sampai tak sadar kalau Langit diam-diam telah memotretnya. Disimpannya ponsel itu ke dalam kantong bajunya.

“Kita mau ke mana lagi?” Tanya Bulan yang sudah menghabiskan dua  mangkuk es krim. Langit menoleh, ia tidak mendengar, “Hem, apa?”
“Kita ke mana habis ini?”
“Ke mana saja denganmu aku selalu siap”

Bulan menatapnya datar, seolah sudah terbiasa mendengarnya.
“Kalo ke bulan, mau?”
“Denganmu?”
“Boleh, nanti kutinggal kau di sana”
“Lan, aku sudah tidak takut terbang tinggi lagi”.
“Kenapa?”
“Sedari awal denganmu, aku selalu merasa terbang, Lan”
Kalimat itu seperti menyihir Bulan, membuatnya senyumnya tiba-tiba mekar kembali.
“Jadi, itu gombalan terbaikmu?” Tanya Bulan.
“Sejauh ini, sih, iya. Kurasa,” Langit nampak berfikir, lalu terkekeh. Padahal ia sendiri tidak yakin.
“Kalau begitu, aku tunggu yang lebih baik lagi”
“Jadi….?”
“Jadi apa?” Tanya Bulan balik.
“Jadi kamu mau menungguku?”
“Menunggu apa?”
“Tadi katanya, aku tunggu yang lebih baik lagi. Artinya kamu mau aku mengucapkan lagi, kan?”
“Siapa bilang?” Kata Bulan seperti tak  tahu apa-apa.
“Tadi katamu”
“Masa iya? Aduh, aku tidak tahu”
“Kalau begitu, ayo, Lan.” Ajak Langit  sembari mengamit tangan Bulan.
“Ke mana?”
“Ke bulan” Langit menjawab sambil terus berjalan menuju pintu keluar dengan menghadap ke depan. Sementara bulan berjalan di belakang dengan tangan yang masih digenggam Langit.
Dilihatnya bahu itu, ia tersenyum.
Senyum yang mungkin lebih tulus dari biasanya.
Yang sayangnya, senyum itu tak terlihat oleh Langit.

Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang