The Mirror [Aleysia Z]

11 2 0
                                    

LORONG panjang di sebuah mansion besar terlihat gelap dan suram. Dinding yang bercat abu-abu gelap dan langit-langit berwarna hitam menghiasi sepanjang lorong. Beberapa buah foto besar terpajang, penuh debu dan usang. Jika terus melangkah sampai ke pintu di ujung lorong, beberapa buah suara dapat terdengar.

[Aku tak akan keluar.] Suara pertama terdengar tegas dan dingin. Kala diarahkan pada seseorang, aura dingin yang diberikan mungkin mampu membekukan si pendengar.

"...tidak perlu, hanya saja..." suara kedua terdengar lirih dan halus. Ada kesan panik dan rasa tidak percaya diri, namun lebih didominasi oleh ketakutan.

[Kau takut.] Bukan sebuah pertanyaan. Saat diucapkan, terdengar keyakinan pada dua buah kata tersebut. [Kau tidak ingin pergi.]

Dari sela pintu yang terbuka, siluet seorang gadis dapat terlihat. Gaun yang ia pakai menjuntai hingga tumit, berwarna putih tipis dengan bahan yang halus dan nyaman. Rambut cokelatnya yang lurus panjang hingga lutut, nampak tipis dan halus. Beberapa buah ornamen dapan terlihat di bagian poni rambutnya yang tidak rata; sepertinya, poninya asal dipotong menggunakan pisau kecil. Ekspresi si gadis tampak gundah, dengan alis yang bertautan tanda ia sedang memikirkan sesuatu. Bibir tipisnya yang sewarna mawar tampak digigit guna meringankan rasa takutnya.

Tak ada orang lain di sekitarnya, namun dengan jelas terdengar ia sedang bercakap dengan orang lain.

Tangan putih porselen terangkat, kemudian mengelus permukaan dingin dan licin sebuah kaca di depannya. "...aku mendengarnya..."

Bayangan di kaca tak bergerak. Kala si gadis menggerakkan tangannya yang mungil, bayangannya di kaca tak mengikuti. Jika dilihat dengan seksama, si gadis dan bayangan di kaca terlihat berbeda. Jika si gadis memiliki rambut cokelat dengan ujung merah muda, si bayangan memiliki rambut perak panjang. Pandangan matanya kosong, meski memiliki warna yang sama dengan iris si gadis.

[Kau mendengar terlalu banyak hal tak penting,] bayangan di kaca membalas, [jika kau lari lebih dari ini, aku tak bisa menahan mereka. Kau adalah host di sistem kita, namun yang lain ingin keluar untuk mendominasi.]

Tangan si gadis turun, kembali ke sisi kanan tubuhnya. "...kalau begitu, ...kau..."

[Aku adalah protector. Itulah alasanku muncul. Aku yang menggantikanmu saat kau tidak ingin menghadapi sesuatu,] ia menjeda sebentar, [sang healer sudah muncul di sistem, dan semakin kuat. Ia tak akan berebut denganmu, kau bisa menemuinya dalam sistem.]

"....."

Pandangan dingin gadis dalam cermin melunak. [Kami akan menjagamu.]

Si gadis tampak tak mendengar, ia sedang memikirkan hal lain. Kejadian sepuluh tahun lalu telah menyisakan banyak hal untuknya, termasuk sebuah trauma yang menjadi mimpi buruknya hampir setiap malam. Untungnya, meski ia kurang tidur, tak ada mata panda pada wajahnya; yang mungkin berasal dari keturunan.

Ia mendengarnya, seseorang di kegelapan sedang ingin datang dan mencapainya; menagihnya untuk menepati janji.

Kepergiannya selama nyaris dua tahun berawal dari sebuah surat dengan tinta merah yang muncul di depan pintunya, membuatnya mau tak mau harus bergegas pergi karena ia dipanggil. Ia tak ingin, sebenarnya, untuk pergi meninggalkan sedikit dari sumber kebahagiaan yang telah ia temukan. Orang itu berjanji tak akan meninggalkannya, dan ia percaya. Ia juga mendapat seorang kakak yang bersinar, penuh dengan kemilau; yang ingin ia lindungi dengan segenap tenaganya.

Mata semerah darah si gadis menatap dengan sayu. Bayangan di depannya mengikuti apa yang ia lakukan, membuat kemunculan bayangan berambut perak mirip dengan halusinasi semata. Bayangan itu muncul saat ia terlalu kaget dengan kematian keluarganya. Ia tak kuat. Jika saja bayangan itu tak muncul, ia yakin bahwa ia akan jatuh tak berdaya.

[Namaku Lacie, mulai sekarang aku akan menjagamu.] adalah kalimat pertama yang diucapkannya. Ia memperkenalkan diri sebagai bagian dari dirinya yang lain, seorang protector yang muncul untuk melindunginya.

Di malam berikutnya setelah Lacie muncul, ia bermimpi tentang hari di mana ia melihat orangtua kandung dan kakaknya yang sedang berbahagia. Sakit hati, ia lari dan pergi ke tempat persembunyiannya; sebuah ceruk pohon selebar satu meter. Saat itu, ia seperti mendengar sebuah suara. Namun bagaimana pun ia mencoba mengingat, ia tak bisa menemukan kalimat itu di dalam memorinya.

Si gadis menghela napas. Ekspresinya masih terlihat panik meski ada sebuah kesan dalam matanya jika ia sedang tersenyum. Mungkin ia akan mengingat di hari yang lain, pikirnya.

Ia berbalik, berjalan keluar kamar dan pergi melintasi lorong panjang.

Mansion yang ia gunakan lebih mirip bangunan yang terabaikan. Pun begitu, tak ada seorang pun yang mengklaim tempat besar itu. Si gadis tak mau memikirkan lebih jauh, mungkin saja hal tersebut dikarenakan lokasi mansion yang terletak di kaki gunung, terasingkan dari keramaian.

=====

Kembali di dalam ruangan di ujung lorong, sebuah bayangan di dalam cermin mewujud perlahan. Rambut perak, mata semerah darah dengan pupil berwarna perak menatap ke arah pintu. Sebelah bibirnya terangkat, menunjukkan sebuah senyum mengejek.

[Apa kau ingin membuat sebuah perjanjian?]

Suaranya yang dingin menggema, namun sudah tak dapat didengar oleh si gadis.

[Akan kuwujudkan permohonanmu.]

SYLVATICA: OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang