GUBRAK!
"Kalau enggak mampu bayar ya enggak usah utang! Lo kira orang lain enggak butuh duit, ha?!"
Aku terkejut mendengar teriakan itu. Meski aku baru berbelok memasuki gang, aku yakin suara itu berasal dari rumah paling ujung.
Samar-samar, terdengar isakan tertahan. Tak bersuara, tapi bagi siapapun yang masih memiliki hati, pasti bisa merasakan betapa besar beban yang ia pendam.
Dan benar saja, dua pria berpakaian rombeng menatap ganas wanita yang bersimpuh tak berdaya di depannya.
"Malah nangis. Lo pikir air mata bisa lunasin utang-utang lo?"
Pria berjenggot melayangkan kepalan. Aku langsung menahan ayunan lengannya sebelum tinju mengenai pipi wanita itu.
"Nah, nongol juga lo. Balik kerja kan? Sini, bagi duit!"
Mengabaikan dua pria kekar yang petentang-petenteng di depan pintu, aku membantu Ibu berdiri. Mengusap air yang luruh membasahi pipi.
Setelah memapah Ibu ke ruang tamu, aku kembali ke teras. Berusaha sebisa mungkin menahan emosi.
"Gue enggak punya utang sepeser pun ke kalian. Jadi, jangan pernah kembali ke sini lagi!"
Dua pria itu justru tertawa sumbang. Mulutnya yang terbuka lebar memperlihatkan gigi berlapis emas yang menyembul.
"Enggak punya utang lo bilang?" Pria berjenggot mengarahkan telunjuknya tepat di tengah dahiku. "Bokap lo itu punya utang seratus juta ke juragan Burhan."
"Ya udah, minta ke dia sana! Kita enggak ada urusan apapun sama Burhan."
Pria botak tampak tersentil ketika aku memanggil Burhan tanpa embel-embel penghormatan. Ia memajukan langkah, tapi dicegah oleh pria berjenggot.
"Bokap lo minggat. Jadi kalian yang wajib bayar. Atau-"
"Enggak sudi." Aku memotong kalimatnya, memalingkan muka. Ada nyeri yang menggerogoti begitu mendengar kata 'bokap'.
"-rumah ini bakal kita sita."
Aku mengeraskan kepalan, meluapkan emosi. Perih akibat tertusuk kuku tak sebanding dengan pedih karena mengingat masalah yang bertubi-tubi menghampiri keluargaku.
Rahangku mengeras. Mati-matian menahan agar rob tidak tumpah dari kelopak mata. Bukan saatnya menangisi keadaan. Apalagi aku ini cowok, sulung pula.
"Kita kasih tiga hari. Kalau selama jangka waktu tersebut masih enggak bisa bayar, siap-siap angkat kaki dari rumah ini." Selesai mengucapkan kalimat itu, dua pria kekar pergi meninggalkan rumah.
Aku langsung masuk, mendapati Ibu yang masih sesenggukan di sudut ruang tamu. Tangan kanannya memegang dada, sedangkan tangan kiri mengepal ujung daster.
Sesaat kemudian, muncul seseorang dari balik gorden yang menghubungkan ruang tamu dengan dapur. Ia menatapku, langkahnya penuh keraguan.
"Kenapa sembunyi? Harusnya tadi lo nolong Ibu. Lihat, Ibu jadi drop lagi!"
Ibu membelai pundak kiriku. Tangannya yang ringkih terasa bergetar. "Sudahlah, Nak. Ibu enggak apa-apa. Adikmu kan masih kecil. Ibu yang menyuruhnya masuk."
"Bu, Andi sudah SMK. Seharusnya bisa jaga Ibu."
"Maaf, Mas," pinta Andi, dengan suara yang lebih lirih dari angin.
"Sudah-sudah...."
Akhirnya aku yang memgalah. Aku memberi kode ke Andi agar mengantar Ibu ke kamarnya. Setelah keduanya masuk, aku meraih kunci motor. Melaju kencang membelah jalanan. Menuai pekikan amarah dari orang-orang yang nyaris terserempet.
Kuda mesinku berhenti di pelabuhan. Jika orang lain pergi ke dermaga untuk menikmati senja bersama kekasih, aku kemari untuk memaki pada langit. Gradasi biru menjingga yang selalu dielu-elukan pesonanya, justru menjadi belati yang senantiasa mengiris hatiku.
Aku benci senja.
Aku, Mandala Putra Adriantara sangat membenci senja.
________________☘☘☘_________________
Please direct your attention to the television monitors. We will be showing our safety demonstration.
Mohon arahkan perhatian Anda ke monitor televisi. Kami akan menampilkan demonstrasi keselamatan kami.
PENGUMUMAN KELULUSAN SELEKSI BERSAMA MASUK PERGURUAN TINGGI NEGERI
TIDAK LULUS
Semua ucapan dari pramugari itu terasa menghilang perlahan dari pendengaranku. Aku tengah duduk sendirian sebab memang hanya berpergian sendirian dan tidak ada penumpang lain di kursi sebalahku. Aku merasa gemetar dan melemah begitu saja.
“Kenapa harus tanda merah itu, ya Tuhan....” Air mata sudah turun di pipiku sejak tadi, semua perjuanganku berputar begitu saja dipikiranku. Semua tangis, luka, dan pengorbananku untuk masuk ke universitas dan jurusan yang aku inginkan sirna begitu saja. Meluluhlantakkan harapanku selama ini.
Tuhan, kenapa Engkau tidak adil kepadaku? Rasanya aku ingin berteriak di dalam kabin pesawat, rasa kecewa ini sungguh menyiksaku.
“Tuhan, aku tidak lagi punya harapan, jatuhkan saja pesawat ini!” Suara hatiku yang sungguh teramat gila itu menghilangkan akal sehatku.
Sebelumnya, aku sudah merasakan hal yang sama. Ketika pengumuman SNMPTN keluar dua bulan lalu, aku cukup kuat mengikhlaskan semua itu. Namun, kali ini aku merasa tak lagi punya harapan, semuanya telah berakhir.
Dengan mata merah dan bengkak karena selama di pesawat aku hanya menangis, aku menunggu Papa menjemputku di bandara.
Liburan yang kuharap akan disambut dengan kabar baik, ternyata semuanya pupus begitu saja.
“Kara?” panggilan Papa membuyarkan lamunanku.
“Papa!”
Aku langsung menangis memeluk Papa. Semua kesedihan ini tak bisa lagi ku tahan.
“Kara, Papa tahu kamu pasti kuat, semuanya akan baik-baik saja, kamu tidak boleh menyerah Kara!” Papa mengelus kepalaku.
Setelah masuk mobil, aku langsung menceritakan semuanya kepada Papa. Meski aku melihat raut kecewa, Papa tidak menunjukkannya kepadaku, dan hanya Papa yang selalu tahu cara menenangkanku.
Sesampainya di rumah, aku menemui Mama yang sedang memasak di dapur. Memeluknya dari belakang.
"Wah, gadis cantik Mama udah pulang, ya? Duh ... ini mata kok sembab gini sih?” Mama memegang wajahku, menyelidik setiap jengkalnya.
“Mama, maaf aku belum bisa membuat Mama bangga. Aku tidak lulus, Ma.”
Untuk kesekian kalinya air mataku turun begitu saja.
“Lagi-lagi kamu enggak lulus, Kara? Kamu harus lebih banyak belajar dari kakakmu. Kak Dian selalu lulus di pilihan pertamanya, bahkan kemarin dia jadi wisudawati terbaik di kampusnya dengan cumluade Kamu harus meniru cara belajarnya, Kara! Buat Mama bangga!”
“Iya, Ma. Kara akan belajar seperti Kakak.” Tepat setelah itu, aku beranjak menuju kamar.
Keluarga adalah segalanya bagiku, aku harus terlihat kuat, meski lagi-lagi aku pura-pura baik-baik saja keesokan harinya.
Aku tidak akan menyerah meski sebenarnya rapuh. Aku adalah seseorang yang akan selalu terlihat tenang di mata publik, kecuali di depan Papa. Aku yang selalu lari di tengah malam menuju pantai yang tidak jauh dari rumahku, hanya untuk berteriak dan melihat laut malam yang penuh misteri dengan ombak yang selalu saja jadi suara paling menenangkan untuku.
Ini lah aku, Kara Isantian. Penyuka laut dan ombaknya.
________________☘☘☘_________________
Selamat malam teman-teman
Ini adalah sebuah cerita yang ditulis oleh 2 orang. Dengan 2 sudut pandang yang berbeda.
Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak sebanyak mungkin. Hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Way
RandomIni kisah tentang mimpi dan ambisi. Tentang bumi yang tak pernah berkonspirasi untuk merealisasi resolusi. Tentang asa yang dipatahkan karena tahta dan harta. Dan ... kisah ini menjadi perwakilan bisikan hati banyak orang.