"Hoe, Yan, ngalamun aja lo!"
Tepukan di bahu dan suara melengking dari Baz membuatku kembali dari alam bawah sadar. Tanpa dosa (karena memang aku merasa melamun tidak termasuk dosa), aku hanya membalasnya dengan cengiran ala kadarnya.
"Kenapa sih? Ada masalah apa? Sini-sini cerita sama gue. Dijamin aman!"
Aku menyeringai, "Aman masuk ke telinga banyak orang?" Kali ini, giliran Baz yang nyengir.
Kemudian, dia turun dari motornya, duduk di sebelahku. Ia membuka jaket oranye berlogo sketsa motor di bagian dada; meletakkannya secara asal.
"Udah dapat berapa penumpang, Yan?"
Aku diam. Malas menjawab pertanyannya. Bukan karena dia ingin pamer penumpang, Baz tidak seperti itu. Melainkan karena aku malas mengakui bahwa hari ini aku belum mendapat penumpang satu pun.
"Oh, ternyata ini alasan lo sedih. Sepi penumpang." Aku membiarkan Baz menjawab pertanyaannya sendiri. "Omong-omong, panas banget hari ini."
"Mungkin karena panas, orang-orang milih berdiam diri di rumah, atau ngadem di swalayan. Siapa juga yang mau membakar diri siang bolong begini?" Akhirnya aku berkomentar. "Atau mungkin, mereka milih naik speed-car."
"Kalau gue jadi mereka, ogah ngeluarin duit banyak buat naik speed-car. Buang-buang duit. Iya kalau jaraknya jauh, lumayan. Kalau dekat? Kan tarifnya sama aja."
"Setiap orang punya pilihan, Baz. Jangan menghakimi."
"Kok lo belain dia?"
"Bukan membela, tapi membenarkan."
"Ya sama aja. Intinya lo di pihak pencuri rezeki kita."
"Rezeki kok dicuri." Aku terkekeh, meski sebenarnya secuil hatiku membenarkan ucapan Baz. "Rezeki sudah ada yang ngatur. Dan bentuknya enggak harus berupa uang."
"Nah, anak-anak, dengarkan baik-baik, jangan berisik! Pak Guru Adrian mulai menjelaskan pelajaran agama." Baz mencibir, aku terkekeh. Kemudian, kita sama-sama terdiam.
"Em, omong-omong, gimana kabar Rumah Kita?"
"Lagi open volunteer. Lo mau gabung?"
Baz berdecak sembari mengibaskan tangan. "Sama adik kandung aja enggak pernah akur, mana bisa gue ngurus anak-anak yang segitu banyaknya." Baz terdiam selama beberapa saat. "Eh tapi, boleh deh."
"Lo mau gabung?" Mataku membelalak. Baz mendapat hidayah dari mana sampai dia mau jadi sukarelawan?
"Enggak. Nanti coba tawarin ke penumpang gue. Siapa tahu ada yang minat."
Aku sedikit kecewa, tapi tetap tersenyum juga.
"Nah, masalahnya, matahari udah di atas kepala, tapi belum ada orderan yang masuk!"
Baz kembali menggerutu. Melontarkan sumpah serapah pada cuaca yang amat terik. Kemudian berlanjut mengeluh haus karena terlalu banyak berteriak. Aku tertawa, meski menyebalkan, Baz selalu mampu menjadi hiburan gratis untukku.
"Eh, ada orderan!" Aku memekik, membuat Baz menoleh sesaat sebelum akhirnya melanjutkan sesi marah-marah mengharapkan penumpang. "Dari kampus Nusatama."
"Udah, sana, ambil. Gue di sini aja sendirian." Tawaku menyembur ketika Baz menampakkan wajah memelas, persis seperti anak kecil yang merajuk karena dilarang membeli es potong.
"Duluan, Baz!"
Aku memakai jaket dan helm, menyalakan mesin motor, lalu membawanya membelah jalan raya.
Sepuluh menit kemudian, aku tiba di kampus Nusatama. Aku meraih ponsel, berniat menghubungi dan menanyakan posisi calon penumpangku. Tapi, gerakanku terhenti ketika melihat seorang gadis yang berjalan mendekat.
"Mas Adrian?"
"Atas nama Nia?"
Kami terdiam, sesaat setelah memastikan nama secara bersamaan. Canggung, aku menarik kedua sudur bibir, menyerahkan helm kepadanya.
"Ke jalan Imam Bonjol, ya, Mbak?"
"Iya. Eh, Mas, jangan cepat-cepat ya. Perut saya lagi sakit, pelan aja enggak apa-apa."
"Mbak mau ke kamar mandi dulu? Saya tunggu. Atau mau mampir ke SPBU?"
"Enggak usah. Perut saya nyeri karena datang bulan."
Kuperhatikan wajahnya yang terlihat menahan sakit. Bibirnya memutih pucat. Aku segera melajukan motor setelah memastikan dia duduk dengan aman dan nyaman dengan kecepatan rendah, sesuai permintaan.
___
Setelah mengantarkan penumpang yang selama perjalanan mencengkeram erat jaketku untuk menyalurkan nyeri haidnya, juga setelah memperhitungkan hari ini orderan sepi, aku memutuskan menyambangi markas Rumah Kita. Daripada seharian bengong di pangkalan, buang-buang waktu.
Markas sepi. Bukan hanya karena anggotanya sedang sibuk beraktivitas. Tapi, juga karena aku, selaku ketua, tidak pernah mewajibkan mereka datang ke markas setiap waktu. Aku menghargai kesibukan mereka. Yang penting, mereka tidak tiba-tiba menghilang ketika sedang ada even.
Begitu pintu terbuka, bau debu seketika menyeruak. Membuatku terbatuk cukup lama. Seingatku, aku terakhir ke sini minggu lalu. Itu berarti, tidak ada orang selain aku yang ke sini.
Agak sebal, sih. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau pun aku marah, mereka pasti berdalih, "Kan enggak wajib datang ke markas setiap hari. Lo sendiri yang ngomong."
Dan aku tidak memiliki wewenang untuk ikut campur dengan keseharian mereka. Toh, sejak awal pendirian, Rumah Kita memang kubuat untuk mereka yang ingin mengisi waktu luang. Melampiaskan sisa tenaga untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat. Daripada setiap hari ke sini, tapi hati terpaksa, bosan, lalu lama-lama memutuskan keluar.
Sebelum menghirup debu lebih banyak, aku menyambar gagang sapu yang berdandar di belakang pintu. Membersihkan setiap sudut ruangan, sendirian.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Dari Baz.
"Adrian, lo ke mana? Ambil orderan ke kampus lama banget!"
"Kenapa?"
"Tadi gue udah nawarin ke beberapa penumpang, em ... dua doang sih. Ada yang tanya-tanya, gue suruh buka akun medsos Rumah Kita. Terus, ada juga yang minta nomor lo."
"Dan lo kasih?"
"Hee...." Dari jarak yang membentang, aku tidak bisa menafsirkan ekspresi Baz saat ini. Namun, aku yakin seratus persen dia sedang nyengir tak berdosa.
"Berapa kali gue bilang, jangan nyebar nomor gue sembarangan!"
"Maaf, Bos! Gue pikir enggak ada salahnya, toh, demi kemajuan Rumah Kita juga kan?"
"Tapi, dia beneran minat enggak?"
"Dari tampangnya sih, iya."
"Siapa namanya?"
Baz menyebutkan nama. Hanya satu kata, tetapi sangat mudah kuingat. Namanya mirip merek salah satu bahan masakan instan yang sering kujumpai di dapur.
Semoga perkataan Baz benar. Dia serius mendaftar sebagai volunteer.
_______Selamat malam senin
Yey, part 3 udah di post nih
Bentar lagi Kara dan Adrian bakal ketemu.Jangan lupa tinggalin jejaknya ya.
Semangat buat upacara besok pagi :)Peluk jauh dari
madibu•tfjune
![](https://img.wattpad.com/cover/211469954-288-k964105.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Only Way
RandomIni kisah tentang mimpi dan ambisi. Tentang bumi yang tak pernah berkonspirasi untuk merealisasi resolusi. Tentang asa yang dipatahkan karena tahta dan harta. Dan ... kisah ini menjadi perwakilan bisikan hati banyak orang.