Part 1

8 1 0
                                    

Sejak lulus SMK, aku tidak pernah "santai". Setiap detik harus aku lalui dengan hal yang bermanfaat. Tidak ada waktu untuk bersenang-senang lagi. Karena, toh, skenario tidak mempersilakan aku merasakan kebahagiaan.

Hm ... seperti alur cerita sinetron yang sering ditonton Ibu dulu. Yang miskin selalu menderita, yang baik selalu dihina. Seolah orang baik tidak diberi kesempatan untuk merasakan kebahagiaan.

"Mas? Andi boleh masuk?"

Aku terkejut ketika tiba-tiba kepala Andi menyembul.

"Kalau mau masuk ketuk pintu dulu!"

"Kan kamar Mas enggak ada pintunya. Cuma ada gorden, Mas."

Aku merapatkan bibir, lupa kalau kini kamarku tidak seperti yang dulu.

Andi masuk sebelum medapat persetujuan dariku. Tangannya membawa secangkir kopi hitam. Dari aromanya, sudah tercium minuman tersebut hanya mengandung sedikit gula. Atau mungkin tidak sama sekali.

"Anak kecil jangan coba-coba kopi. Nanti ketagihan. Enggak baik buat kesehatan."

"Buat Mas Iyan." Aku langsung bangkit dari kasur, menerima cangkir itu dengan senang hati. "Kok Mas Iyan minum kopi? Katanya enggak baik buat kesehatan?"

"Emang." Aku mencumbu bibir cangkir, menghirup aroma pekat kopi  hitam yang memabukkan sebelum menyeruputnya perlahan. "Tapi tanpa kopi, gue bisa makin enggak waras."

Setelah menelan dua teguk kopi panas, mataku menangkap raut gelisah dalam wajah Andi yang duduk di ujung kasur.

Oh, ini kopi suap, batinku setelah menyadari ada yang tidak beres.

"Ngomong aja."

Andi terkesiap. Matanya mengerjap. Mulutnya sekejap menganga, lalu kembali rapat. Seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi sungkan.

"Eng ... it-itu, Mas-"

"Keluar dulu sana. Nanti kalau udah enggak gugup, balik sini lagi. Lo tahu kan? Gue enggak suka basa-basi."

Andi masih terpekur. Kepalanya makin menunduk menatap jubin.

Menurut tebakanku, paling dia mau minta uang sekolah. SPP atau uang buku. Bukannya aku tidak mau memberikan. Andi sudah menjadi tanggung jawabku, wajib bagiku memenuhi kebutuhannya. Aku hanya ingin agar Andi berani memecahkan masalah. Paling tidak, berdamai dengan egonya terlebih dahulu.

Sebagai abang, aku ingin Andi tumbuh bermental baja. Jika berbicara dengan saudara kandungnya saja masih terbata, bagaimana nanti dia bisa menghadapi dunia yang siap melahapnya dalam sekejap?

"Andi mau minta izin, Mas." Aku diam, menunggu Andi menyelesaikan kalimatnya. Ia menghela napas beberapa kali, menghalau gelisah yang mengusik kedamaian hati. "Mulai besok mungkin Andi akan pulang malam."

"Ada tugas?" Andi menggeleng. "Jam tambahan?" Ia menggeleng lagi. "Terus?"

"Andi ditawari kerja, bantu-bantu di bengkel Mang Kasman. Part time, dari sore sampai malam."

"Uang bulanan yang gue kasih masih kurang?"

"Cukup kok," cicit Andi, nyaris tak terdengar.

"Lo mau beli apa? Buku? Peralatan buat praktikum?"

"Andi enggak suka diem di rumah sementara Mas Iyan kerja banting tulang sampai malam. Andi mau bantu Mas Iyan."

Hatiku mencelos mendengarnya. Aku berusaha agar tidak terlihat lemah. Sebisa mungkin aku mengatur suara agar tidak terdengar bergetar.

"Jadi lo mau kerja?" Andi menoleh, kemudian mengangguk mantap. "Terus lo tega biarin Ibu di rumah sendirian?"

Andi tak menjawab. Ia kembali menunduk. Dari samping, dapat kulihat ia menggigit bibir bawahnya.

The Only WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang