03: Masa Lalu

11.5K 610 24
                                    

Rasanya setiap detik kini terasa lebih berat dari yang Luna pikirkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasanya setiap detik kini terasa lebih berat dari yang Luna pikirkan. Derap langkahnya seperti tertahan oleh batu besar yang menahan kakinya untuk melangkah.

Luna mengasingkan diri dari orang-orang terpilih yang Luna percaya akan membawanya keluar dari ketakutan masa lalu.

Sebelumnya Luna bertemu Dewa di taman, Dewa berkata akan menceritakan hal penting. Tentang Kevin. Tentu saja Luna tertarik, ada banyak hal yang perlu Luna ketahui tentang Kevin. Laki-laki itu terlalu misterius untuk sekedar di ajak deeptalk.

"Lo mirip Nina Damaris, orang di masa lalu Kevin. Anak-anak di sekolah udah tahu kalau lo penggantinya Nina. Mereka gak ada yang berani ngomong ke lo karena mereka takut sama power yang dimiliki Kevin di sekolah," ujar Dewa.

Rasanya ada yang menggores hatinya secara perlahan. Dan itu menyakitkan. Jika ini tentang masa lalu— berarti Kevin memulai hubungan dengannya saat masa lalunya belum selesai, kan?

Pengganti? Batin Luna bertanya. Dia tertawa miris.

Bagi Luna— hal yang paling menyakitkan adalah kecewa dengan seseorang yang sudah ia anggap sebagai rumah. Orang yang Luna harap bisa memeluknya dengan hangat, justru menancapkan pisau dengan dekapan erat.

"Sekarang Nina tinggal di—" ucapan Dewa terhenti saat menyadari ekspresi Luna yang berubah menjadi sendu.

"Gue gabisa ngelanjutin ceritanya lagi, lo harus nenangin diri buat denger lebih banyak tentang hal yang pengen lo tahu." Lanjutnya.

"Gapapa, lanjutin aja."

"Tapi—"

"Kalau gue bilang gapapa ya gapapa!" bentak Luna tak sadar. Detik berikutnya, Luna menghela nafas berat. "Maaf, gue kelepasan. Tapi gue beneran gapapa, Wa. Kalau terus kalian sembunyiin dan gue cari tahu sendiri, akan ada banyak persepsi di otak gue yang bisa jadi salah paham."

Dewa sadar bahwa ia akan berhadapan langsung dengan sahabatnya jika Kevin tahu bahwa Dewa lah yang menceritakan tentang masa lalu Kevin kepada Luna.

"Nina tinggal di Italy, dia suka banget sama seni, sama kayak lo. Gue, Kevin, dan Nina adalah teman semasa kecil. Gue udah tahu kalau Kevin suka sama Nina begitupun sebaliknya, sebagai sahabat mereka— gue dukung penuh keduanya," ujar Dewa melanjutkan.

"Kevin suka sama Nina, tapi Nina lebih suka sama karirnya sebagai pelukis. Saat kelas satu SMA, mereka berantem hebat di gimnasium. Kevin bilang dia gak akan ngebiarin Nina pergi ke Italy. Kevin gak bisa LDR dan Kevin gak bisa berangkat ke Italy karena dia anak tunggal keluarga Askara, seperti yang lo tahu— bisnis keluarga Askara ada di Indonesia."

"Kevin gak mungkin ngelepasin Nina begitu aja mengingat sifat dia yang posesif, kan?" tanya Luna pada Dewa.

"Nina janji bakalan balik satu tahun sekali, dan saat menunggu itu semua— Nina janji bakalan terus ngabarin Kevin lewat surat ataupun chat. Gue turut andil dalam kepergian Nina ke Italy, karena gue mendukung karir dia yang memang pengen jadi seniman hebat sejak kecil," jawab Dewa.

"Gue ngeyakinin Kevin kalau Nina gak akan ngecewain dia, gue yakin nama Nina akan terkenal di luar sana. Kevin akan bangga nyebut Nina sebagai pacarnya suatu saat nanti."

Tiba-tiba Dewa tertunduk, ada raut kecewa yang bisa Luna lihat dikedua mata Dewa. Helaan nafas Dewa menjadi berat.

"Tapi harapan gue sama Kevin salah. Semenjak kepergian Nina ke Italy, dia hilang kabar, bahkan keluarga Nina juga susah dihubungin. Sejak saat itu Kevin marah sama gue, Kevin juga nyalahin dirinya sendiri yang kurang tegas nahan Nina untuk gak pergi."

Gadis beruntung. Batin Luna iri. Nyatanya— Luna hanyalah cerminan Nina yang suatu saat nanti akan dilupakan jika sosok aslinya kembali datang.

"Sampai lo datang ke SMA Cakrawangsa dan ngabisin waktu di ruang lukis seorang diri dengan hasil lukisan abstrak yang lo punya. Kevin kayak ngelihat Nina di diri lo, Lun. Wajah yang terpapar sinar matahari setiap lo ngelukis di ruang sempit itu, tangan telaten lo yang ngebuat garis-garis random sampai menghasilkan karya yang luar biasa. Lo persis kayak Nina."

"Only I can be this close to you."

"Janji sama aku, no other man can be this close to you."

Perkataan Kevin saat di perpustakaan kembali teringat, dia menyukai mata Luna, apa karena mata Luna juga persis seperti mata Nina? Apa semua yang Kevin bilang adalah dia mencintai Luna sebagai Nina?

"Kevin bisa posesif dan se-over protektif ini sama lo karena dia gak mau kejadian Nina ninggalin dia kembali terulang. Ada ketakutan di masa lalu sampai Kevin sikapnya jadi semakin berlebihan ke lo. Jadi gue harap— lo bisa maklumin dia sewaktu emosinya meledak," pinta Dewa.

Lalu bagaimana dengan luka Luna? Pilihan yang berat apakah Luna akan bertahan dengan Kevin sampai lukanya terbuka lebar, atau melarikan diri untuk menyembuhkan lukanya sendiri.

"Pasti ada perbedaan antara gue sama Nina, kan? Pasti ada satu hal aja— yang Kevin suka dari gue dan itu gak ada di diri Nina," tanya Luna berharap.

Dewa menggeleng pelan, dia belum nemuin perbedaan kecil diantara keduanya. Bahkan saat melihat Luna sekalipun—Dewa merasakan rindu yang sangat mendalam dengan sosok Nina.

"Gue tahu Kevin salah udah nganggep lo sebagai Nina, begitupun juga gue yang berulangkali pengen ngasih tahu hal ini ke lo karena gue takut nantinya lo terluka lebih jauh. Tapi saat gue ngelihat Kevin perlahan kembali ke dirinya yang dulu semenjak kenal lo— gue gak bisa ngerusak kebahagiaan Kevin."

"Maksud gue—udah cukup banyak masalah yang Kevin lalui, mungkin dengan kehadiran lo sebagai Nina—lo bisa bantu Kevin perlahan-lahan dari rasa kangen yang dia pendam."

Luna juga punya trauma, Luna juga punya luka, Luna juga punya masalah keluarga dan ketakutan akan banyak hal. Luna pengen egois, dia pengen nyembuhin lukanya, rasanya sesak saat menahannya setiap ingin memejamkan mata.

Tapi saat Luna memposisikan dirinya jadi Kevin, Luna yakin bahwa Kevin sangat membutuhkan Luna sebagai Nina. Sebagai pengganti. Jika Luna melarikan diri, maka ketakutan di masa lalu Kevin akan terwujud.

"Lo bisa bertahan, kan, buat Kevin? Jangan sampai dia tahu soal ini. Gue mohon... sampai Nina kembali ke Indonesia, meskipun entah kapan hilalnya kelihatan," pinta Dewa bersungguh-sungguh.

Banyak hal yang harus Luna pikirkan, bertahan sebagai orang lain adalah hal yang tidak pernah Luna bayangkan sebelumnya. Namun Luna berharap—Kevin dapat menemukan satu hal saja, meskipun itu sekecil pasir pantai, yang membuat Kevin menatap Luna bukan sebagai Nina.

"Gue usahain."



Follow akun ini untuk mendapatkan notifikasi setiap kali aku update cerita.

Jangan lupa tinggalkan vote atau komentar, because feedback from you is very valuable. Thank You!

SEGURANCATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang