Chapter 2. Disuatu tempat, di bawah langit yang sama.
Semak-semak belukar setinggi 4 meter menjadi dinding-dinding tak tertembus. Tebalnya 5 inci. Semua warna semaknya hijau, menjadikan dinding satu dengan dinding yang lainnya terlihat sama.
Semak belukar ini membentuk berbagai jalan-jalan berliku di dalamnya. Ada jalan yang buntu, ada juga jalan benar yang menuju keluar. Sebuah labirin, bisa dikatakan.
Namun, apalah arti labirin jika dindingnya bisa dihancurkan? Dengan satu kilatan cahaya dari tongkat sihir si kakek tua, semua semak belukar setinggi 4 meter menyusut, membusuk dan menjadi semak mati yang bila disentuh bisa robek dengan mudah. Seolah kertas basah.
Si kakek tua menyimpan kembali tongkat sihirnya, mengubah bentuk tongkat itu menjadi sebuah pena bulu. Sebuah perkamen di tangannya yang dijadikan sarana Perwujudan Sihir Konsep, menyusut kemudian terbang menjadi mainan rantainya.
"Begini, 'kan lebih baik," kata si kakek tua memperhatikan sekitarnya. Semak belukar yang dia buat menyusut, dihancurkan oleh jiwa-jiwa yang lain.
Dari hadapannya, muncul seorang pria yang membuat jalan dengan tinjunya. Semak belukar robek, hancur berhamburan hanya dalam sekali tinju. Walau wajah pria itu samar, seolah memiliki garis hitam yang bergerak-gerak, si kakek tua yakin pria itu tengah menyeringai.
"Kita bertarung, kakek tua?" tanya pria itu.
Sabetan cahaya menebas dari kanan si kakek tua. Dari semak yang hancur, tibalah seorang pemuda dengan mantel gelap menyelimuti tubuhnya. Matanya runcing menatap dua lawan di hadapannya, bersiap membunuh bila lawannya itu bergerak mendadak begitu saja.
"Untuk apa bertarung?" kata si kakek tua mencairkan suasana. "kita harus bekerja sama. Tidakkah kalian ingat apa yang dikatakan Mailerism? Hanya butuh 16 jiwa untuk lolos ke tahap berikutnya. Ayo, mari bekerja sama demi menjadi salah satu dari keenam belas jiwa yang lolos!"
Dari kiri si kakek muncul seekor makhluk kerdil berwarna hijau. Kepalanya lonjong, matanya bulat dengan hidung yang sering mendengus. "Bekerja sama? Zug bekerja sama dengan manusia? Tidak sudi!"
Si kakek tua maju beberapa langkah ke tengah-tengah mereka. "Ayolah," katanya. "kita butuh satu sama lain." Dia menatap ke tiga jiwa yang ada. "Bagaimana kalau dimulai dengan perkenalan singkat? Aku Duke, begitu mereka memanggilku, seingatku."
"Bekerja sama artinya saling menguntungkan. Bagaimana aku bisa tahu kau itu tidak menyusahkan?" tanya si pria bermantel gelap. Duke menjawab dengan menggerakkan tangan, menunjukkan bahwa semak belukar yang menyusut ini dialah penyebabnya. "Maka begitu, panggil aku Zedania."
Si pria berwajah samar berteriak. "Bagaimana kami bisa tahu kau itu yang tidak menyusahkan?"
Zedania menarik keluar satu pistol dari balik mantelnya. Dia membidiknya enteng pada si penanya. "Kau ingin bukti?"
Si penanya mengepal keras tinjunya. "Oh, ya?"
"Tenanglah!" seru Duke. "ini langkah pertama kalian dalam menjalin kerja sama? Dengan saling mencoba membunuh?!"
Zedania menyimpan pistolnya kembali. "Dia yang mulai," katanya santai.
"Baiklah," si penanya berbicara. "perkenalkan, aku Das Magus Pamkin." Dia kemudian menoleh pada satu-satunya makhluk asing di antara mereka, seekor goblin. "Bagaimana denganmu?"
Goblin itu menggeram. "Zug tak perlu memperkenalkan diri pada manusia seperti kalian! Zug tak sudi memberikan nama Zug pada kalian!"
Duke menghela napas berat. Goblin itu sudah memberitahukan namanya entah sengaja atau bukan. Dia kemudian membujuk Zug, setidaknya berusaha, namun goblin satu ini sangat sulit untuk diajak bicara baik-baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Paket Saya Habis
RandomPaket saya habis, saya ga ada kerjaan. Jadi, saya buat aja ini. Ini bukan sesuatu yang patut dibaca, tapi bisa dibaca. Ini adalah kumpulan cerita yang dibuat, saat saya g ada kerjaan. Ya, silahkan.