Pada periode klasik Yunani Kuno...
Beberapa prajurit pria pergi ke medan peperangan. Ketika para Raja tengah gencar memperebutkan lahan kekuasaan dan pemperluas wilayah, tanpa menghiraukan prajurit yang nantinya akan kembali pulang atau tidak. Dari beberapa prajurit tersebut, adalah Suami dari istri, adalah Ayah dari anak-anak. Yang setia menunggu mereka pulang seusai peperangan.
Jika wajah mereka tak muncul kembali, maka beberapa hari kemudian keluarga mereka akan menerima jasad yang tertusuk pedang atau berdarah, bahkan lebih buruk. Para istri akan menjadi janda dan anak-anak akan menjadi Yatim tanpa kasih sayang Ayah mereka. Pemakaman seorang prajurit biasa tidaklah seperti bangsawan.
Mayat mereka akan ditumpuk dengan mayat prajurit lain dan dibakar secara bersamaan, tidak ada nyanyian Dewi. Tidak ada upacara pemakaman, hanya tersisa abu yang belum dapat dipastikan itu adalah abu dari keluarga mereka. Hanya keyakinan, yang membuat mereka percaya itu adalah abu dari orang terkasih dan disemaikan di laut Yunani.
Diiringi tangisan pilu sang istri dan jeritan anak-anak. Kisah kekejaman perang pun tak berhenti sampai disitu.
Peperangan hanya meninggalkan kisah sedih bagi wanita, dan bahagia bagi para bangsawan jika mereka menang. Jika kalah dari pertempuran, peperangan akan terus berlanjut tanpa henti menumpahkan darah. Tanpa henti mengirim ratusan bahkan ribuan pasukan pria yang rela mati jika Raja berkata demikian.
Haus akan martabat dan kekuasaan.
Beranggapan Dewa Perang berada dipihak masing-masing padahal mereka hanya menumpahkan darah dan membuat Dewa menjadi murka.Ketika Apollo menyinari sebuah kerajaan, penyusup memasuki kerajaan tersebut dan membakar habis sebuah kerajaan yang berdiri makmur dengan penghasilan bumi yang melimpah.
Jeritan kesakitan dan tangisan pilu melantun indah melihat tempat tinggal hancur terbakar, disaat yang bersamaan sebuah pasukan dari kubu lawan memasuki kerajaan makmur itu. Menghabisi para pria dengan pedang runcing mereka, penjagaan yang lengah membuat kota itu tumbang seketika.
Siang yang penuh pembantaian, darah dan kepala berhamburan di atas tanah. Tangis anak kecil ditengah pembantaian, mencari Ibunya yang telah hilang, ketika sang Ayah telah mati dimedan pertempuran. Kini ia harus rela kehilangan Ibunya yang pergi entah kemana. Prajurit bertubuh besar membawa pedang tajam dan perisai di tangan kirinya.
Anak kecil tersebut hanya bisa terduduk di atas tanah sambil menutup kepalanya, menunggu kematian kah? Bocah itu sendiri tak mengerti artinya kematian. Ia hanya menghindari tubrukan dari tubuh besar prajurit yang berlalu lalang dan membunuh pria dewasa dengan ganas. Bocah itu masih sangat kecil, tapi dia selalu bertanya-tanya.
Kenapa hanya para pria yang di bunuh?
Kemana semua wanita terutama Ibunya?
Pembantaian tak berhenti...
Siang berganti malam, namun jeritan itu masih menghiasi sebuah kerajaan yang telah tumbang dan kalah strategi oleh lawan. Mayat-mayat berhamburan itu dibakar, memastikan bahwa mereka tidak akan bangun kembali dan membalas dendam.
Bocah kecil itu sudah berhenti menangis, menangisi sang Ibu yang tak kunjung mencarinya. Dengan kedua mata kepalanya, ia melihat seseorang yang sudah sekarat, dibakar hidup-hidup oleh seorang prajurit. Ia takut, melihat pria yang dibakar itu menjulurkan lengan seolah ia meminta pertolongan. Dan akhirnya menjerit sakit saat api mulai mengelupas kulit dan dagingnya.
Bocah itu hanya diam,
Air matanya sudah hampir habis menangisi kejadian yang aneh baginya ini. Hari sudah sangat gelap, matahari berganti menjadi bor yang hanya sedikit menerangi malam pembantaian ini. Tak lama beberapa wanita dipaksa keluar entah dari mana, mengikuti perkataan prajurit berwajah sangar dan memegang sebilah pedang.

KAMU SEDANG MEMBACA
SLAVE
Historical FictionSudah terbit! "Sebuah peradaban yang menjunjung tinggi nilai budaya, menjadi tempat dimana seorang gadis terdampar karena diculik prajurit Sparta dan dijadikan seorang Budak. Namun gadis itu menemukan cinta sejatinya, yang ternyata tidak bisa ia ra...