Part 4

31.4K 1.1K 6
                                    

"Apa yang ingin kamu bicarakan padanya?" tanya Vella ketika mereka baru saja kembali kerumah - dikamar tepatnya. Ia terlihat marah dengan membuang tasnya sembarang ke atas nakas.

"Banyak yang ingin ku bicarakan." jawab Jimmy sambil menutup pintu dan menguncinya.

"Apa kamu akan membicarakan tentang kegilaanmu itu?"

"Sayang, tolong. Ini demi kebahagiaan hidup kita."

Vella berdecih. "Kebahagiaan? Kebahagiaan siapa? Ini hanya kebahagiaanmu sendiri."

Jimmy mendekati Vella dan menggenggam sebelah lengannya yang ditepis cepat oleh Vella. "Sayang, hanya ini jalan satu-satunya."

"Kamu sudah gila!" ujarnya sambil berjalan menuju pintu kamar. "Berikan kuncinya!" ujarnya lagi ketika menyadari Jimmy telah mengunci pintu tersebut dan membawa kuncinya.

"Kamu harus tidur disini!"

"Hanya ada pertengkaran jika aku disini. Cepat berikan!" Vella melangkah cepat, berusaha merogoh kunci yang terdapat di saku Jimmy.

Bukannya memberi, Jimmy malah menjatuhkan Vella ke atas ranjang. Ia mengukung Vella kemudian menciumnya, tapi Vella berusaha menghindar.

"Aku rindu padamu." Jimmy masih berusaha mencium Vella. Kesulitan mendapat bibir, ia memilih leher Vella yang lebih mudah ia jangkau.

Vella meronta, tapi kekuatan Jimmy lebih besar darinya. Jimmy makin menekan tubuhnya dan semakin liar mencecap leher Vella.

Ia menelusupkan jarinya ke punggung Vella dan menemukan suatu benda yang dicarinya. Ia menurunkan cepat resleting dress sambil terus menahan tubuh Vella agar tidak meronta. Setelah merasa tidak ada lagi perlawanan, Jimmy mulai menurunkan dress hingga sebatas perut kemudian mengusap lembut permukaan kulit tubuh mulus Vella yang sangat menggoda gairah kelelakiannya.

"Terserah kau saja!"

Tangan Jimmy mulai bergerilya bebas menyentuh bukit kembar Vella yang penutupnya telah ia buka sebelumnya. Lidahnya pun juga tak kalah beraksi. Ia dengan gairahnya yang besar, berusaha memancing gairah Vella. Tapi sayang, bukannya desahan Vella yang didengar telinganya, ia malah menangkap suara isak tangis kecil.

Jimmy mendongakkan kepalanya untuk memastikan apa yang ia dengar. Dan benar saja, ia mendapatkan Vella yang tengah membuang wajahnya kesamping dengan buliran-buliran air mata dipipinya. Seketika Jimmy beranjak kesamping dan membenarkan pakaian Vella. Ia menutup tubuh Vella dengan selimut kemudian beranjak turun dari ranjang.

"Kamu tidur disini. Aku tidur diruang kerjaku." ucapnya sebelum menutup pintu dan meninggalkan Vella yang masih pada isak tangisnya.

***

Seminggu telah berlalu, tapi tidak ada tanda baik dari perasaan Vella. Sudah seminggu lebih ia tidur terpisah dari Jimmy. Bukan seperti sebelum-sebelumnya, Vella yang memilih tidur dikamar tamu. Kali ini Jimmy yang memilih tidur di ruang kerjanya.

Seminggu belakangan ini, Vella juga tak sering bertemu Jimmy. Dikarenakan Jimmy lebih sering berangkat bekerja lebih pagi ketika ia masih setia pada tidurnya dan kembali pulang ketika ia sudah tertidur. Dan pagi kemarin sedikit hal mengganggu pikiran Vella. Ia memperhatikan tubuh Jimmy yang sedikit mengurus dengan tampilan yang kurang terawat. Ia juga mendengar dari salah seorang ART nya, bahwa Jimmy sangat jarang makan dirumah.

Suara kenop pintu membangunkan Vella dari tidurnya. Sambil membenarkan pandangannya, ia memperhatikan Jimmy yang tengah membuka lemari pakaian dan memilah beberapa lembar setelan pakaian formal.

"Mau kemana?" Vella menyibak selimut dan berjalan mendekati Jimmy.

Jimmy menoleh sekilas sembari tersenyum. "Besok aku keluar kota. Malam lusa aku kembali."

Muncul kekhawatiran Vella saat ia memperhatikan dengan lebih seksama kondisi Jimmy. Terutama wajahnya yang memucat. "Kamu sudah makan? Kamu terlihat seperti kelelahan."

Jimmy mengambil koper dan mulai menyusun pakaiannya. "Mungkin karena banyaknya pekerjaan dikantor."

Vella menahan tangan Jimmy. "Biar aku saja. Sebaiknya kamu makan terlebih dahulu. Aku tahu kamu belum makan malam."

Jimmy menjauhkan tangan Vella pelan. "Tidak apa, biar aku saja. Kamu lanjut saja istirahatnya."

"Tolong dengarkan aku. Aku tidak mau kamu sakit."

Jimmy memperhatikan Vella yang sedang menatap khawatir dirinya. Kemudian ia meraih Vella, membawanya masuk kedalam dekapannya. "Aku minta maaf."

Senyum Vella tertarik mendengar penyesalan Jimmy. "Aku juga minta maaf."

"Tidak, aku yang salah. Seharusnya aku tidak mengajakmu berhubungan disaat kamu sedang marah."

"Dan?" Vella menunggu permintaan maaf untuk hal yang sangat penting untuknya.

"Dan apa?" bingung Jimmy saat ia sedikit menarik tubuhnya.

"Hanya itu?"

"Ya. Aku minta maaf untuk malam itu. Aku tidak mau kamu menangis disaat aku menginginkanmu."

Vella menarik nafasnya panjang, menahan kekesalan yang mulai memenuhi hatinya. Ternyata salah. Kalimat penyesalan yang ia ingin dengar sepertinya tak akan pernah ia dengar.

Vella melepaskan pelukan Jimmy untuk pergi keluar kamar. Ia ingin meneguk segelas air dingin untuk meredakan hatinya yang memanas. "Aku mau kedapur."

"Baiklah." angguk Jimmy.

Bruk!

"Jimmy!" Vella melebarkan matanya melihat Jimmy ambruk begitu saja di depannya.

***

Vella mengurut keningnya yang terasa pening sambil sebelah tangannya menarik bangku dan duduk di samping ranjang Jimmy. Ya, baru saja seorang dokter memeriksa kondisi Jimmy dan mengatakan bahwa Jimmy mengalami anemia. Dengan lembut, ia mengusap jemari yang sedang terpasang selang infus itu.

"Sayang.." suara lemah terdengar memanggil.

Vella mengangkat kepalanya. "Sudah sadar?"

Jimmy meneliti setiap sudut yang terasa asing olehnya. "Aku di rumah sakit?"

Vella membalas dengan anggukan. "Kamu pingsan." ia menghela nafasnya. "Kenapa kamu tidak menjaga kesehatanmu?"

"Maaf."

Vella menutup matanya sejenak sambil menarik nafasnya sebelum ia mengeluarkan kalimatnya. "Apa ini ada hubungannya dengan anak yang kamu inginkan itu?"

"Maaf, sayang." Jimmy meraih jemari Vella dengan sebelah tangannya yang tak terpasang infus.

"Karena soal itu kamu harus melupakan kesehatanmu? Apa sebegitu pentingnya?"

Jimmy mengeratkan genggamannya. "Itu sangat penting. Demi kebaikan kita."

"Tidak ada kebaikan kita disini. Itu hanya demi kebaikanmu!" Vella berusaha menahan amarahnya. Ia tak mau bertengkar disaat kondisi Jimmy seperti sekarang.

"Sayang, aku mo-"

Vella berdiri dengan mata berkaca-kaca. "Terserah kau saja! Lakukanlah apa yang kau mau!"

to be continue..
21/01/20

Perfection of Madness (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang