Be my driver?

238 22 4
                                    

Selamat datang di muara kalbu,
Tentang kamu,
Yang hanya sebatas semu
Sepertinya aku rindu.

-Rae-

"Bisa bucin juga ternyata."

"Astaga! Jisung! Kaget tau gak?!"

"Sori, lagian serius amat nulisnya. Lagi ngerjain apaan sih?"

Rae menutup buku bersampul Paris itu dengan cepat sebelum Jisung dapat melihatnya—Lebih jelas dari yang tadi."Bukan hal penting."

"Tapi tadi kayaknya gue liat lo lagi nulis surat cin—"

"Lo ngapain kesini?! Tumben banget nemuin gue di rooftop sekolah?Biasanya juga kalo jam segini pasti lagi sibuk bangun rumah."

Bangun rumah disini jelas bukan artian yang sebenarnya. Jisung hanya punya satu hobi selama sepuluh tahun yang lalu, saat dirinya dikenalkan pada game yang bernama minecraft oleh tetangganya yang dulu lebih tua darinya beberapa tahun. Dari sanalah sisi kemaniakan seorang Jisung untuk menjadi arsitektur dan membangun rumah dengan berbagai jenis mulai dari sana.

Jisung berjalan lebih jauh dari kursi yang Rae duduki, bukan kursi sofa. Hanya kursi kelas yang sengaja ia seret untuk dijadikan tempat duduk yang layak, setidaknya kursi dari kelasnya tak akan membuat dirinya jatuh tiba-tiba karena kayunya sudah rapuh seperti kursi kebanyakan disini.

Tangannya menyentuh pagar pembatas, angin sore di atas sini memang menjadi yang paling terbaik sejagat raya untuk saat ini, selain sejuknya angin gunung Semeru yang pernah ia daki bersama kakak tertuanya dulu. Angin sore memainkan rambut hitamnya yang segelap langit kota Jakarta menjadi sedikit berantakan, matanya terpejam menikmati aroma angin dan aroma sisa hujan tadi siang. Sejuk, ia suka perasaan damai yang selama ini dijaga nya dalam benak, dalam semu yang pasti tak menentu.

Namun, guntur di langit damainya justru meledak begitu saja saat ia tak sengaja keluar dari kantin bersama Jaemin dan Jeno saat jam istirahat tadi. Netranya menangkap sebuah tautan tangan yang selama ini menjadi incarannya.

Jisung mendengus sebal memikirkan kejadian tadi, dirinya yang damai mendadak mendapati badai tak tau menahu. Badannya berbalik arah, menatap sosok yang kini kembali menulis dalam diary yang katanya keramat itu.

"Rae."

Sang empu nama mendongak, menatap pada pria yang tengah melipat kedua tangannya didepan dada."Apa?"

"Sejak kapan lo deket sama Chenle?"

"Chenle yang mana?"

"Lele, Chenle. Emangnya ada lagi selain dia?"

"Ooh, Lele. Dia pernah ngobatin luka gue waktu gue gak sengaja kesandung kucing."Rae manatap bingung,ikut berdiri dan menghampiri Jisung,"Emangnya kenapa?"

"Dia sekelas sama gue."

***

Chenle berdiri di depan mobil yang kini sudah terparkir selama kurang lebih sepuluh menit yang lalu. Matanya fokus pada layar ponsel yang menyala, menampilkan chatroom nya dengan seseorang yang nyatanya mampu mengusik sedikit perhatiannya.

Chenle : "Lo dimana?"
Chenle : "Gue tunggu di depan gerbang."
Chenle : "lo masih di kelas?Kebagian jadwal piket?"

15.28

Chenle : "Rae, lo dimana? Gue pegel pengen makan."
Chenle : "Lo gak datang dalam menit ke 5 berarti temenin gue makan."

15.30

Chenle : "Oke ini udah lebih dari 5  menit, berarti pulang sekolah lo temenin gue makan!"
Chenle : "Gue yang traktir kok, tenang aja."

15.39

"Chenle!"

Lele berbalik,menatap kearah suara berasal. Disana tepat di belakangnya Rae berdiri, memegang kedua tali tas punggungnya dan tersenyum cerah kearah Lele. Disamping rambut nya yang terurai panjang sepunggung terdapat sebuah hiasan berupa penjepit rambut berwarna merah muda yang tampak semakin membuat penampilan nya menjadi jauh lebih menggemaskan.

Tunggu, menggemaskan?

Apa-apaan! Itu gak mungkin kan?

"Hallo, Chenle! Maaf ya, lo nunggu lama pasti."

Mana mungkin, ada anak SMA yang masih menggunakan penjepit rambut berwarna merah muda seperi itu? Mana ada anak SMA yang terlihat menggemaskan saat tersenyum seperti Rae? Tolong sadarkan kalo ini bukan taman kanak-kanak apalagi playgroup.

"Le?"

Lele gak mau ngajak makan anak TK apalagi playgroup!

"Le?"

"Chenle! Hello! Anybody home? "

"Eh! Iya? Lo bilang apa tadi? Sori gue gak terlalu fokus, mungkin karena panas di luar."

"Tolong jangan ngelawak, tadi jelas-jelas udah ujan dan udaranya juga jadi segar gini gara-gara hujan."

"Iyakah? Gue gak terlalu memerhatikan cuaca akhir-akhir ini."

Rae tersenyum lembut, matanya ikut melengkung bagai bulan sabit. Cerah diantara gelapnya langit, bersinar.

Kemudian dia menepuk pelan bahu sebelah kanan Chenle,"Gak papa kok, gue juga gak seteliti itu sama cuaca. Kuy, katanya mau pulang bareng kan?"

"Iya, tapi dikarenakan lo udah bikin pangeran Chenle menunggu beberapa menit lamanya, gue mau ngasih hukuman buat lo."

"Aduh, jangan mahal-mahal dong pak, Le! Gue gak punya duit kalo buat ganti waktu lo yang berharga."

"Tenang, berhubung Lele ini baik, gue mau lo temenin gue makan."

"Di traktir kan?"

Lele mengangguk beberapa kali, kemudian tangannya sendiri secara refleks mengulurkannya kearah Rae.

Ekspresi wajah kaget Rae terpampang jelas, membuat Chenle menarik paksa tangan Rae yang rasanya selalu hangat, seakan-akan tangannya adalah salah satu bagian dari takdir yang akan Rae jalani.

"Lama ah! Ayoooo!! Lele udah laper banget!!"

Rae tersenyum, sedikit membuka mulutnya dan akan tertawa jika saja pikiran nya tak tertuju pada pria yang tadi berbincang ria dengannya di rooftop.

Jisung!

"Le!"

"Apa?"

"Lo janji 'kan mau traktir gue?"

"Yaiyalah, gak bakalan ingkar kok."

"Yaudah, yuk!"

Selangkah sebelum mereka tiba di depan pintu mobil, Rae sempat melihat kearah belakang. Disana, di dekat pos satpam. Perawakan Jisung yang tinggi tegap tengah bersender pada dinding pos dengan tangan terlipat di dada. Memerhatikan nya dengan nyalang seakan siap menelan Rae dalam sekali suapan.

"Le,"

"Apa?Mau pipis?"

"Bukan,ih!"

"Terus apa?"

"Ehmm..gak papa 'kan kalo gue ajak Jisung?"

"Jisung?"

"Iya, Jisung. Temen sekelas lo."

[]

The king of Rich [Zhong Chenle]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang