HElEN DAN SUKANTA
Pidi Baiq
Copyright ©2019Bismillah
Pertemuan di Restoran Lachende Jaavan.
Hari itu, tanggal 7, bulan Juni, tahun 2000, adalah hari kesekian kalinya saya mampir ke Restoran Lachende Javaan, di Frankstraat, Belanda.
Saya mampir untuk makan setelah berkunjung ke rumahnya Bapak The Tjong-King, seorang Ilustrator kenamaan Belanda, yang tinggal di daerah Haarlem.
Di restoran itulah, secara kebetulan, saya bertemu Nyonya Helen. Dia seorang wanita tua Belanda yang mengenakan gaun klasik warna putih dan di balut oleh mantel warna hitam. Di lehernya melilit pasmina dengan mati batik yang didominasi warna cokelat muda.
Dia seperti wanita terhormat. Wajahnya memiliki tanda-tanda kecantikan sebagai sisa-sisa dari peninggalan dari masa mudanya. Matanya tampak sangat manis, dengan rambut pirang kecokelatan, yang di lupa di atas menjadi sanggul.
Dia mendekati saya yang sedang duduk sendiri, setelah beres makan soto sambil ngobrol dengan frans Helling, pemilik restoran Lachende Jaavan.
Nyonya Helen hanya seperti orang yang ingin mampir untuk menyapa. Ya, katakanlah begitu, berdiri dengan tenang, menatapku penuh perhatian.
"Kamu orang Indonesia?" Dia bertanya dengan nada yang ramah untuk memulai percakapan, menggunakan bahasa Indonesia. "Atau mungkin Malaya?" tanya dia lagi.
"Indonesia Oma." saya jawab dengan senyuman yang ramah. Sesaat, saya tertegun oleh bahasa Indonesia yang digunakannya.
"Saya tadi mendengar, kalian berbicara bahasa Melayu."
Sebelumnya, memang saya mengobrol dengan Frans Helling menggunakan bahasa Indonesia.
"Saya mengawasimu sejak tadi." katanya, lalu tersenyum dan memperkenalkan diri. Saya juga tersenyum dengan cara bagaimana seharusnya menyambut seseorang yang ingin mengajak bicara. Kemudian, saya tahu dia sangat santai dan duduk di kursi yang ada di depan saya. Dia mengaku bernama Helen.
"Saya senang mendengar Dialek bicaramu." katanya.
Saat itu, dia sudah duduk berhadapan dengan saya, hanya terpisah oleh meja.
"Kamu tinggal di mana, di Indonesia?"
"Saya di tempatkan oleh Tuhan di Bandung, Oma."
"Oh. Bandung!" Dia berseru, penuh antusias.
"Ya, Oma. Kenapa?"
Dia menghela napas. "Tidak apa-apa."
"Oma dari mana?"
"Saya tinggal di Amsterdam."
"Oma, sendiri ke sini?"
"Oh. Tidak. Saya bersama dua teman. Kami ada pertemuan di Haarlem. Hanya saja mereka punya urusan yang lain." jawab Nyonya Helen. "Jadi, saya tinggal menunggu." tambahnya.
£
Ketika bicara, dia selalu memiliki binar di matanya. Dia memandang saya dengan penuh perhatian pada saat giliran saya yang berbicara.
"Tadi, setelah kamu selesai dengan temanmu, saya lihat kamu hanya duduk sendiri. Barangkali, kamu bisa di ajak bicara, untuk mengisi waktu saja." katanya.
"Oh. Iya."
"Saya khawatir, saya akan mengganggumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Helen dan Sukanta - Pidi Baiq
Historische RomaneWritten by @Faisolrhama Di Restoran Indonesia Lachende Jaavan, Haarlem, Belanda, tahun 2000, Nyonya Helen bercerita kepada saya tentang masa lalunya selama dia tinggal di Hindia Belanda, yang kini bernama Indonesia. "Saya lahir dan tumbuh di Ciwid...