HELEN DAN SUKANTA
Pidi Baiq
Copyright ©2019Desa Ciwidey
Bismillah
Sekarang, dengarkan bagaimana aku memulai.
Aku lahir tahun 1924, di kawasan Tjiwidei (Ciwidey), yang tidak akan aku sebutkan nama daerahnya karena alasan tertentu. Aku di beri nama Helen Eleonora dan lahir sebagai gadis Belanda yang memiliki kulit warna putih agak ke kuning-kuningan. Kulitku terasa halus dengan pipi agak kemerahan. Ada sedikit bintik-bintik cokelat pada bagian wajahku, tapi, kata Ibuku, itu berguna untuk melindungiku dari pengaruh bahaya sinar matahari. Mataku biru dan rambutku tebal bergelombang, berwarna pirang agak kecokelatan sesuai dengan apa yang di miliki oleh Ibuku.
Aku tidak hanya dibesarkan dengan bahasa Belanda sebagai bahasa Ibu, aku juga tumbuh dalam keluarga Belanda khas yang mengutamakan nilai-nilai budaya barat.
Seleraku di program sesuai dengan model Eropa di tengah-tengah kepungan budaya, norma, dan nilai-nilai masyarakat Pribumi, yang lebih ku minati melebihi minat ku pada budaya Eropa. Aku di perlakukan seperti itu dengan pola asuh yang cukup ketat.
Aku tidak di izinkan pergi ke mana pun, terutama jika pergi sendirian. Mungkin, mereka berpikir lingkungan luar begitu mengerikan dan oleh karena itu mereka lebih suka melihat aku berada di kamarku.
Jika kamu berpikir sepertiku, kamu akan setuju kalau aku selalu memiliki banyak masalah dengan kecepatan seperti itu. Mau tidak mau, aku jadi harus bisa mencari-cari sendiri hiburan di rumahku.
Sepertinya, ayahku memahami apa yang aku pikir dan apa yang aku rasakan. Sebagai sebuah kompensasi ayahku memberi aku biola dan membeli banyak buku untukku.
£
Demikianlah singkatnya. Keseluruhan cerita akan segera datang berikutnya. Sekarang aku akan sedikit menggambarkan sedikit lebih terperinci tentang keluargaku supaya kamu bisa mendapatkan gambaran tipologis tentang orang-orang di sekitarku.
Keluargaku adalah keluarga kelas menengah yang mampu memenuhi kebutuhan untuk kehidupan yang lebih layak. Keluargaku tidak terlalu kaya seperti keluarga R. A. Keerkhoven atau keluarga Hoogeven, tetapi juga tidak miskin.
Di rumahku ada pesawat telepon, mobil listrik, mobil Ford Tudor, Radio, Gramofon, koleksi rekaman klasik ayahku (kebanyakan Arias dari opera terkenal masa itu), Buku-buku, biola beberapa lukisan, mesin jahit dan beberapa jenis mainan, dari mulai boneka sampai meccano. Itu belum di tambah dengan barang-barang antik Tionghoa koleksi buku, dari mulai caa bunga, guci, cangkir, dan piring-piring berharga.
Aku di berikan pendidikan Agama yang harus berdoa sebelum makan, juga berdoa sebelum tidur, yaitu dengan meletakkan lututku di ubin sambil mengangkat kepala sepenuhnya, sampai aku benar-benar bisa merasakan seolah-olah sedang berbicara dengan Tuhan. Aku lakukan itu, tidak di maksudkan untuk menjadi religius atau saleh. Aku hanya tahu semua doa memang baik.
Di hari minggu kami mengunjungi gereja kecil dengan menara sederhana yang terletak di sebelahnya, di bangun dari batu dan pasir yang cerah. Lokasinya kira-kira 200 meter di sebelah selatan rumahku, yaitu terletak di daerah yang biasa di sebut Tonggoh.
Aku selalu merasa lebih baik ke gereja, bisa bertemu dengan orang-orang di sana daripada harus tinggal di rumah yang selalu membosankan. Lagi pula, khotbah yang baik tidak pernah merugikan siapa pun. Kata Ibuku barang siapa yang tidak datang kepada-Nya secara sukarela, tidak akan pernah mendapatkan kasih-Nya. Ibuku selalu menganjurkan untuk mengekspresikan iman-ku kepada-Nya dengan menyanyikan lagu-lagu pujian untuk-Nya, maka hati akan sepenuhnya bersuka cita di dalam roh-Nya.
Kadang-kadang aku pergi bersama Ibuku ke acara sosial yang biasa di adakan oleh keluarga Belanda, di mana biasanya berita terbaru dan gosip-gosip akan di perbincangkan di sana. Aku bisa mendengarkan hal-hal yang mereka katakan, baik itu penting atau cuma omong kosong, baik itu menyenangkan atau menyebalkan. Tetapi, hal yang paling jelas dari semuanya adalah lumayan membosankan. Aku hanya duduk di samping Ibuku melepas diri dari jenis kegiatan apa pun, dan harus banyak tersenyum, meski pun tidak jelas tapi penting untuk merayakan tatakrama sosial.
Waktu aku berumur 10 tahun, aku sudah punya biola sendiri, pemberian keluarga orang Itali, yaitu teman ayahku yang dulu di kenal sebagai pengusaha susu di daerah Lembang, Bandung Utara.
Pada awalnya, buatku biola adalah instrumen yang sangat sulit, di mainkan meski pun sudah belajar dari teman ayahku yang bermata ketat, berambut abu-abu dan suka meminjam uang kepada Ibuku dengan di awali oleh percakapan yang menyenangkan.
Untuk waktu yang lama, aku terus belajar memperhatikan notasi dan mencari akord yang tepat sampai aku bisa memainkan lagu "Ode to joy" dari Ludwig van Bethoven, "London Bridge is Falling", Twinnkle-Twinkle, Little Star" dan lambat laun aku bisa memainkan karya F. Chopin, Johann Sebastian Bach, Mozart, dll.
£
Aku sekolah di salah satu sekolah milik yayasan yang ada di daerahku, yaitu sekolah yang disediakan khusus untuk anak-anak Belanda pengusaha di Tjiwidei. Lokasinya lumayan agak jauh dari rumahku.
Aktivitas di sekolah di mulai pada pukul 8.00 pagi dan bertahan sampai pukul 1.00 siang. Aku pergi ke sekolah dengan menggunakan yang di sediakan oleh yayasan.
Hari-hariku berjalan seperti itu, memakai rok warna putih dari bahan kain setelah dengan lipatan yang benar-benar terasa kaku.
Di sekolah aku bisa bertemu banyak teman. (27).
Note
Harusnya aku tidak bela-belain, harusnya aku nabung untuk bisa mencapai 5k rupiah.
25jan
Hujan di waktu Isyak. Dan aku masih malas untuk sholat Isyak. Kerjaan aku menulis bukunya Mas Pidi buat aku malas semuanya. Aku tidak ikut-ikut Kiai dulu meski hujan terus turun dari langit. Aku haus. Entah aku mau pergi ke mana setelah ini.
Jengkel sekali sama Kiai sombong yang ada di sini. Sombong sekali dia. Kiai taik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Helen dan Sukanta - Pidi Baiq
Historical FictionWritten by @Faisolrhama Di Restoran Indonesia Lachende Jaavan, Haarlem, Belanda, tahun 2000, Nyonya Helen bercerita kepada saya tentang masa lalunya selama dia tinggal di Hindia Belanda, yang kini bernama Indonesia. "Saya lahir dan tumbuh di Ciwid...