inamorata, dear.

425 50 19
                                    

14.

"Biar aku yang menyetir."

Mereka berpandangan sebentar, lalu bertukar posisi. Chanyeol menuju ke sebelah kanan, dan Wendy dengan ringan membuka pintu pengemudi. Chanyeol pun melambaikan tangan pada ibu dan ayahnya di pintu rumah, "Kami pulang."

Wendy memasang sabuk pengaman dengan cepat, kemudian membuka jendela di sisi Chanyeol. "Sampai jumpa, Pa, Ma!" Dia juga melambaikan tangan dan tersenyum. Tak lama kemudian, Wendy pun menutup jendela, tetapi hanya separuh, sembari menyalakan mesin mobil.

Mawar-mawar ibunya tertutupi oleh kaca jendela yang masih penuh oleh titik-titik air. Mawar oranye. Senada dengan baju Wendy hari ini, yang ternyata tidak bisa mengundang kecerahan matahari pula. Chanyeol tersenyum untuk alasan yang tidak pasti.

Ibunya masih berdiri di ambang pintu. Chanyeol merasa hangat—hidupnya dikelilingi oleh banyak wanita yang menyenangkan. Ibunya, kakaknya, dan sekarang Wendy.

Mobil pun melaju pelan. Mawar-mawar oranye itu bergerak di luar. Titik-titik air juga berlomba di kaca.

Hujan masih turun, rintik-rintik. Wendy menyanyi di sampingnya. Ia sudah merindukan ibunya lagi—tetapi setidaknya masih ada Wendy bersamanya.

15.

Kelopak bunga sakura itu jatuh ke kepalanya, dan ia tidak sadar sampai Wendy menarik kaosnya pelan. "Menunduk, dong." Wendy pun berjinjit mengambil kelopak itu.

"Kau bisa melihatnya," canda Chanyeol.

Wendy mengerutkan hidungnya. "Ih."

Pria itu mengacak rambut Wendy pelan.

"Dari tubuh yang pendek pun, aku bisa melihat banyak hal." Wendy nyengir masam. "Atau, bukan aku yang pendek. Kau yang terlalu tinggi."

Chanyeol menggandengnya. "Siapa yang peduli? Tubuhmu enak dipeluk-peluk karena mungil, dan aku bertaruh kau juga suka dengan tubuh tinggiku."

Wendy tertawa kecil seraya membalas rangkulan Chanyeol pada pinggang pria itu.

16.

Pada sebuah kota, jalan-jalan punya nama dan artinya sendiri. Chanyeol sudah melewati jalan yang sama, pada musim-musim semi yang berbeda di sebuah kota kecil di Jepang ini sejak bertahun-tahun yang lalu, di mana liburan ke Jepang adalah salah satu caranya untuk melarikan diri dan bertualang dalam keheningan.

Nama jalan, bukan sekadar nama yang disebut orang lokal. Jika dalam bahasa Wendy, that's the sense you get when you inhale deeply. Atau, dalam bahasa singkat Chanyeol, apa yang terpikirkan saat seseorang menghirup napas dalam-dalam.

Ini kali kedua Chanyeol mengajak Wendy ke tempat ini, pertama kalinya pada musim semi. Ia mengajak Wendy berjalan di antara pohon-pohon yang bunganya bermekaran, saat hampir semua orang sibuk berada di taman-taman atau ruang terbuka publik untuk menikmatinya sambil berkumpul.

"Apa yang kaulihat?" tanya Chanyeol pelan.

Wendy, masih menutup mata, menjawab ringan, "Kelinci kecil."

Chanyeol tidak mengerti korelasinya, tetapi baginya, imajinasi lebih besar daripada sekadar logika. Giliran ia yang menutup mata, "Aku ... aku melihat merpati."

"Jalan Kelinci bagiku," sahut Wendy, "dan Jalan Merpati untukmu."

Chanyeol tertawa kecil. "Aku tidak tahu apakah orang lokal akan menyukai selera penamaan kita."

"Entahlah." Wendy mengangkat bahu. "Aku melihat kelinci mungkin karena warna bunganya, yang putih-putih begini, mengingatkanku pada kelinci." Dia menelengkan kepala ke arah Chanyeol. "Dan bagimu, merpati. Suci." Perempuan itu tersenyum lebar, menghirup napas dalam-dalam, tetapi tidak menutup matanya. "Aku suka caramu menentukan sebuah nama seperti ini, Sayang. Betapa kayanya dunia jika kita melihat banyak hal di setiap jalan yang kita singgahi."

dear, embraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang