BAB 2 (For Preview)

740 65 3
                                    

BAGIAN DUA :

Tentang Sang Gadis Pencari Buku Tua.

Sebagai mahasiswa tahun kedua, Gaeul cukup sial karena harus masuk ke dalam kelas seorang professor galak. Dosen tua renta yang Gaeul yakini memakai gigi palsu—karena memang tidak masuk akal kalau Prof. Song masih mempunyai gigi sebanyak itu di usianya yang sudah enam puluh tahun—memang terkenal tegas dan pintar.

Awalnya, Gaeul terkesima pada Prof. Song, sudah tua tapi masih sanggup menjabarkan untaian rumus panjang bercabang-cabang yang tak cukup dua papan tulis hanya dengan satu tangan memegang spidol dan tangan lainnya memegang sapu tangan. Perawakan dosen yang satu itu memang tinggi dan gendut. Wajar kalau dia selalu memegang sapu tangan untuk menyeka keringatnya. Orang yang obesitas memang selalu berkeringat lebih banyak, kan?

Namun semua rasa kagum di benak Gaeul terbang begitu saja tepat setelah dosen tua yang botak di bagian depan itu berkata, "A itu nilai Tuhan. B nilai saya. Jadi nilai kalian semua gak jauh-jauh dari C."

Gaeul pikir itu hanya ancaman semata. Sebuah gertakan yang diberikan dosen tua agar mahasiswanya tidak berani macam-macam. Setidaknya sampai saat seniornya di UKM menceritakan penggalaman belajar dengan Prof. Song setahun lalu, barulah Gaeul sadar kalau itu bukan sebuah candaan semata.

Tua Bangka itu benar-benar serius memberikan nilai C. Anak-anak pintar yang mengikuti semua aturan dan tugas yang dia berikan dengan baik, akan mendapat nilai C. Kalau beruntung, bisa dapat C plus. Dan kalau kau bisa menarik hati Prof. Song dengan menjadi asistennya atau orang kepercayaannya, maka nilai tertinggi yang bisa diraih adalah B minus.

Benar-benar iblis di dunia perkampusan.

Selain pelit soal nilai, Prof. Song juga tidak pernah mempermudah mahasiswanya. Tugas-tugas seperti resume, laporan praktikum, makalah, dan lain sebagainya tidak tidak bisa dibuat asal.

Ajaibnya, Prof. Song selalu tahu buku referensi yang kita gunakan—apakah buku itu ada atau tidak, valid atau tidak, bermutu atau tidak—bahkan dia bisa tahu tugas itu benar buatan kita bukan. Luar biasa sekali. Seandainya otak dan ketelitiannya itu tidak dipergunakan untuk mempersulit orang lain, pasti dia akan mudah disenangi banyak orang.

Ingin memaki, tapi jika dipikir-pikir itu salahnya. Dia kehabisan paket data saat mengisi KRS. Akibatnya, Gaeul kehabisan bangku di kelas Mr. Mrvica. Padahal dosen berdarah Rusia itu terkenal ramah dan tidak suka mempersulit mahasiswa.

Yasudahlah, memang sudah takdir. Ya mau bagaimana lagi.

Sayangnya kesialan Gaeul tidak berhenti sampai di situ saja. Kemarin kelompoknya terlambat mengupulkan laporan praktik lantaran teman sekelompok Gaeul yang mendapat tugas cetak dan kumpul kecelakaan di simpang lima dekat kampus. Karena tidak parah—hanya keserempet sih sebenarnya—Prof. Song tidak memberikan toleransi. Masing-masing dari mereka diberikan tugas khusus yang tidak masuk akal.

Bagaimana mau masuk akal kalau buku yang dijadikan referensi adalah buku berbahasa Inggris terbitan 1963! Sial. Umur buku itu bahkan lebih tua dari ibu Gaeul sendiri. Mana dia harus ke perpustakaan lama yang terkenal anker. Ibarat pribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga pula!

Setelah memperoleh informasi yang tepat akan keberadaan buku yang dibutuhkan, Gaeul memberanikan diri untuk mengunjungi sektor selatan kampus. Perutnya sudah tidak nyaman sejak tadi pagi. Rasanya Gaeul ingin guling-guling di atas kasur saja. Bermalas-malasan dan melakukan perawatan wajah yang mulai jarang dia lakukan lantaran tak memiliki waktu yang cukup.

Megabaikan nyeri dan kram pada perutnya, Gaeul menyisir rak besar besar berisi buku kalkulus tua yang tebalnya tak tertolong. Masih ada beberapa yang menggunakan Bahasa Korea, tapi hanya sedikit. Itupun masih menggunakan ejaan lama. Bahasanya sulit dimengerti. Astaga, kenapa Gaeul harus memahami tata bahasa generasi lama? Otaknya kan jadi bekerja dua kali lebih banyak. Kalau begini, kapan dia bisa istirahat?

Coelum .PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang