Bagian Satu

488 31 3
                                    

11 Oktober, 2019
16.57 WIB


"Kala."

Ucapan singkat itu berhasil menyita perhatian sang gadis dihadapannya yang sedang sibuk mencatat.

Kala dan Arka, kedua sekretaris kelas, kini sedang mengisi agenda mingguan kelas yang sudah terlambat dikumpulkan. Karena satu dan lain hal, agenda mingguan itu belum sempat diisi yang mengakibatkan tersitanya waktu pulang sekolah bagi kedua pengurus kelas tersebut untuk hari ini.

Netra gadis tersebut yang semula fokus terhadap buku agenda, kini berpindah kepada lelaki yang tengah duduk di hadapannya.
"Hm?" gumam gadis itu.

"Jangan ham hem ham hem doang, jawab." Arka memutar kedua bola matanya dengan malas.

"Kenapa, Arka?" Jawabnya dengan malas juga. Kala memaksakan senyumnya.

"Hehe. Gitu dong. Gue mau denger suara lo."

"Buat apa denger suara gue?" Kala menaikkan satu alisnya, bingung.

"Yaa... mau aja. Suara lo kan bagus, bisa nenangin hati."

Kala mendengus sebal. Ia kira Arka akan mengatakan sesuatu yang penting, dilihat dari responnya. Ternyata tidak sama sekali. Kala jadi menyesal karena sudah menghentikan kegiatan menulisnya. Kalau begini, waktu pulang mereka akan semakin lama.

"Mending lo diem, deh. Udah hampir jam 5. Kalau ini gak selesai-selesai, emang lo mau balik maghrib? Gue sih gak mau. Gak tau aja ya lo minggu kemaren kak Amel sempet kesurupan di pos satpam karena jam 6 masih di sekolah?"

"Setan doang. Gue gak takut." Jawab Arka penuh percaya diri.

Kala menatap tak percaya kepada lelaki di hadapannya itu. Percaya diri sekali dia?

"Giliran kesurupan beneran, aja, nangis lo."

"Kala, orang yang kesurupan itu kan biasanya karena pikirannya kosong. Dan pikiran gue gak akan pernah kosong."

"Oh, iya juga ya. Pikiran lo kan penuh dengan beban hidup lo. Tentu gak akan pernah kosong." Kala tersenyum penuh kemenangan. Rasanya asyik sekali bisa membalikkan kepercayaan diri lelaki di hadapannya.

Arka balas tersenyum, "Iya, beban hidup gue. Beban yang gue dapet dari mencintai seseorang yang gak pernah sadar akan perasaan gue ke dia."

"Uuh... kasian, puk puk puk Arka." Ucap Kala acuh. Perhatiannya kini ia alihkan kembali pada buku agenda kelas. Meladeni ucapan tak penting Arka hanya akan membuang waktunya. Lebih baik ia lanjutkan kegiatan mengisi agenda kelasnya.

"Kalau kasian, sadar dong."

"Huh?"

Perhatian gadis itu teralihkan lagi berkat isi ucapan singkat sang lawan bicara.

"Maksud lo?" Kini, gadis itu menaruh semua atensinya kepada Arka. Ia penasaran dengan arti ucapan teman dekatnya itu beberapa detik lalu.

"Sadar, Kala."

"Iya, sadar apaan sih? Ini gue sadar, kok. Gak pingsan."

Arka berdecak malas.

"Sadar, Kala. Gue suka sama lo."

Enam kata yang baru saja diucapkan itu sukses membuat Kala melebarkan kedua netranya.

"Huh? O-Oh ya t-terus? Maksud l-lo gimana deh?" Kala bertanya dengan terbata-bata.

Rasa tak percaya akan ungkapan tersebut membuat Kala terus berusaha memproses apa yang baru saja dikatakan, meskipun sebetulnya ia sudah tahu pasti apa maksud dari perkataan tersebut.

Tubuhnya meremang, degupan jantungnya semakin kencang. Kedua tangannya bergetar hebat, begitu pula kedua kakinya.

Arka tertawa kecil setelah melihat perubahan pada Kala. "Santai, La."

"Selama ini lo enggak sadar ya? Perhatian yang gue kasih ke lo itu berbeda. Juga perlakuan gue. Semuanya spesial cuma untuk lo. Semua karena lo ada di tempat yang spesial juga di hati gue. Gue sayang sama lo, gue suka- ah, maksudnya, gue cinta lo, Kala."

Kedua netra gadis itu semakin melebar. Pasalnya, ia semakin tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Gadis itu menundukkan kepalanya. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, dan harus dengan ucapan seperti apa ia merespon temannya ini.

Selama beberapa saat, Kala masih menundukkan kepalanya. Ia berpikir keras. Sedangkan Arka, lelaki itu hanya tersenyum kecil melihat sang pujaan hati yang kini tengah dilanda kebingungan dan rasa gugup yang luar biasa, terlihat dari tangan dan kakinya yang tak berhenti bergetar bahkan setelah beberapa menit.

Jam sudah menunjukkan pukul 17.15. Hari sudah semakin sore. Keduanya belum juga membuka suara. Jika keadaan terus seperti ini, bisa-bisa mereka tak pulang dan akan bermalam di sekolah bersama dengan 'teman-teman' yang tak terlihat.

Kala tentu tak mau jika harus menginap di sekolah bersama para hantu. Maka dengan rasa gugup yang tak kunjung hilang, Kala memberanikan diri untuk membuka suaranya, "Gu-gue... gue juga suka lo, Arka."

Oh, sungguh, ini bukan jawaban yang Arka perkirakan sama sekali.

Look how the table have turned now. Kini jantung lelaki itu yang berdegup semakin kencang.

"Sejak kelas 10. Kelas kita bersebelahan, gue jadi sering liat lo. Setiap pagi dan sore. Gue juga sering lihat lo di perpustakaan. Sampai akhirnya di kelas 11 ini, kita satu kelas. Gue gak pernah merasa sebahagia ini di hidup gue. Gue masih inget di saat pertama kali lo ajak gue ngobrol. Saat kita berdua yang kepilih jadi sekretaris, saat bu Nindy meriksa semua catetan anak kelas dan ternyata catetan kita berdua yang paling rapih. Saat kita berdua yang harus buat poster untuk lomba antar kelas dua bulan yang lalu, saat lo yang dengan sengaja ngelempar kain pel bekas ke gue. Gue inget semuanya, dan gue bersyukur atas semuanya. Lo yang selalu menyisihkan waktu untuk nanya keadaan gue, lo yang selalu bantu gue, dan lo yang selalu ada buat gue. Gue suka lo, dan semua perhatian lo- ah, enggak. Gue cinta lo, dan semua perlakuan lo, Arka."

Entah dari mana keberanian sebesar itu datang, yang pasti Kala merasa sangat lega karena telah berhasil meluapkan segalanya.

Lelaki itu terdiam. Tak tahu harus bereaksi seperti apa atas pernyataan cinta tiba-tiba yang datang dari bibir pujaan hatinya itu sendiri.

Hingga beberapa saat berlalu, salah satu dari kedua insan tersebut memberanikan diri untuk mengakhiri keheningan.

"Kalau begitu, would you be mine, Kala?"









To be continued-

herTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang