"Mbaakkkkk...."
Savana yang baru memasuki rumah menoleh pada adik laki-lakinya yang tidur telentang di sofa ruang tengah dengan fokus pada handphone pada kedua tangannya. Bibirnya seketika berdecak kecil. Langkahnya lalu menuju tempat adiknya berada.
"Et et bentar jangan ngomel dulu. Mbak tadi dicariin Mas Damar." Adiknya beralih duduk tegak dengan menyampingkan handphone di tangannya, tapi tetap fokus juga pada benda tersebut. Dan langkah Savana seketika memelan. Tangannya merogoh tas selempang untuk mengambil handphone, lalu dahinya mengerut ketika tidak menemukan panggilan atau pesan apapun dari laki-laki yang disebutkan adiknya tadi.
"Ngapain? Kok enggak ada nelpon mbak, sih?"
"Ya mana gue tau. Pacarnya elo nanyanya ke gue."
Mata Savana menyipit sinis pada adiknya yang meringis setelah melirik pada kakaknya dan mendapati ekspresi kesal kakaknya kembali.
"Enggak tau, mbakku cantikkk. Tadi tuh ketemu sama Mamah, terus pas mau balik baru deh nanya mbak dimana." Jelasnya ulang dengan semanis mungkin agar tidak memancing kekesalan kakaknya bertambah. Satu tangannya membentuk tanda peace disertai senyum meyakinkan.
"Terus kamu jawab apa?"
Bola mata anak laki-laki tersebut berputar ke atas, mengingat sebentar percakapan dengan calon kakak iparnya tadi. "Mmm...di warung mungkin mas, tadi pagi dijemput Teh Niken soalnya, gitu." Jawabnya di akhiri kedua alisnya yang naik turun.
Decakan kembali keluar dari bibir gadis itu. "Enak aja di warung. Kedai, Bambang," Lalu giliran adiknya yang memicingkan mata kesal.
"Halah sama aja tempat buat beli. Dan jangan panggil gue Bambang!" Sanggahnya lagi dengan tatapan tajam semakin ia arahkan pada kakak satu-satunya tersebut.
"Lah emang nama kamu Bambang, kan." Sahut Savana santai sambil membelokkan langkahnya ke arah dapur yang berseberangan dengan ruang tengah.
Raut muka anak laki-laki tersebut beralih merengut, dengan bibir nya yang sedikit mengerucut. "Mbak ihh. Awas aja aku sebarin aib mbak sama Mas Damar." Dan nada merengek sekaligus mengancam jelas terdengar ketika ia kembali berbicara.
Savana tertawa kecil alih-alih takut atas ancaman adik laki-lakinya yang masih berusia 14 tahun itu. "Sebarin aja. Mas Damar udah kebal sama aib-aib mbak kok. Dasar Bambang." Balasnya sambil meraih gelas dan menuangkan air putih di sana lalu menarik kursi untuk duduk di atasnya.
"Ihhh! MAMAAHHH NGAPAIN SIH NGASIH AKU NAMA BAMBANGG!" Teriakan suara khas serak-serak basah yang mulai terdengar bass ala anak pubertas terdengar menggema di dalam rumah minimalis berlantai dua tersebut. Handphone yang sedari tadi menjadi fokusnya sudah ia letak sembarangan. Karena mencegah ke usilan kakaknya adalah lebih penting sebelum reputasi dan pasarannya menurun hanya karena nama 'Bambang' tadi.
Savana meletakkan gelas kosongnya kembali ke temlat semula, "Heh! Kualat kamu neriakin orang tua."
"Ngapain pada teriak-teriak?" Merlinda yang baru muncul dari pintu belakang menyahut, lalu menghampiri anak gadisnya dan ikut menarik kursi meja makan untuk duduk di sana.
Mendengar suara wanita paruh baya tersebut, Dipta —adik laki-lakinya— segera memasang raut paling mengenaskan yang bisa ia tunjukkan. "Maaf, Mah. Itu tuh mbak ngeselin, manggil Bambang mulu." Adunya dengan nada yang masih merengek untuk menarik simpati satu-satunya wanita yang bisa membantunya menang melawan kakak perempuan ngeselinnya tersebut.
Savana memutar bola matanya malas sebelum menyahut lagi, "Ya emang nama kamu ada Bambang-nya, kan."
Merlinda mengibaskan tangan tanda tidak perduli dengan perdebatan antar kakak-adik yang hampir setiap hari terjadi itu, lalu mengalihkan pandangannya pada Savana yang kembali sibuk menekuri handphone nya. "Kok udah pulang, Mbak?" Tanyanya pada putri sulungnya, mengabaikan anak laki-lakinya yang makin merengek dengan muka nelangsa yang akhirnya meluruhkan tubuh kembali telentang di atas sofa, dan kembali melanjutkan game favoritnya. Tidak ingin mendengar juga apapun yang dibicarakan kakak dan ibunya tersebut.
